Minggu, 04 Desember 2016

makalah dampak tanam paksa



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “ DAMPAK TANAM PAKSA ”Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
           




Taluk Kuantan,   November 2016



Penyusun

 



DAFTAR ISI

 


Kata Pengantar............................................................................................................. i
Daftar Isi...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1  Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah......................................................................................... 1
1.3  Tujuan............................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1  Sistem Tanam Paksa...................................................................................... 3
2.2  Penyimpangan Sistem Tanam Paksa............................................................. 7
2.3  Dampak Tanam Paksa................................................................................... 8
2.4  Pengaruh Sistem Tanam Paksa..................................................................... 9
2.5  Tokoh-Tokoh Penentang Tanam Paksa......................................................... 10
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 12
3.1  Kesimpulan.................................................................................................... 12
DAFTARPUSTAKA..................................................................................................    13














BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Perkembangan perekonomian pulau Jawa dalam abad ke 19, yaitu merupakan masa dimana terjadinya terjadinya sistem-sistem perekonomian seperti sistem sewa tanah (land-rent), sistem tanam paksa (Cultuurstelsel) dan juga sistem ekonomi kolonial yang umumnya disebut sistem liberalisme. Perekonomian pulau Jawa pada masa itu merupakan masa dimana rakyat pulau Jawa tidak diuntungkan dalam kegiatan ekonomi, dikarenakan kegiatan ekonomi umumnya di monopoli oleh pemerintah kolonial.
Adanya tanam paksa di karenakan kesulitan keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Belgia berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden.
Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der Capellen menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan yang ditempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan produk yang dapat dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini menemui kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya harga komoditi pertanian tropis di dunia.
Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena persaingan-persaingan dagang internasional. Persaingan dagang tersebut diantaranya dengan pihak Inggris, dan setelah berdirinya Singapura pada tahun 1819 menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan Asia Tenggara. Permasalahan di kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa, dimana kopi merupakan produk ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.

1.2  Rumusan Masalah
1.     Bagaimana sistem tanam paksa Belanda yang di jalankan di Indonesia ?
2.     Apa yang menyebabkan Belanda menyuruh petani untuk menanam kopi pada abad ke-18 ?
3.     Apa dampak dan pengaruh dari tanam paksa bagi Belanda maupun Indonesia ?
4.     Tokoh-tokoh yang menentang tanam paksa di Indonesia ?
5.     Bagaimana penghapusan tanam paksa di Indonesia ?

1.3  Tujuan
1.     Menjelaskan jalannya tanam paksa yang terjadi di Indonesia.
2.     Menjelaskan keuntungan Belanda dalam menyuruh petani utuk menanam kopi.
3.     Menjelaskan dampak dan pengaruh yang disebabkan tanam paksa , baik bagi Indonesia maupun bagi Belanda.
4.     Mengetahui tokoh-tokoh yang menentang sekaligus menghapus sistem tanam paksa di Indonesia.
5.     Menjelaskan bagaimana tanam paksa dapat di hapuskan.











BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) 1830-1870
Johannes Van den Bosch adalah pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat menjadi Gubernur Jendral pada 19 Januari 1830 dan dasar pemerintahannya tertuang dalam RR 1830. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835 dan menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan di Jawa. Ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:
1.       Orang-orang Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
2.       Bagian tanah yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari pajak.
3.       Pekerjaan untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
4.       Bagian tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari pembayaran pajak tanah.
5.       Hasil dari tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat, maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
6.       Tanaman yang rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat, maka akan ditangggung oleh pihak pemerintah.
7.       Pelaksanaan tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa hanya sebagai pengawas.

            Ketentuan-ketentuan tersebut jika dicermati lebih lanjut nampaknya tidak terlalu membebani rakyat. Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sering menyimpang jauh dari ketentuan sehingga merugikan rakyat dan sangat memberatkan beban rakyat. Salah satu tanaman yang di tanam pada saat tanam paksa adalah kopi. Pada era Tanam Paksa atau Cultuurstelsel (1830—1870) masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah Belanda membuka sebuah perkebunan komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di pulau Jawa, pulau Sumatera dan sebahagian Indonesia Timur. Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah kopi jenis Arabika yang didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang. Kopi juga ditanam di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores.
-          Penanaman kopi
Pada permulaan abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya pemerintah penjajahan Belanda sempat memutuskan untuk mencoba menggantinya denga jenis Kopi yang lebih kuat terhadap serangan penyakit yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Namun di daerah Timor dan Flores yang pada saat itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak terserang hama meskipun jenis kopi yang di budidayakan di sana juga kopi Arabica.
Pemerintah Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk menanggulangi hama tersebut. Varietas ini tidak begitu lama populer dan juga terserang hama. Kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi Liberika sedikit lebih besar dari biji kopi Arabika dan kopi Robusta. sebenarnya, perkebunan kopi ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan dimana buruh perkebunan kopi menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya dan di seluruh Indonesia pada umumnya.
Penanaman kopi yang mulai dilakukan oleh kompeni dalam abad ke 18 di Parahyangan sistem tanam paksa di Indonesia sudah ada sejak abad ke 18, dan yang ditanam disana bukanlah tebu, nila atau indigo melainkan kopi. Dikarenakan kopi pada waktu itu menjadi perimadona dunia dan harganya sangat mahal.
Sistem tanam paksa yang sudah ada di Parahyangan, yaitu sistem tanam paksa kopi. Kopi yang ditanam di Parahyangan berasal dari India Selatan dan bawa oleh pemerintah kolonial ke Batavia dan disebarkan ke daerah Parahyangan. Inilah yang menyebabkan lahirnya sistem tanam paksa kopi di Parahyangan.
-          Pelaksanaan, Proses Produksi Dan Pendistribusian Kopi
Dalam pelaksanaanya kebun-kebun kopi dibuat diatas tanah-tanah liar dengan mempergunakan pekerja-pekerja wajib namun dalam kenyataannya tanaman kopi tidak hanya ditanam pada tanah-tanah liar saja, namun akibat dari pemerintah Belanda yang barambisi ingin menambah hasil produksi tanaman kopi, akhirnya penduduk yang memiliki lahan pun diwajibkan untuk menyisihkan seperlima tanahnya untuk ditanami kopi. Dan bagi penduduk yang tidak memiliki lahan diwajibkan untuk bekerja pada lahan kopi tersebut. Dalam pelaksanaan tanam paksa kopi di parahyangan menurut Profesor Jan Breman, Guru Besar Emiritus pada Universiteit Van Amsterdam, menyatakan sistem tanam paksa kopi di Parahyangan dipimpin oleh para bangsawan setempat yaitu para Menak dan Sentana, yaitu adalah bangsawan Sunda yang lebih rendah.
Akibat dikerahkannya bangsawan lokal tersebut beban petani sunda pun semakin berat, dikarenakan selain harus menyerahkan hasil tanaman kopi pada pemerintah Belanda petani pun harus menyerahkan hasil panen padi mereka pada bangsawan setempat. Itu merupakan semacam gaji bagi para Menak dan Sentana. Dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi ini banyak penyimpangan-penyimpangan diantaranya; tanah petani yang dijadikan lahan penanaman kopi melebihi seperlima, tanah yang seharusnya dijadikan lahan penanaman kopi bebas pajak namun tetap dikenakan pajak, para pekerja yang seharusnya bekerja tidak melebihi masa tanam padi namun melibihi sehingga sangat membebani petani, kegagalan panen yang seharusnya ditanggung pemerintah namun ditanggung oleh rakyat, kelebihan hasil pertanian yang seharusnya diperuntukan untuk rakyat namun diambil oleh pemerintah.
Di tambah pula pada waktu petani Sunda hanya boleh berada di dua tempat yaitu desanya atau kebun kopi. Hukuman yang berlaku pun sangat keras bagi pekerja yang malas akan mendapat hukuman cambuk rotan atau pengasingan ke daerah lain. Dan disini penduduk semakin terjepit mereka hanya dijadikan budak dan ditindas oleh pemerintah Belanda.
Dalam proses pendistribusiannya kopi dari hasil tanam paksa yang dilakukan di Parahyangan dari berbagai sumber yang saya dapatkan yaitu mula-mula hasil panen dikumpulkan oleh para petani, lalu dibawan kepara para bangsawan setempat atau para Menak dan Sentana, lalu dari para bangsawan tersebut di berikan pada pemerintah kolonial untuk dikumpulkan di gudang dan selanjutnya di bawa ke Batavia untuk di kirim ke Amsterdam yaitu disana ada semacan perusahaan yang mengurus lelang produk-produk tanam paksa seperti kopi dan nila dan lalu kopi dijual ke benua Amerika atau kenegara lain di Eropa.

-          Faktor yang Mengakibatkan Sistem Tanam Paksa Kopi Berakhir
Dalam bukunya Profesor Jan Breman tanam paksa kopi dihapus akibat perlawanan dari para petani Sunda, dan inilah faktor yang mengakibatkan tanam paksa kopi di cabut dan bukan pertimbangan-pertimbangan lain yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Dikarenakan banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi di Parahyangan seperti yang telah di jelaskan dalam bagian kedua banyak hak-hak petani yang yang dibatasi oleh pemerintah kolonial dan timbulnya bencana kelaparan akibat berkurangnya lahan penanaman untuk padi yang digantikan dengan tanaman kopi, timbulnya harga-harga yang melambung, lalu timbulnya bencana kemeskinan dan diperparah oleh wabah penyakit serta kematian yang timbul akibat kekerasan dalam tanam paksa menyebabkan terjadinya perlawan dari para petani Sunda, dan dari sini para petani Sunda mulai mulai melakukan perlawanan-perlawan serta membenci dan menolak menanam kopi. Dan akhirnya pada tahun 1850 budi daya kopi dari Parahyangan tidak lagi bisa memenuhi permintaan pasar dunia.




2.2  Penyimpangan Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa. Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa diantaranya:
1.     Rakyat makin miskin karena sebagian tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada Belanda.
2.     Sawah dan ladang menjadi terlantar karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan menurun.
3.     Beban rakyat makin berat karena harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
4.     Akibat bermacam-macam beban, menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
5.     Bahaya kelaparan dan wabah penyakit timbul di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan yang menimbulkan korban jiwa terjadi di daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.
Pelaksanaan sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara perseorangan maupun melalui parlemen di negeri Belanda.




2.3  Dampak Tanam Paksa
Dampak tanam paksa bagi Belanda lebih condong memperoleh keuntungannya :
a.      Meningkatnya hasil tanaman ekspor dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
b.     Perusahaan pelayaran Belanda yang semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan keuntungan.
c.      Belanda mendapatan keuntungan yang besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
d.     Kas belanda yang semula kosong dapat dipenuhi.
e.      Penerimaan pendapatan melebihi anggaran belanja.
f.      Belanda tidak mengalami kesulitan keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
g.     Menjadikan Amsterdam sebagai pusat perdagangan hasil tanaman tropis.
Dampak tanam paksa bagi bangsa Indonesia sendiri sangat merugikan bangsa ,antara lain :
·       Kemiskinan dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
·       Beban pajak yang berat.
·       Pertanian, khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
·       Kelaparan dan kematian terjadi di mana-mana.
·       Pemaksaan bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
·       Jumlah penduduk Indonesia menurun.
·       Segi positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
·       Rakyat Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
·       Memperkenalkan teknoligo multicrops dalam pertanian.



2.4  Pengaruh Sistem Tanam Paksa
1.     Bidang Sosial
a.      Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
b.     perkembangan desa itu sendiri.Penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
c.      Tanam paksa secara tidak sengaja juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa Indonesia sendiri.
d.     Peranan bahasa melayu dan bahasa daerah dikalangan penguasa
2.     Bidang Ekonomi
a.      Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
b.     Dalam pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa.
Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari. Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.
2.5  Tokoh-Tokoh Penentang Tanam Paksa
Golongan yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai berikut:
1.     Eduard Douwes Dekker (1820–1887)
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.
2.     Baron van Hoevell (1812–1870)
Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.
3.     Fransen van der Putte (1822-1902)
Fransen van der putte yang menulis 'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.


4.     Golongan Pengusaha
Golongan pengusaha menghendaki kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan.
Penghapusan sistem tanam paksa diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965), tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel adalah sebagai berikut.
·       Pada tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
·       Pada tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
·       Pada tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.
















BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dalam mengembalikan finansial Belanda yang bengkak di karenakan pengeluaran begitu besar saat melawan pemberontakan Diponegoro dan juga perang dengan Belgia, maka pemerintahan Belanda untuk pertama kalinya mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau Jawa. Sulitnya kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel. Dimana ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834.
Culturstelsel menghadapi berbagai masalah pada tahun 1840, tanda-tanda penderitaan di kalangan orang Jawa dan Sunda mulai tampak, khususnya di daerah-daerah penanaman tebu. Wabah-wabah penyakit terjangkit pada tahun 1846-1849, dan kelaparan meluas di Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Selain itu juga di karenakan adanya pertentangan di berbagai pihak luar maupun dalam. Penghapusan tanam paksa secara radikal berlangsung sesudah tahun 1860-an. Tanaman paksa lada, indigio, teh, tebu dan kopi di Jawa dihapuskan. Undang-undang lain menghapuskan rodi di hutan jati, melarang memukul dengan rotan sebagai hukuman terhadap orang yang dianggap salah. Pada tahun 1864 Staten-Generaal menerima undang-undang Comptabiliteit, tetapi baru mulai berlaku tahun 1867. Undang-undang ini menetapkan bahwa biaya tahunan untuk Indonesia harus dibuat oleh Staten-Generaal sehingga Staten-Generaal langsung mempengaruhi arah kebijaksanaan pemerintahan di Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

Marwati Djoened Poesponegoro dan Notosusanto Nugroho.2009.Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Bachri Saiful.2005.Sejarah Perekonomian.Surakarta: UNS Press.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar