KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Sistem Dan
Struktur Politik Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru”Pada makalah ini kami
banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai
pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat
jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima
kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Taluk Kuantan, Juli 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A.
Latar Belakang.................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................................. 2
C.
Tujuan................................................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
A.
Masa Transisi 1966-1967.................................................................................. 3
B.
Aksi-Aksi Tritura.............................................................................................. 3
C.
Surat Perintah Sebelas Maret............................................................................ 5
D.
Dualisme Kepemimpinan Nasional.................................................................. 7
BAB
III PENUTUP.................................................................................................... 10
A. Kesimpulan..................................................................................................... 10
B. Saran................................................................................................................ 10
DAFTARPUSTAKA.................................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk
memisahkan antara kekuasaanmasa Sukarno (Orde Lama) dengan masa Suharto.
Sebagai masa yang menandai sebuah masa baru setelah pemberontakan Gerakan
30 September tahun 1965. Orde baru lahir sebagai upayauntuk: mengoreksi total
penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama, penataan kembali seluruh aspek
kehidupan rakyat, bangsa, dan negara Indonesia,melaksanakan Pancasila dan
UUD1945 secara murni dan konsekuen dan menyusun kembali kekuatan bangsa untuk
menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses pembangunan bangsa.
Setelah Orde Baru memegang talpuk kekuasaan dan
mengendalikan pemerintahan, muncul suatu keinginan untuk terus-menerus
mempertahankan status quo. Hal ini menimbulkan ekses-ekses negative,
yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut. Akhirnya berbagai macam penyelewengan
dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan ketentuan-ketentuan yang
terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde Baru.
Penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukannya itu direkayasa untuk
melindungi kepentingan penguasa, sehingga hal tersebut selalu dianggap sah dan
benar, walaupun merugikan rakyat.
A.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana masa transisi 1966-1967?
2.
Bagaimana aksi-aksi tritura?
3.
Apa
isi surat perintah sebelas maret?
4.
Bagaimana dualisme kepemimpinan nasional?
B.
Tujuan Makalah
5.
Untuk mengetahui masa transisi 1966-1967?
6.
Untuk mengetahui aksi-aksi tritura?
7.
Untuk mengetahui surat perintah sebelas maret?
8. Untuk
mengetahui dualisme
kepemimpinan nasional?
BAB II
PEEMBAHASAN
A. Masa Transisi 1966-1967
Lahirnya
pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik di masa
itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil
melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini membuat
situasi politik tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno
semakin menurun. Tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa di Jakarta membentuk
organisasi federasi yang dinamakan KAMI dengan anggota antara lain terdiri dari
HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI. Pimpinan KAMI berbentuk Presidium dengan ketua umum
Zamroni (PMII). Pemuda dan mahasiswa memiliki peran penting dalam transisi
pemerintahan yang terjadi pada masa ini.
Tokoh-tokoh
seperti Abdul Ghafur, Cosmas Batubara, Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi dan Sulastomo
menjadi penggerak aksi-aksi yang menuntut Soekarno agar segera menyelesaikan
kemelut politik yang terjadi.
B.
Aksi-Aksi Tritura
Naiknya
Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari
peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI. Ini merupakan peristiwa
yang menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya
kekuatan politik PKI dari percaturan politik Indonesia. Peristiwa tersebut
telah menimbulkan kemarahan rakyat. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi
kacau, keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi mencapai 600%
sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi rupiah dan kenaikan menyebabkan
timbulnya keresahan masyarakat.
Memahami
Teks RESIMEN CAKRABIRAWA Resimen Cakrabirawa merupakan kesatuan pasukan
gabungan dari TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan Kepolisian
yang bertugas khusus menjaga keamanan Presiden RI pada zaman pemerintahan
Soekarno. Sayangnya, sebagian anggota resimen ini kemudian berhasil dipengaruhi
PKI dan ikut terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Diantara
mereka yang terlibat, adalah Letkol Untung Syamsuri, salah seorang komandan
Cakrabirawa yang justru menjadi pemimpin G30S/PKI saat melakukan penculikan
terhadap para perwira tinggi AD pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada zaman pemerintahan Soeharto, resimen ini
dibubarkan.
Untuk
mengawal Presiden, dibentuk kemudian kesatuan baru Paspampres (Pasukan Pengaman
Presiden) Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku
G30 S PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi
pemuda-pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula
KABI (buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain-lain.
Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang
terlibat G-30S/PKI, dan kemudian pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan
barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila.
Tuntutan
rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi
Presiden. Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan
Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan
hati rakyat karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa
G30S PKI. Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl 24 Pebruari 1966,
para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka.
Aksi
itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok antara
pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa
Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu
keesokan harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan
Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI
dibubarkan. Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya
krisis kepemimpinan nasional. Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa
Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes
pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan
KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia
(KAPI), krisis nasional makin tidak terkendalikan. Dalam pada itu mahasiswa membentuk
Resimen Arief Rachman Hakim. Melanjutkan aksi KAMI.
Protes
terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta
kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang
demikian, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan
demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri, selain
itu mereka juga membakar kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua.
Aksi para demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada
hari itu juga Presiden mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh
komponen bangsa waspada terhadap usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi
kita ke kanan”, dan supaya siap sedia untuk menghancurkan setiap usaha yang
langsung maupun tidak langsung bertujuan merongrong kepemimpinan, kewibawaan,
atau kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan terhadap Nekolim
serta proyek “British Malaysia”
C.
Surat Perintah Sebelas Maret
Untuk
mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966 Soekarno
mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran
yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI, dengan melakukan
pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju ke Istana. Belum lama
Presiden berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur, Komandan
Cakrabirawa bahwa di luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan
seragamnya. Meskipun ada jaminan dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir
waktu itu, bahwa keadaan tetap aman, Presiden Soekarno tetap merasa khawatir
dan segera meninggalkan sidang. Tindakan itu diikuti oleh Waperdam I
Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.Chaerul Saleh yang bersama-sama dengan
Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup oleh
Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.
Dipenuhi
dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang telah
melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak
mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang
telah dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya
perbedaan paham itu tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri
untuk membubarkan PKI asal mendapat kebebasan bertindak dari Presiden. Pesan
Soeharto yang disampaikan kepada ketiga orang perwira tinggi yang akan
berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan tersebut. Di Istana Bogor ketiga
perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden yang didampingi oleh Dr.
Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh.
Tindakan
pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah menerima Surat
Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi
massanya yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh
Indonesia, terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966. Pembubaran itu mendapat
dukungan dari rakyat, karena dengan demikian salah satu diantara Tritura telah
dilaksanan.
Selain itu
Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke
sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya
Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang
menteri yang diduga terkait dengan pemberontakan G-30-S PKI ataupun dianggap
memperlihatkan iktikad tidak baik dalam penyelesaian masalah itu. Demi
lancarnya tugas pemerintah, Letjen. Soeharto mengangkat lima orang menteri
koordinator ad interim yang menjadi Presidium Kabinet. Kelima orang tersebut
ialah Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik. Dr Roeslan Abdulgani, Dr. K.H.
Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.
Ada beberapa faktor yang melatar
belakangi lahirnya Supersemar, diantaranya:
1. Situasi negara secara umum dalam
keadaan kacau dan genting
2. Untuk mengatasi situasi yang tak
menentu akibat pemberontakan G 30 S/PKI
3. Menyelamatkan Negara Kesatuan
Republik Indonesia
4. Untuk memulihkan keadaan dan wibawa
pemerintah.
D.
Dualisme Kepemimpinan Nasional
Memasuki
tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah pada
dualisme kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden,
namun pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap
tuntutan masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi
dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS.
Sementara itu Soeharto setelah mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari
Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya membubarkan PKI, namanya semakin
populer. Dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Soekarno, Soeharto sebagai
pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang
diberi nama Kabinet Ampera. Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin
kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto.
Kondisi
seperti ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu
Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana
pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan
pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan
tugas-tugas harian pemerintahan. Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini
akhirnya menimbulkan pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada
munculnya pendukung Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan
persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam
Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966
memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan
dijadikannya Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi
bisa dicabut sewaktu-waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan sebaliknya secara
hukum Soeharto mempunyai kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris
MPRS. Dalam Sidang MPRS itu juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif
Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin
Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan hukum.
Presiden
sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya yang
diberi judul “Nawaksara”. Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno
menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari
bahasa Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau
istilah. Pidato itu memang berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap
penting oleh presiden Soekarno selaku mandataris MPR. Isi pidato tersebut hanya
sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya peristiwa berdarah yang terjadi pada
tanggal 30 September 1965.
Pengabaian
peristiwa yang mengakibatkan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat itu
tidak memuaskan anggota MPRS. Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS
memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggung
jawabannya, khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30
September beserta epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak. Pada
tanggal 10 Januari 1967 Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang
berisi Pelengkap Nawaksara. Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa
mandataris MPRS hanya mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar
Haluan Negara dan bukan hal-hal yang lain.
Nawaksara
baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela.
Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa
Gerakan 30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak. Sementara itu, sebuah
kabinet baru telah terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan
Rakyat). Kabinet tersebut diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai
tugas pokok untuk menciptakan stabilitas politik dan ekonomi. Program kabinet
tersebut antara lain adalah memperbaiki kehidupan rakyat, terutama di bidang
sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan umum sesuai dengan Ketetapan MPR
RI No. XI/MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945, Presiden Soekarno adalah pemimpin
Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan pemerintahan dan tugas harian
dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan Jenderal Soeharto.
Sehubungan
dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara” dan bertambah
gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi dan
memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu
usaha-usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI
mengadakan pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan
kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal
Soeharto sebelum Sidang Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di
kalangan rakyat dan untuk menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi
Presiden Soekarno.
Kemudian,
Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari 1967,
Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8
Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima
Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat
diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan
situasi konflik. Kesimpulan itu disampaikan Soeharto kepada presiden Soekarno pada
10 februari 1967. Presidenmenanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto
mengajukan draft berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan
kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966.
Pada
awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun
kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto
beserta Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19
Februari 1967, Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20
Februari draft surat itu telah ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar
diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30,
Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.
Pada
tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden
Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah
setahun menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik
Indonesia pada tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No.
XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik
Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut
menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan
Orde Baru.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sejalan dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru
ditandai oleh terjadinya perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam
Negara dan masyarakat, sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan
ada di tangan presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi
pergeseran pusat kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian
birokrasi. Namun harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971,
golkar secara mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam
pemilu.
Itulah beberapa sekelumit cerita tentang dan Orde Baru,
tentang bagaimana kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang
kemudian pada orde baru akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto
atas desakan para mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu
titik tolak era Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa
dikatakan demokrasi yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh
hingga sekarang ini.
B.
Saran
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi
alat politik yang efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru,
birokrasi sipil maupun militer secara terang-terangan mendukung pemerintah
dalam mobilisai dukungan dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa
reformasi, namun hanya di beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang
sempat terekam oleh media menjadi salah satu bukti nyata masih adanya
penggunaan birokrasi untuk suksesi.
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus
mampu dan terus bersaing dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik dari
sebelumnya , harga diri bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset
Negara untuk dijadikan simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan
bangsa ini harus bisa menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo, Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
http://saiyanadia.wordpress.com/2010/11/20/pengertian-sistem-politik-indonesia/
http://alfiyanfaqih.blogspot.com/2011/10/kelebihan-dan-kekurangan-sistem.html#ixzz29d3VP3jN
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/15308323331.pdf
http://hengkikomarudin.wordpress.com/2010/07/14/sistem-politik-indonesia-di-era-orde-baru/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar