KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ MENAKAR RSPO DAN
ISPO “. Pada makalah ini Penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan
pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari
sempurna, untuk itu Penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan
ini.
Akhir kata Penulis mengucapkan
terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang
membaca…
Taluk Kuantan, Januari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1.2
Tujuan Makalah................................................................................................ 2
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA................................................................................... 3
BAB
III PEMBAHASAN............................................................................................. 6
3.1
Respon Global Terhadap RRPO Serta Alasan Di Lahirkannya ISPO.............. 6
3.2
Menakar RSPO Dan ISPO Berdasrkan
Prakteknya.......................................... 7
BAB
IV PENUTUP...................................................................................................... 9
4.1 Kesimpulan...................................................................................................... 9
4.2 Saran................................................................................................................. 9
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Industri sawit telah menjadi ‘rejim’
tersendiri semenjak Booming komoditi ini dalam dua deka deterakhir. Indonesia,
bersama Malaysia, menjadi pusaran ekspansi industri sawit dunia. Minyak
sawit,tidak hanya untuk kebutuhan makanan, kosmetik, hingga pakan ternak,
tetapi diperkirakan sebagai “kandidat” utama energi alternatif terbarukan,
menggantikan energi fosil yang menipis. Mata dunia mengarah ke industri ini karena
signifikansinya dalam pertumbuhan ekonomi di satu sisi, tetapi biaya sosial dan
lingkungan yang harus dikorbankan untuk menopangnya sangat besar di sisi lain. Kalangan
pasar dan konsumen global merespon dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm
Oil), dan pemerintah Indonesia merespon dengan membentuk ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil).
Harga minyak dan inti sawit relatif
terus meningkat dalam 20 tahun terakhir--kecuali tahun 2008,akibat dampak
krisis global saat itu. Permintaan minyak dan inti sawit terus meroket,
khususnya darinegara maju lama --seperti Eropa dan Amerika, dan negara maju
baru seperti China dan India. Luarbiasanya, dua negara terakhir menyerap hampir
dua pertiga produksi minyak sawit Indonesia yangangka produksinya diperkirakan
akan mencapai 25 juta ton tahun ini. China menampung 6,65 jutaton, dan India
mengimpor 7,1 juta ton minyak sawit Indonesia tahun 2012.Indonesia, yang
memproduksi 50 persen dari produksi global minyak sawit, menikmati 9,11 miliar
USDollar atau sekitar 12 persen dari total pendapatan pemerintah tahun 2011.
1.2 Perumusan
Masalah
1. Bagaimana respon global terhadap
RSPO serta apa alasan dilahirkannya ISPO ?
2. Bagaimana takaran RSPO dan ISPO
berdasarkan prakterknya dilapangan ?
1.3 Tujuan
Makalah
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Respon
global terhadap RSPO serta alasan dilahirkannya ISPO.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Takaran
RSPO dan ISPO berdasarkan prakterknya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Minyak kelapa sawit diperkenalkan
pertama kali di Asia tenggara pada tahun 1848
ketika empat bibit pohon yang berasal dari Afrika Barat ditanam di Buitenzorg
botanical gardens atau yang saat ini dikenal dengan nama kebun raya Bogor
di Jawa,
tetapi hal ini
tidak serta merta menjadi akar dari
munculnya industri kelapa sawit, bahkan pada saat itu pohon kelapa sawit hanya dijadikan tanaman hias
oleh para petani tembakau.
Pada tahun 1905 Adrien Hallet yang
merupakan insiyur pertanian yang berasal dari
Belgia tiba di Sumatra dan menyadari bahwa pohon kelapa sawit
tumbuh lebih cepat
dan menghasilkan buah
yang lebih banyak
dibandingkan dengan yang ditanam
di Kongo. Selain
itu buah yang
dihasilkan terlihat menghasilkan lebih
banyak pulp oil dan memiliki
biji buah yang
lebih kecil dibandingkan dengan
tanaman – tanaman kelapa sawit di Afrika. (Martin, S. M. 1988)
Keunggulan yang
dimiliki oleh tanaman
– tanaman ini
merupakan cerminan dari kondisi tanah yang sangat subur, curah hujan
yang mencukupi serta kondisi sinar matahari yang bersinar di Asia Tenggara
cukup untuk mendukung optimalisasi kondisi tanaman – tanaman tersebut.
Perusahaan Deli Duras melihat peluang ini, dengan memanfaatkan kondisi sosial
saat itu
yang terdapat lebih banyak
populasi orang –
orang usia produktif
perusahaan ini mengharapkan adanya hasil
yang baik. Selain
itu didukung dengan
tidak adanya hama
dan penyakit
yang biasanya menyerang tanaman kelapa sawit menjadi alasan kuat perusahaan ini
mendirikan perkebunan. (Rosenquist, E. 1986)
Hasil produksi tinggi yang diperoleh
dari penanaman di Asia Tenggara dengan resiko
yang relatif rendah mengakibatkan industri kelapa sawit menjadi tumbuh
dengan sangat cepat. Setelah penanaman
perintis yang di lakukan oleh Hallet di Sumatra dan rekannya Henri Fauconnier di Malaya di tahun 1910an,
kemudian tahun 1919 perkebunan kelapa sawit telah berkembang menjadi hingga
6.000 hektar di kawasan Sumatera, bahkan luas perkebunan kelapa sawit di tahun
1925 telah mencapai 32.000 hektar, meningkat hingga hampir 400% dalam jangka
waktu 6 tahun. Sementara itu, di Malaya pada tahun 1919 sebanyak 3.400 hektar
hektar telah ditanam dan enam tahun kemudian meningkat hingga 17.000 hektar.
Pada tahun 1919 lebih dari
6.000 ha telah ditanam
di Sumatera, naik menjadi 32.000 pada tahun 1925, saat
3.400 ha telah datang di bawah budidaya di Malaya. Selama lima
tahun ke depan,
lebih jauh 17.000
ha telah ditanam
di Malaya, sementara wilayah Sumatera dua kali lipat. (Khera,
H.
S. 1976)
Perkembangan kelapa sawit yang sangat
pesat di kedua negara hingga saat ini minyak
mentah yang dihasilkan dari kelapa sawit, atau yang lebih dikenal dengan
Crude Palm Oil (CPO) menjadi komoditi ekspor Malaysia dan Indonesia
paling besar pada
pasar dunia, Indonesia
merupakan produsen kelapa
sawit terbesar di dunia dan diikuti oleh Malaysia pada posisi kedua5, jumlah ekspor kelapa sawit
dari Indonesia sendiri
pada tahun 2012
memiki jumlah sebesar
28.000.000 metric ton meningkat 8,11%
dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya sebesar 25.900.000 metric ton. Sedangkan Malaysia
mampu memberikan hasil ekspor kelapa sawit
pada tahun 2012 sebesar
17.205.000 metric ton dan meningkat 3,64% dibanding tahun sebelumnya sebesar 16.600.000 metric ton
dengan
pasar – pasar impor terbesar ke negara India, Cina dan Uni Eropa.
90% perkebunan kelapa sawit di kawasan Kalimantan telah menggunakan lahan
hutan yang merupakan kawasan hutan yang dilindungi oleh pemerintah
(Dewi, S., Khasanah, N., Rahayu, S., Ekadinata A., and van Noordwijk, M. 2009) yang kemudian mengakibatkan adanya beberapa
halangan di dalam perdagangan industri kelapa sawit salah satu hambatan yang ada adalah terancamnya pasar kelapa sawit Indonesia dan Malaysia di kawasan Uni Eropa, hal ini dikarenakan Uni Eropa telah menyetujui EU emission trading
scheme (EU – ETS), yaitu kebijakan yang disetujui oleh anggota Uni Eropa untuk mendukung produk negara – negara yang memiliki low –
carbon industrial sectors.
Pasar EU ETS menggunakan sistem cap
and trade yaitu cap (capped) Emisi total suatu negara
dibatasi dari emisi yang dibatasi inilah nanti akan muncul allowances
(kelebihan emisi yang tidak dipakai). EU ETS sendiri resmi dimulai tahun 2005, hingga tahun 2013 EU ETS telah berjalan dalam 3 periode
yang berbeda, yaitu periode 2005 – 2008, 2008 – 2012, dan yang paling baru
dilaksanakan adalah periode
2013 – 2020.
Skema 2008 disebut dengan fase “learning by doing”
dengan melakukan beberapa penetapan yang
lebih matang, fase kedua 2008 – 2012 merupakan periode komitmen Protokol Kyoto dengan
melakukan Rencana Alokasi Nasional
bagi setiap negara
yang mengsulkan batas cap dar total emisi dar instalasi yang relevan,
yang kemudian akan disetujui oleh Komisi Eropa.
Dengan standard EU ETS produk kelapa
sawit dari Indonesia – Malaysia dinilai
tidak memenuhi standar
tersebut, produksi kelapa
sawit gabungan
Indonesia
dan Malaysia dinilai memproduksi karbon yang ada di atas ambang batas normal, sebesar
0,86 metrik ton atau sebesar 860 kilogram karbon dioksida diproduksi dari
perkebunan kelapa sawit setiap harinya (Dutton, N.
2012)
Untuk itu, RSPO sangat diperlukan jika produsen – produsen kelapa
sawit di Indonesia dan Malaysia
ingin tetap membuka pasar kelapa sawit di Uni Eropa.
Salah satu jalan yang ditawarkan oleh RSPO di dalam perdangan kelapa sawit
adalah dengan adanya certified sustainable palm oil atau sertifikasi
terhadap produk kelapa sawit dengan menggunakan
sistem stadardisasi internasional dan beberapa
syarat yang dibutuhkan
untuk mendapatkan sertifikasi
tersebut. Beberapa syarat diantara
lain adalah transparansi,
komitmen, tanggung jawab lingkungan, serta kondisi keuangan dan
pengelolaan yg stabil. Importir dari Uni Eropa sangat mengutamakan perusahaan
produsen kelapa sawit yang memiliki
sertifikasi tersebut karena
dengan adanya CSPO
setidaknya terdapat sebuah jaminan terhadap importir kelapa sawit
bahwa mereka tidak melanggar kebijakan trading emission yang dijalankan
secara ketat di kawasan Eropa.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Resppon Global Terhadap RSPO Serta Alasan
Dilahirkannya ISPO
RSPO semakin kokoh setelah para
pemangku kepentingan sebisanya dirangkul, dari yang berkepentingan keuntungan
ekonomi hingga yang bersuara sedikit kritis seperti Organisasi Non pemerintah
internasional, termasuk beberapa LSM lokal di Indonesia. Prinsip sosial dan lingkungan
yang ketat disusun, struktur serta mekanisme penyelesaian konflik juga sudah
terbangun, hingga sertifikatnya juga sudah keluar melalui Greenpalm , sebuah
organisasi stempel sertifikat sawit berbasis di London, Inggris. Oleh karena
itu, konsumen negara barat akan nyaman berbelanja produk yang mengandung minyak
sawit di ritel-ritel supermarket yang telah bertuliskan “Certified Palm Oil”. Namun,
banyak pihak masih mempertanyakan relevansi dan akuntabilitas rejim minyak
sawit ini.
Semenjak kehadiran RSPO hampir 10
tahun, ternyata tidak sedikit fakta lapangan yang menunjukkan tidak adanya
perubahan dan perbaikan. Ekspansi sawit terus berjalan mulus, sementara konflik
agraria terus meningkat, masyarakat lokal tersingkirkan, penghancuran hutan tak
berhenti. Lantas, Badan Lingkungan Hidup (EPA), Amerika Serikat menyampaikan
catatan bahwa produksi sawit dari Indonesia belum memenuhi syarat yang
ditetapkan lembaga itu untuk dipakai sebagai biofuel, bulanMaret 2012 yang
lalu.
Respon dari sektor industri dan
pemerintah Indonesia terhadap rejim ini cukup beragam. Pemerintah secara aktif
melakukan green campaign. Sejak tahun 2007 pemerintah Indonesia bersama Ma lays ia sudah aktif kampanye ke Eropa
dan AS untuk menangkal ‘ kampanye negatif terhadap sawit’. Tahun
2012, Dewan Minyak Sawit Indonesia, dengan dukungan penuh kementerian
pertanian, berkampanye ke AS, Rusia dan Eropa. Tahun lalu, untuk menunjukkan
keseriusan melindungi hutan yang tersisa, Pemerintah Indonesia mengeluarkan
kebijakan moratorium hutan: yakni penundaan ijin baru di hutan primer dan lahan
gambut, melalui Inpres No. 10 tahun 2011. Tetapi, Koalisi Penyelamatan Hutan
Indonesia dan Iklim Global mengeluarkan fakta menyesakkan bahwa peta hutan dan
lahan gambut yang termaktub didalam Inpres tersebut mengalami revisi dan
pengecilan.
Sejak Juni 2011 hingga Mei 2012, sebanyak10,54
juta hektar hutan dan lahan gambut diotak-atik dan akhirnya dikeluarkan dari
peta awal. Tahun 2011 yang lalu, lagi-lagi untuk memastikan bahwa sawit
Indonesia harus berasal dari sumber-sumber yang berkelanjutan, pemerintah
mendeklarasikan lahirnya ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil). Berbeda dengan
RSPO yang digagasi oleh pasar sawit, ISPO digagasi oleh pemerintah, khususnya
kementerian pertanian, tetapi dengan tujuan yang diatas kertas sama: produksi
sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
3.2 Menimbang RSPO dan ISPO Berdasarkan Praktekya
Baik itu RSPO
dan ISPO, Kedua
badan ini memiliki perbedaan mendasar. Sertifikasi RSPO merupakan tuntutan dan
keinginan konsumen negara maju sehingga korporasi secara sukarela (voluntary) mengubah
cara produksi komoditinya, sementara sertifikasi ISPO adalah kewajiban (obligatory)
bagi produsen sawit oleh pemerintah Indonesia. Kedua, dari segi bangunan
organisasi, ISPO harus banyak belajar dari RSPO, meski tentunya tidak sekedar
meng-copy bangunannya. RSPO telah melalui diskusi panjang membangun
prinsip, criteria dan indikator, serta mekanisme kelembagaan, keterlibatan para
pihak, akuntabilitas, hingga penyelesaian
konflik. ISPO masih belum menunjukkan bangunan organisasinya hingga saat ini.
Cara paling awam untuk mengetahui perkembangan ISPO ini adalah dengan
mengunjungi halaman website-nya yang belum berisi apa-apa. Persamaan kedua
badan ini adalah sama sama bicara keberlanjutan sawit. Ini adalah poin kritis ,artinya
menghentikan ekspansi sawit tidak masuk dalam agenda kedua lembaga.
Oleh karena itu suara ‘stop ekspansi sawit’ hanya merupakan suara
pinggiran yang dianggap mengancam keberlanjutan industri ini. Selain
itu, badan ini juga sama-sama membutuhkan auditor mahal yang membebani produsen
sawit. Tercatat bahwa auditor masing masing organisasi juga tumpang tindih. Auditor
semacam Sucofindo, TUV, dan SAI Global adalah auditor yang dipakai oleh ISPO
yang sudah lebih dulu minta oleh RSPO untuk mengaudit anggota-anggotanya yang
ingin mendapatkan sertifikat sawit berkelanjutan di Indonesia. Diatas kertas,
institusi, sistem, dan regulasi meningkat, tetapi bagaimana praktek dilapangan?
Setiap tahun, termasuk di tahun jeda ekspansi sawit ini (2011 dan 2012), fakta
menunjukkan laju pengrusakan hutan tidak pernah berhenti.
Hingga Juni 2011, ekspansi sawit
sudah mencapai 11, 5 juta hektar (Sawit Watch, 2011), meroket dari sekitar
7,5 juta tahun 2009. Komunitas lokal terus tergusur karena pencaplokan tanah
untuk perkebunan sawit, menimbulkan peningkatan konflik agraria di seantero
nusantara (KPA, 2011). Tahun 2007 konflik yang berkaitan dengan perkebunan sawit
tercatat 514 kasus, bandingkan dengan jumlah konflik tahun 2010 yang meningkat
menjadi 663 kasus (Sawit Watch, idem).
Dari sekitar 4 juta buruh kebun
sawit skala besar, hanya sepertiga yang berstatus buruh tetap, selebihnya
adalah buruh harian lepas, dan kernet yang tidak terdokumentasi, tidak digaji
layak, serta bekerja dengan basis target (Saurlin, 2011Pada akhirnya, secanggih
apapun organisasi, sistem dan mekanisme yang dibangun kedua badan ini, publik,
baik domestik maupun internasional, masih sulit menaruh kepercayaan, ketika
hutan masihterus dicederai, hak hak buruh kebun dan masyarakat lokal masih
termarjinalkan. Tidak lupa,semoga proyek Dinas Pertanian bernama ISPO ini,
tidak menjadi sumber korupsi baru di negeri ini.
BAB
IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
rangkaian penjelasan diatas dapat kita ambil beberapa kesimpulan yakni, Semenjak kehadiran RSPO dalam
prakteknya dilapangan tidak sedikit fakta yang menunjukkan tidak adanya
perubahan dan perbaikan. Ekspansi berjalan mulus, sementara konflik agraria
terus meningkat, masyarakat lokal tersingkirkan, penghancuran hutan tak
berhenti. Dengan keseriusan pemerintah Indonesia untuk menjaga hutan yang
tersisa di Indonesia lalu pemerintah membuat sebuah koalisi penyelamatan hutan
Indonesia. Ternyata dalam prakteknya mereka mendapatkan fakta yang mesakkan
karena peta hutun dan lahan gambut yang termaktub dalam inpren telah mengalami
revisi dan pengecilan.
Sejak Juni 2011 hingga Mei 2012,
sebanyak10,54 juta hektar hutan dan lahan gambut diotak-atik dan akhirnya
dikeluarkan dari peta awal. Tahun 2011 yang lalu, lagi-lagi untuk memastikan
bahwa sawit Indonesia harus berasal dari sumber-sumber yang berkelanjutan,
pemerintah mendeklarasikan lahirnya ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil).
Berbeda dengan RSPO yang digagasi oleh pasar sawit, ISPO digagasi oleh
pemerintah, khususnya kementerian pertanian, tetapi dengan tujuan yang diatas
kertas sama: produksi sawit yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
3.2 Saran
Adapun
saran yang dapat penulis ajukan pada makalah ini adalah kepada seluruh warga
Indonesia agar kiranya kita bersama dapat menjaga kelestarian hutan kita.
Apapun organisasinya baik itu RSPO maupun ISPO yang mungkin memiliki Visi dan Misi
yang hebat, namun tidak ada yang pernah selalu benar dalam prakteknya
dilapangan. Kita seharusnya mengklarifikasi ini bersama. Bersatu untuk menjaga
kelestarian alam di negeri kita tercinta Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Website Resmi Kementerian BUMN,
“Saurlin Siagian : Rejim Minyak Sawit, Menakar RSPO dan ISPO”,
http://www.bumn.go.id/ptpn8/galeri/artikel/rejim-minyak-sawit-menakar-rspo-dan-ispo/.,
diakses pada 10 Januari 2016.
Website Resmi Kementerian
Lingkungan Hidup, “Berikan Kesempatan Pada Bumi (Give Earth A Chance)”,
http://www.menlh.go.id/berikan-kesempatan-pada-bumi-give-earth-a-chance/.,
diakses pada 10 Januari 2016.
Website Resmi Kementerian
Pertanian, “Daftar Alamat Kantor Dinas Provinsi/Kabupaten/Kota Lingkup
Kementerian Pertanian”, www.deptan.go.id., diakses pada 10 Januari 2016.
Website Resmi RSPO, “Dokumen
Panduan : Prinsip dan Kriteria RSPO untuk Produksi Minyak Sawit Berkelanjutan”,
www.rspo.org., diakses 10 Januari 2016.
Website Resmi RSPO, “Factsheet
Indonesia – Mei 2012”, www.rspo.org/file/RSPO_factsheet_indo_May2012.pdf.,
diakses pada 08 Agustus 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar