Senin, 05 Desember 2016

makalah pengendalian penyakit dan obat-obatan pada ternak



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Pengendalian Penyakit Dan Obat-Obatan”Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
           




Taluk Kuantan,   Oktober 2016


Penyusun

 


 


DAFTAR ISI


Kata Pengantar............................................................................................................. i
Daftar Isi...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1  Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................................ 2
1.3  Tujuan.............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit Pada Ternak........................... 3
2.2  Agen Penyebab Penyakit Pada Ternak............................................................... 5
2.3  Penerapan Manajemen Kesehatan Ternak....................................................... 6
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 14
3.1  Kesimpulan.................................................................................................... 14
DAFTARPUSTAKA.................................................................................................. 15














BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar belakang
Indonesia adalah negara yang memiliki potensi yang besar di bidang pertanian. Dalam sektor pertanian, peran subsektor peternakan sangat penting sebagai pendukung penyediaan protein hewani yang berasal dari ternak. Program ketahanan dan keamanan pangan yang dilaksanakan pemerintah Indonesia saat ini telah dilakukan melalui program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) yang telah dicanangkan pada beberapa tahun yang lalu. Melalui PSDSK ini pemerintah bertekad mewujudkan ketahanan pangan hewani yang berasal dari ternak berbasis sumberdaya domestik khususnya ternak sapi potong.
Swasembada daging sapi sudah lama didambakan oleh masyarakat agar ketergantungan terhadap impor baik sapi bakalan maupun daging semakin menurun dengan mengembangkan potensi dalam negeri. Berbagai hambatan muncul dalam program PSDSK ini yang salah satunya adalah penyakit pada ternak sapi dan kerbau. Penyakit pada ternak sapi dan kerbau dapat disebabkan oleh infeksi patogen seperti bakteri, virus, parasit dan jamur, sedangkan penyebab yang non infeksi diantaranya adalah pakan, genetik, lingkungan, kandang, dan pola pemeliharaan
Usaha ternak ruminansia seperti sapi, kambing, dan domba memiliki potensi yang sangat menjanjikan dengan melimpahnya sumber pakan berupa hijauan yang merupakan kebutuhan utama ternak hewan ruminansia yang dapat diperoleh dengan sangat mudah. Penyakit pada hewan ternak dapat dikategorikan sebagai penyakit yang menyerang hewan ternak yang disebabkan oleh agen patogen seperti bakteri, virus, parasit, dan jamur. Ada juga penyakit yang menyerang hewan ternak yang disebabkan oleh agen infeksius seperti senyawa beracun atau gangguan metabolisme. Penularan penyakit dapat dibedakan juga dengan hanya menular antar hewan dan menular dari hewan ke manusia (zoonosis). Salah satu penyakit yang disebabkan oleh jamur pada sapi/kerbau yang sering dijumpai atau bahkan jarang terjadi di lingkungan masyarakat yaitu kegagalan reproduksi pada sapi atau kerbau.


1.2  Rumusan Masalah
1.     Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit pada ternak?
2.     Apakah agen penyebab penyakit pada ternak?
3.     Bagaimana penerapan manajemen kesehatan ternak?

1.3  Tujuan
1.     Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi penyakit pada ternak
2.     Mengetahui agen penyebab penyakit pada ternak
3.     Mengetahui penerapan manajemen kesehatan ternak























BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyakit Pada Ternak
Kesehatan ternak merupakan kunci penentu keberhasilan suatu usaha peternakan. Motto klasik tetap berlaku sampai saat ini, yaitu pencegahan lebih baik daripada pengobatan, sehingga tindakan-tindakan seperti sanitasi, vaksinasi dan pelaksanaan biosekuritas di lingkungan peternakan secara konsisten harus dilaksanakan.
Seringkali pengobatan terhadap suatu penyakit tidak membuahkan hasil, hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain harus dimengerti bahwa tidak semua penyakit dapat diobati, seperti penyakit virus. Penyakit-penyakit non infeksius harus diatasi dengan memperbaiki tatalaksana budidaya yang baik dan benar. Berdasarkan pemikiran tersebut sangat perlu untuk diketahui adanya faktor-faktor yang dapat menyebabkan penyakit pada ternak, sehingga dapat dilakukan metode penanggulangan penyakit yang efisien dan efektif.
Timbulnya penyakit pada ternak merupakan proses yang berjalan secara dinamis dan merupakan hasil interaksi tiga faktor, yaitu  ternak, agen penyakit (pathogen) dan lingkungan. Lingkungan memegang peran yang sangat penting dalam menentukan pengaruh positif atau negatif terhadap hubungan antara ternak dengan agen penyakit. Interaksi ketiga faktor yang normal dan seimbang sebagaimana akan menghasilkan ternak yang sehat dan  tidak ada wabah penyakit.
Keseimbangan ketiga faktor di atas tidak selalu stabil, pada keadaan tertentu  akan berubah. Jika hal ini terjadi maka ternak yang dipelihara akan sakit dan menunjukkan tampilan (performance) yang tidak memuaskan. Terdapat beberapa kondisi yang mampu menciptakan perubahan keseimbangan ketiga faktor tersebut. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah (1) perubahan-perubahan  yang terjadi pada ternak, misalnya penurunan kondisi tubuh yang mungkin disebabkan oleh beberapa hal, antara lain : kualitas dan kuantitas zat-zat gizi dalam pakan yang kurang, faktor-faktor yang mampu menekan timbulnya kekebalan (immunosupressif) dalam tubuh ternak, sehingga akan terjadi kegagalan dalam program vaksinasi.
Di lain pihak terjadi peningkatan tantangan terhadap ternak oleh mikroorganisme yang hidup dan berkembang di sekeliling ternak akibat sistim biosekuritas yang tidak konsisten, waktu istirahat kandang yang minim, kegagalan program vaksinasi dan pengobatan (2) terjadi perubahan hanya pada aspek lingkungan, sedangkan kondisi hewan ternak dan mikroorganisme tidak berubah. Perubahan lingkungan ini mungkin disebabkan oleh perubahan iklim, perubahan suhu dan kelembaban lingkungan yang ekstrim, ketinggian tempat, kesalahan menejemen, seperti : kepadatan kandang yang tinggi, ventilasi yang jelek, intensitas cahaya yang terlalu tinggi, kegaduhan suara dan tingginya tingkat polusi. Kondidi-kondisi lingkungan demikian akan berdampak negatif bagi ternak yang berakibat penurunan kondisi tubuh ternak, sebaliknya menguntungkan bagi mikroorganisme untuk berkembang biak,  baik jumlah maupun jenisnya.
Tiga aspek usaha penting harus dilakukan guna mencegah wabah penyakit di lingkungan peternakan, yaitu  (1) usaha-usaha mengurangi jenis dan jumlah mikroorganisme, terutama yang patogen di sekeliling ternak yang dipelihara (aspek mikroorganisme) (2) usaha-usaha mencegah terjadinya kontak antara ternak yang dipelihara dengan mikroorganisme patogen (aspek lingkungan) dan (3) usaha-usaha meningkatkan daya kebal tubuh ternak yang dipelihara (aspek ternak).
Vaksinasi dilakukan secara tepat waktu dengan meminimalkan faktor-faktor penyebab kegagalan vaksinasi, sehingga akan menstimulir terbentuknya kekebalan ternak secara  sempurna. Penggunaan antibiotik harus terkontrol, cocok untuk menekan perkembangan atau membunuh  mikroorganisme penyebab penyakit tertentu  dan dengan dosis yang tepat. Memperlakukan ternak dengan penuh kasih sayang, tidak kasar,  memperkecil faktor-faktor yang merugikan ternak, seperti adanya parasit cacing, mikotoksin dan zat antinutrisi di dalam bahan pakan, logam-logam dalam air minum.






2.2  Agen Penyebab Penyakit
Agen penyebab penyakit pada ternak dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok, yaitu  a) penyebab fisik, b) penyebab kimiawi, dan  c) penyebab biologis.

1.     Penyebab Fisik

Penyakit ternak yang disebabkan oleh agen fisik antara lain luka akibat benturan, terjatuh karena  lantai kandang yang licin pada sapi, terjepit pada ayam. Penanganan kasar oleh anak kandang sering kali menyebabkan luka-luka pada tubuh ternak.

2.     Kimiawi

Penyakit yang disebabkan oleh agen penyakit yang bersifat kimiawi antara lain : penyakit defisiensi dan keracunan. Penyakit defisiensi mineral, seperti kalsium menyebabkan pertumbuhan terhambat, konsumsi pakan turun, laju metabolik basal meningkat, aktivitas menurun dan osteoporosis. Defisiensi vitamin, misalnya vitamin D menyebabkan rachitis, terutama pada hewan muda dan osteomalasia pada ternak yang sudah sempurna tulangnya, namun diberi pakan dengan kadar  vitamin D yang kurang dari kebutuhan  Osteomalasia adalah suatu keadaan yang ditandai oleh dekalsifikasi sebagian tulang sehingga mengakibatkan tulang menjadi lunak dan rapuh.

Turkey Diseases merupakan penyakit akibat keracunan oleh mikotoksin yang mencemari bahan pakan pernah terjadi di Inggris dan menyebabkan kematian sampai 10.000 ekor kalkun. Mikotoksin adalah sejenis racun yang dihasilkan oleh sejenis jamur. Mikotoksin terkenal yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus disebut aflatoksin bersifat sangat toksik bagi ternak, baik unggas maupun ruminansia.

Keracunan bisa juga disebabkan oleh bahan-bahan anorganik, seperti : H2S, NH3,  CH4, merkaptan dan lain-lain. Bahan-bahan tersebut sebagai kontaminan yang dibebaskan dari kotoran ternak. Amoniak memiliki arti penting pada peternakan ayam oleh karena gas tersebut tersebar luas di peternakan dan memberikan andil yang cukup besar dalam mempengaruhi  kesehatan ternak maupun dan manusia. Toleransi maksimal manusia terhadap amoniak sebesar 5 – 10 ppm dan pada unggas sebesar 15 – 20 ppm.

Pada manusia, kadar amoniak 20 ppm menyebabkan iritasi mata dan saluran pernapasan. Kadar amoniak 50 ppm akan menghambat pertumbuhan babi dan apabila terjadi kontak dalam waktu yang lama menyebabkan ternak tersebut terserang pneumonia maupun penyakit pernapasan yang lain. Pada kadar tersebut broiler akan terganggu pertumbuhannya sampai 7%. Pada kadar amoniak antara 50 –100 ppm akan mengganggu pertumbuhan broiler dan pulet sebesar 15%.

3.     Penyebab Biologis

Penyebab penyakit yang berupa agen biologis antara lain : bakteri, virus, jamur, protozoa dan metazoa. Penyakit akibat agen biologis ini bersifat menular (infeksius), sedangkan agen kimiawi maupun fisik bersifat tidak menular (non infeksius). Pada umumnya penyakit virus bersifat sangat akut karena menimbulkan angka kematian yang tinggi bagi ternak dan penyakit ini tidak dapat diobati, hanya dapat dicegah dengan sanitasi dan vaksinasi. Pengobatan pada penyakit virus dengan antibiotik dimaksudkan tidak untuk membunuh virus, namun hanya bertujuan untuk mencegah  terjadinya  infeksi sekunder oleh bakteri yang memperburuk kondisi ternak.

Itulah beberapa faktor penyebab penyakit pada ternak yang perlu kita ketahui bersama, dan untuk mengendalikan berbagai macam penyakit yang mengganggu ternak diperlukan sebuah manajemen yang baik untuk mengatasi masalah penyakit pada ternak.


Manajemen kesehatan ternak dapat diartikan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan dan pengendalian faktor-faktor produksi melalui optimalisasi sumberdaya yang dimilikinya agar produktivitas ternak dapat dimaksimalkan, kesehatan ternak dapat dioptimalkan dan kesehatan produk hasil ternak memiliki kualitas kesehatan sesuai dengan standar yang diinginkan. Manajemen kesehatan ternak harus melalui suatu proses yaitu suatu cara yang sistematis untuk menjalankan suatu pekerjaan. Penyakit merupakan salah satu hambatan yang perlu diatasi dalam usaha ternak.
Melalui penerapan manajemen kesehatan ternak yang dilakukan secara berkelanjutan, diharapkan dampak negatif dari penyakit ternak dapat diminimalkan. Penyakit-penyakit yang dijadikan prioritas untuk diatasi adalah penyakit parasiter, terutama skabies dan parasit saluran pencernaan (nematodiasis). Sementara itu, untuk penyakit bakterial terutama anthrax, pink eye, dan pneumonia. Penyakit viral yang penting adalah orf, dan penyakit lainnya (penyakit non infeksius) yang perlu diperhatikan adalah penyakit diare pada anak ternak, timpani (kembung rumen) dan keracunan sianida dari tanaman.
Pengendalian penyakit parasit secara berkesinambungan (sustainable parasite controle) perlu diterapkan agar infestasi parasit selalu di bawah ambang yang dapat mengganggu produktivitas ternak. Vaksinasi terhadap penyakit Anthrax (terutama untuk daerah endemis anthrax), dan orf merupakan tindakan preventif yang dianjurkan.
Penanganan kesehatan merupakan salah satu hal yang memiliki peranan penting dalam memperoleh pejantan yang sehat. Selain itu ternak juga penting untuk diperiksa, agar dapat mendeteksi infeksi penyakit-penyakit tertentu. Penyakit pada masing-masing jenis juga berbeda, misalnya pada sapi Bali yang paling umum adalah Jembrana (Gregory, 1983). Adapun upaya  yang dilakukan untuk menjaga kesehatan ternak meliputi tindakan karantina, pemeriksaan kesehatan harian, penanganan kesehatan hewan, pemotongan kuku, desinfeksi kandang, kontrol ektoparasit, pemberian vaksin, pemberian obat cacing, biosecurity maupun otopsi.
1.     Tindakan Karantina
Ternak yang baru tiba di lokasi peternakan tidak langsung ditempatkan pada kandang/ tempat pemeliharaan permanent, tetapi tempatkan dahulu pada kandang sementara untuk proses adaptasi yang memerlukan waktu sekitar beberapa minggu. Dalam proses adaptasi ternak diamati terhadap penyakit cacing (dengan memeriksa fesesnya), penyakit orf, pink eye, kudis, diare, dan sebagainya. Apabila positif terhadap penyakit tertentu segera diobati dan lakukan isolasi. Dalam adaptasi ini juga termasuk adaptasi terhadap jenis pakan yang akan digunakan dalam usaha ternak kambing.
Pada adaptasi ini biasanya harus disiapkan berbagai obat-obatan untuk mengantisipasi terhadap kemungkinan timbulnya berbagai penyakit. Setelah 7-21 hari ternak dalam keadaan sehat, maka siap untuk dipindahkan dalam kandang utama. Tujuan dari karantina adalah untuk memastikan ternak yang baru datang dari luar wilayah peternakan terbebas dari penyakit.
Kandang karantina harus terletak jauh dari lokasi perkandangan ternak pejantan yang lain, hal ini bertujuan untuk menghindari penularan penyakit oleh ternak yang baru di datangkan.
2.     Pemeriksaan Kesehatan Harian
Pengamatan kesehatan harian dilakukan setiap hari yaitu pada pagi dan sore hari. Pengamatan kesehatan harian ini bertujuan untuk memantau kondisi kesehatan ternak dan mengetahui ada tidaknya abnormalitas pada ternak sehingga jika ditemukan ternak yang sakit atau mengalami kelainan dapat segera ditangani. Pada pagi hari pemeriksaan kesehatan hewan dilakukan sebelum kandang dibersihkan. Sedangkan pada sore hari, pemeriksaan dilakukan sesudah sapi diberi makan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan pada saat melakukan pemeriksaan kesehatan harian antara lain nafsu makan dari ternak, mengamati keadaan sekitar ternak (mengamati feses, urin, dan keadaan sekitar kandang apakah terdapat bercak-bercak darah atau tidak), mengamati keadaan tubuh ternak normal atau tidak (bisa dilihat dari hidung, kejernihan mata, telinga dan bulu ternak), mengamati cara ternak berdiri atau bergerak, ada tidaknya luka atau pembengkakan serta ada atau tidaknya eksudat pada luka. Kondisi feses feses yang tidak normal (encer) mengindikasiakan adanya kelainan atau suatu penyakit pada sistem pencernannya.
Adanya pengamatan kesehatan harian diharapkan abnormalitas yang ada dapat ditangani sesegera mungkin dan apabila ada pejantan yang sakit dapat segera diobati. Saat pengamatan kesehatan harian juga dilakukan recording atau pencatatan abnormalitas yang terjadi sehingga terdapat data yang lengkap mengenai riwayat penyakit yang pernah di alami oleh pejantan.
3.     Penanganan Kesehatan Hewan
Penanganan kesehatan hewan bertujuan untuk melakukan pemeriksaan dan penanganan medis pada pejantan yang sakit sehingga pejantan yang sakit secepatnya dapat ditangani sesuai dengan gejala klinis yang timbul. Penanganan kesehatan hewan dilakukan saat ditemukan adanya kelainan atau gejala klinis yang terlihat pada hewan setelah dilakukan pengontrolan rutin.
a.     Pemeriksaan Klinis
Ternak yang terlihat menunjukkan adanya gejala klinis maka akan dilakukan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan klinis tersebut dilakukan Sebelum pengobatan. Pemeriksaan klinis dapat dilakukan didalam dan diluar kandang (di kandang jepit). Pemeriksaan klinis meliputi :
1)    Pengukuran suhu tubuh melalui rektum dengan cara memasukkan thermometer kedalam rektum dan dibiarkan selama 3 menit, kemudian dibaca suhunya.
2)    Pengukuran pulsus dilakukan dengan menggunakan stetoskop.
3)    Pengukuran frekuensi pernafasan dan lapang paru-paru untuk mengetahui apakah frekuensi pernafasan hewan normal atau tidak.
4)    Palpasi dilakukan dengan sentuhan atau rabaan pada bagian yang akan diperiksa apakah normal atau tidak.
b.     Pengobatan 
Pengobatan dilakukan apabila telah ditemukan ternak yang di diagnosa sakit berdasarkan pengamatan harian. Pengobatan ternak dilakukan sesuai diagnosa yang telah ditentukan, dengan dosis obat yang telah diperhitungkan sesuai kebutuhan ternak tersebut. Ternak yang sakit diistirahatkan di kandang karantina hingga dinyatakan sehat oleh bagian kesehatan hewan.
c.     Pemberian Vitamin
 Pemberian vitamin pada ternak dilakukan secara rutin sebulan sekali. Vitamin yang diberikan antara lain adalah vitamin A, D, dan E. Pemberian vitamin dilakukan untuk menjaga kondisi kesehatan ternak sehingga produkstifitasnya terjaga.
d.     Pemotongan Kuku
Pemotongan kuku pada setiap ternak umumnya dilakukan secara rutin yaitu setiap 6 bulan sekali. Tetapi apabila ditemukan masalah seperti ternak yang kukunya sudah panjang atau antara kuku luar dan dalam panjangnya tidak seimbang maka pemotongan kuku dapat dilakukan sewaktu-waktu sesuai kondisi ternak tersebut. Kegiatan ini bertujuan untuk mengembalikan posisi normal kuku, membersihkan kotoran pada celah kuku, menghindari pincang, mempermudah pada saat penampungan dan deteksi dini terhadap laminitis dan kemungkinan terjadinya infeksi pada kuku.
Hal ini karena setiap hari ternak berpijak pada permukaan lantai yang kasar, sehingga kuku sedikit demi sedikit akan terkikis dengan sendirinya. Alat-alat yang digunakan adalah mesin potong kuku, kama gata teito (pisau pemotong kuku), rennet, gerinda, mistar ukur, dan tali hirauci. Bahan dan obat-obatan yang diperlukan adalah perban, kapas, Providon iodine, Gusanex, antibdiotik, antiinflamasi, dan salep. Langkah-langkah dalam pemotongan kuku yaitu sebagai berikut :
a.     Siapkan peralatan untuk memotong kuku kemudian atur tali pada mesin potong kuku.
b.     Keluarkan ternak dari kandang, pastikan ternak sudah dimandikan dan diberi pakan.
c.     Ternak dimasukkan kedalam mesin potong kuku yang bentuknya seperti kandang jepit kemudian ternak di restrain dengan tali penompang tubuh sapi dibagian tengah, depan dan belakang tubuh sapi yang sudah dikaitkan pada mesin potong kuku dengan cara melingkarkan tali pada bagian perut dan dada kemudian dikencangkan.
d.     Kemudian tekan tombol hidrolik untuk mengangkat sapi ke atas meja dan dibaringkan terlebih dahulu. Proses pengangkatan tubuh sapi menggunakan sistem hidrolik dengan 2 buah silinder sehingga proses pengangkatan lebih halus dan lebih bertenaga.
e.     Setelah itu ikat kaki ternak dengan tali pada tiang mesin potong kuku yang terangkat tadi. Perlu diperhatikan bahwa pada saat pemotongan kuku sebaiknya ternak ditali dengan model Halter (tali kepala) yang ditambat kuat, sedangkan tali nose ring ditambat sedikit longgar. Tujuannya supaya apabila ternak berontak maka hidungnya tidak terluka atau bahkan terputus.
f.      Ukur panjang kuku ternak dengan mistar ukur, setelah dicatat kemudian bersihkan  kotoran-kotoran atau batu pada kuku. Setelah itu kuku diberi desinfektan dan dibersihkan lagi menggunakan sikat.
g.     Selanjutnya Buatlah pola dengan gerinda.
h.     Gerakan tangan memotong kuku ternak adalah mengiris, yaitu kama ditarik vertikal dari atas ke bawah, bukan mencabik. Lakukan pemotongan menurut garis pola yang sudah dibuat secara rata sampai kedua belah kuku betul-betul simetris dan rata.
i.      Apabila ada cekungan pada kuku, bersihkan menggunakan rennet.
j.      Bila dinding kuku masih terlihat tebal, gunakan gerinda atau alat kikir hingga 0,5 cm dari batas garis putih.
k.     Setelah selesai, panjang kuku diukur dengan mistar dan dicatat kembali kemudian kaki ternak dan tali hirauchi dilepas
l.      Mendipping ternak pada cairan desinfektan yang tersedia di depan tempat potong kuku, kemudian ternak dibawa kembali ke kandang.
m.   Mesin potong kuku yang telah selesai dipakai kemudian di sanitasi agar mesin tetap terawat dan terjaga kebersihannya.        
4.     Kontrol Ektoparasit
Ektoparasit adalah parasit yang hidupnya menumpang pada bagian luar atxau permukaan tubuh inangnya, seperti berbagai jenis serangga (lalat, dll) serta jenis akari (caplak, tungau dll). Keberadaan ektoparasit akan mengakibatkan ternak merasa tidak nyaman, sehingga nafsu makan ternak menurun dan akan berdampak pada kualitas produk ternak. oleh karena itu penyemprotan anti ektoparasit sangat penting dalam agenda pencegahan penyakit. Penyemprotan anti ektoparasit merupakan suatu tindakan pengendalian terhadap parasit-parasit dari luar tubuh yang dapat mengganggu kesehatan ternak.
Ektoparasit dapat menyebabkan stres pada pejantan, serta dapat bertindak sebagai vektor mekanik maupun biologis penyakit hewan.
Penyemprotan anti ektoparasit dilakukan secara rutin setiap sebulan sekali menggunakan sunschin dengan obat anti ektoparasit cyperkiller 25 WP (25% Cypermethrin dengan dosis 30 gr/50 liter air) dan disemprotkan ke bagian tubuh ternak, seperti bagian perut, pantat, kaki dan punggung. Penyemprotan anti ektoparasit dilakukan sebaiknya tidak mencemari pakan, tempat pakan, dan air minum. Cypermethrin adalah piretroid sintetis yang digunakan untuk keperluan rumah tangga. Ini berperan sebagai neurotoksin cepat bertindak pada serangga. Dalam hal ini mudah terdegradasi di tanah dan tanaman.
Anti ektoparasit lain yang digunakan untuk ternak adalah gusanex. Cara pemakaiannya yaitu dengan menyemprotkan gusanex pada bagian tubuh ternak yang mengalami luka. Tujuannya agar luka tersebut segera kering dan tidak dihinggapi oleh lalat yang selanjutnya akan menjadi tempat berkembangnya telur lalat dan ektoparasit lainnya.
5.     Biosecurity
Menurut Winkel (1997) biosekurity merupakan suatu sistem untuk mencegah penyakit baik klinis maupun subklinis, yang berarti sistem untuk mengoptimalkan produksi ternak secara keseluruhan, dan merupakan bagian untuk mensejahterakan hewan (animal welfare). Biosecurity adalah semua tindakan yang merupakan pertahanan pertama untuk pengendalian wabah dan dilakukan untuk mencegah semua kemungkinan kontak/ penularan dengan peternakan tertular dan penyebaran penyakit (Dwicipto, 2010) .
Biosecurity merupakan tindakan perlindungan terhadap ternak dari berbagai bibit penyakit (bakteri dan virus) melalui pengamanan terhadap lingkungannya dan orang atau individu yang terlibat dalam siklus pemeliharaan yang dimaksud. Tujuannya yaitu supaya bibit penyakit (bakteri dan virus) yang terbawa dari luar tidak menyebar dan menginfeksi ternak. Tindakan biosecurity meliputi :
a.     Lokasi peternakan harus terbebas dari gangguan binatang liar yang dapat merugikan.
b.     Melakukan desinfeksi dan penyemprotan insektisida terhadap serangga, lalat, nyamuk, kumbang, belalang disetiap kandang secara berkala.
c.     Setiap kendaraan yang akan masuk ke areal peternakan harus melewati bak biosecurity dan disemprot, yang mana cairan yang digunakan adalah cairan desinfektan (lysol).
d.     Setiap petugas yang akan masuk ke kandang diharuskan mencelupkan sepatu boot ke dalam bak biosecurity yaitu wadah berisi desinfektan yang sudah disediakan.
e.     Segera mengeluarkan ternak yang mati untuk diotopsi lalu dikubur atau dimusnahkan.
f.      Selain petugas dilarang memasuki areal kandang.
g.     Membatasi kendaraan yang masuk ke areal kandang.
h.     Meyediakan kendaraan khusus bagi tamu yang berkunjung, contohnya seperti kereta biosecurity.
i.      Untuk aktivitas di dalam laboratorium harus menggunakan pakaian khusus berupa jas dan alas kaki khusus untuk laboratorium





















BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian tersebut, sistem manajemen kesehatan ternak merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari sistem usaha agribisnis. Upaya  yang dilakukan untuk menjaga kesehatan ternak meliputi tindakan karantina, pemeriksaan kesehatan harian, penanganan kesehatan hewan, pemotongan kuku, desinfeksi kandang, kontrol ektoparasit, pemberian vaksin, pemberian obat cacing, biosecurity maupun otopsi.
Tahap karantina ternak untuk menjamin bahwa ternak yang akan dipelihara lebih lanjut telah benar-benar aman dari penyakit yang kemungkinan terbawa dari daerah asal. Tahap pemeliharaan sendiri sangat menentukan produktivitas ternak berkaitan dengan gangguan kesehatan. Oleh karena itu pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit-penyakit ternak tertentu harus selalu mendapat perhatian terutama penyakit skabies dan cacingan untuk golongan penyakit parasiter dengan menerapkan kontrol penyakit secara berkesinambungan.















DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2008. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhino Tracheitis  pada Sapi dan Kerbau di Indonesia http://peternakan.Iitbang. deptan.go.id.
Kurniadhi. P. 2003. Teknik pembuatan biakan sel Primer Ginjal Janin Sapi Untuk Menumbuhkan Virus Infectious Bovine Rhinotracheitis. Bogor
Sudarisman, 2003. Penularan Kongenital Penyakit Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR) pada Sapi dan Kerbau di Indonesia. Wartazoa Vol. 17 No. 1 Th. 2007
Blaha, T., 1989. Applied Veterinary Epidemiology. Development in Animal and Veterinary Sciences, 21. Elsevier. Amsterdam-Oxford-New York-Tokyo.
Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius, Kerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.
Rahayu, ID., 2000. Mungkinkah Mycoplasma Dicegah dan Diobati?. Infovet Edisi 071 Juni 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar