KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “
DAMPAK TANAM PAKSA ”Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber
dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Taluk
Kuantan, November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang............................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah......................................................................................... 1
1.3
Tujuan............................................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1
Sistem Tanam Paksa...................................................................................... 3
2.2 Penyimpangan Sistem Tanam Paksa............................................................. 7
2.3 Dampak Tanam
Paksa................................................................................... 8
2.4 Pengaruh Sistem Tanam Paksa..................................................................... 9
2.5 Tokoh-Tokoh Penentang Tanam Paksa......................................................... 10
BAB
III PENUTUP...................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 12
DAFTARPUSTAKA.................................................................................................. 13
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan perekonomian pulau Jawa dalam abad ke 19,
yaitu merupakan masa dimana terjadinya terjadinya sistem-sistem perekonomian
seperti sistem sewa tanah (land-rent),
sistem tanam paksa (Cultuurstelsel)
dan juga sistem ekonomi kolonial yang umumnya disebut sistem liberalisme.
Perekonomian pulau Jawa pada masa itu merupakan masa dimana rakyat pulau Jawa
tidak diuntungkan dalam kegiatan ekonomi, dikarenakan kegiatan ekonomi umumnya
di monopoli oleh pemerintah kolonial.
Adanya tanam paksa di karenakan kesulitan
keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan
untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830
di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di
Indonesia. Perang Belgia berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri
dari Belanda) dan menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro
merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari
pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden.
Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak
masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der Capellen menerapkan
suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil
tanah mereka secara bebas. Kebijakan yang ditempuh saat itu diharapkan dapat
mendorong orang Jawa untuk menghasilkan produk yang dapat dijual sehingga lebih
memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini menemui kegagalan karena
pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya harga komoditi pertanian
tropis di dunia.
Usaha-usaha Belanda tersebut semakin mendapat hambatan karena
persaingan-persaingan dagang internasional. Persaingan dagang tersebut
diantaranya dengan pihak Inggris, dan setelah berdirinya Singapura pada tahun
1819 menyebabkan peranan Batavia dalam perdagangan semakin kecil di kawasan
Asia Tenggara. Permasalahan di kawasan Indonesia sendiri diperparah dengan
jatuhnya harga kopi dalam perdagangan Eropa, dimana kopi merupakan produk
ekspor andalan pendapatan utama bagi Belanda.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sistem tanam paksa Belanda yang di jalankan di Indonesia ?
2. Apa yang
menyebabkan Belanda menyuruh petani untuk menanam kopi pada abad ke-18 ?
3. Apa dampak dan
pengaruh dari tanam paksa bagi Belanda maupun Indonesia ?
4. Tokoh-tokoh
yang menentang tanam paksa di Indonesia ?
5. Bagaimana
penghapusan tanam paksa di Indonesia ?
1.3 Tujuan
1. Menjelaskan
jalannya tanam paksa yang terjadi di Indonesia.
2. Menjelaskan
keuntungan Belanda dalam menyuruh petani utuk menanam kopi.
3. Menjelaskan
dampak dan pengaruh yang disebabkan tanam paksa , baik bagi Indonesia maupun
bagi Belanda.
4. Mengetahui
tokoh-tokoh yang menentang sekaligus menghapus sistem tanam paksa di Indonesia.
5. Menjelaskan
bagaimana tanam paksa dapat di hapuskan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sistem Tanam
Paksa (Cultuurstelsel) 1830-1870
Johannes Van den Bosch adalah pelaksana sistem Tanam Paksa, dia diangkat
menjadi Gubernur Jendral pada 19 Januari 1830 dan dasar pemerintahannya
tertuang dalam RR 1830. Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak
tahun 1830 sampai tahun 1835 dan menjelang tahun 1840 sistem ini telah berjalan
di Jawa. Ciri utama dari pelaksanaan sistem
tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat untuk membayar pajak dalam bentuk
pajak in natura, yaitu dalam bentuk hasil-hasil pertanian mereka.
Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat dalam Staatblad (lembaran
negara) No. 22 tahun 1834. Ketentuan-ketentuan pokoknya antara lain:
1. Orang-orang
Indonesia akan menyediakan sebagian dari tanah sawahnya untuk ditanami tanaman
yang laku di pasar Eropa seperti kopi, teh, tebu, dan nila. Tanah yang
diserahkan itu tidak lebih dari seperlima dari seluruh sawah desa.
2. Bagian tanah
yang disediakan sebanyak seperlima luas sawah itu bebas dari
pajak.
3. Pekerjaan
untuk memelihara tanaman tersebut tidak boleh melebihi lamanya pekerjaan yang
diperlukan untuk memelihara sawahnya sendiri.
4. Bagian tanah
yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebasakan dari pembayaran
pajak tanah.
5. Hasil dari
tanaman tersebut diserahkan kepada Pemerintah Belanda dan ditimbang. Jika
harganya ditaksir melebihi harga sewa tanah yang harus dibayar oleh rakyat,
maka lebihnya tersebut akan dikembalikan kepada rakyat. Hal ini bertujuan untuk
memacu para penanam supaya bertanam dan memajukan tanaman ekspor.
6. Tanaman yang
rusak akibat bencana alam, dan bukan akibat kemalasan atau kelalaian rakyat,
maka akan ditangggung oleh pihak pemerintah.
7. Pelaksanaan
tanam paksa diserahkan kepada pegawai-pegawai pribumi, dan pihak pegawai Eropa
hanya sebagai pengawas.
Ketentuan-ketentuan
tersebut jika dicermati lebih lanjut nampaknya tidak terlalu membebani rakyat.
Namun dalam pelaksanaannya, ternyata sering menyimpang jauh dari ketentuan
sehingga merugikan rakyat dan sangat memberatkan beban rakyat. Salah satu tanaman yang di tanam pada saat tanam paksa adalah kopi. Pada era Tanam
Paksa atau Cultuurstelsel (1830—1870)
masa penjajahan Belanda di Indonesia, pemerintah Belanda membuka sebuah
perkebunan komersial pada koloninya di Hindia Belanda, khususnya di
pulau Jawa, pulau Sumatera dan sebahagian
Indonesia
Timur. Jenis kopi yang dikembangkan di Indonesia adalah kopi
jenis Arabika yang
didatangkan langsung dari Yaman. Pada awalnya pemerintah Belanda menanam kopi
di daerah sekitar Batavia (Jakarta), Sukabumi, Bogor, Mandailing dan Sidikalang. Kopi juga
ditanam di Jawa
Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Sumatra, Sulawesi, Timor dan Flores.
-
Penanaman kopi
Pada permulaan
abad ke-20 perkebunan kopi di Indonesia mulai terserang hama, yang hampir
memusnahkan seluruh tanaman kopi. Akhirnya pemerintah penjajahan Belanda sempat
memutuskan untuk mencoba menggantinya denga jenis Kopi yang lebih kuat terhadap
serangan penyakit yaitu kopi Liberika dan Ekselsa. Namun di
daerah Timor dan Flores yang pada saat
itu berada di bawah pemerintahan bangsa Portugis tidak
terserang hama meskipun jenis kopi yang di budidayakan di sana juga kopi Arabica.
Pemerintah
Belanda kemudian menanam kopi Liberika untuk
menanggulangi hama tersebut. Varietas ini tidak begitu lama populer dan juga
terserang hama. Kopi Liberika masih dapat ditemui di pulau Jawa, walau jarang
ditanam sebagai bahan produksi komersial. Biji kopi Liberika sedikit lebih
besar dari biji kopi Arabika dan kopi Robusta. sebenarnya,
perkebunan kopi ini tidak terserang hama, namun ada revolusi perkebunan dimana
buruh perkebunan kopi menebang seluruh perkebunan kopi di Jawa pada khususnya
dan di seluruh Indonesia pada umumnya.
Penanaman kopi
yang mulai dilakukan oleh kompeni dalam abad ke 18 di Parahyangan sistem tanam
paksa di Indonesia sudah ada sejak abad ke 18, dan yang ditanam disana bukanlah
tebu, nila atau indigo melainkan kopi. Dikarenakan kopi pada waktu itu menjadi
perimadona dunia dan harganya sangat mahal.
Sistem tanam
paksa yang sudah ada di Parahyangan, yaitu sistem tanam paksa kopi. Kopi yang
ditanam di Parahyangan berasal dari India Selatan dan bawa oleh pemerintah
kolonial ke Batavia dan disebarkan ke daerah Parahyangan. Inilah yang
menyebabkan lahirnya sistem tanam paksa kopi di Parahyangan.
-
Pelaksanaan,
Proses Produksi Dan Pendistribusian Kopi
Dalam
pelaksanaanya kebun-kebun kopi dibuat diatas tanah-tanah liar dengan
mempergunakan pekerja-pekerja wajib namun dalam kenyataannya tanaman kopi tidak
hanya ditanam pada tanah-tanah liar saja, namun akibat dari pemerintah Belanda
yang barambisi ingin menambah hasil produksi tanaman kopi, akhirnya penduduk
yang memiliki lahan pun diwajibkan untuk menyisihkan seperlima tanahnya untuk
ditanami kopi. Dan bagi penduduk yang tidak memiliki lahan diwajibkan untuk
bekerja pada lahan kopi tersebut. Dalam pelaksanaan tanam paksa kopi di
parahyangan menurut Profesor Jan Breman, Guru Besar Emiritus pada Universiteit
Van Amsterdam, menyatakan sistem tanam paksa kopi di Parahyangan dipimpin oleh
para bangsawan setempat yaitu para Menak dan Sentana, yaitu adalah bangsawan
Sunda yang lebih rendah.
Akibat
dikerahkannya bangsawan lokal tersebut beban petani sunda pun semakin berat,
dikarenakan selain harus menyerahkan hasil tanaman kopi pada pemerintah Belanda
petani pun harus menyerahkan hasil panen padi mereka pada bangsawan setempat.
Itu merupakan semacam gaji bagi para Menak dan Sentana. Dalam pelaksanaan
sistem tanam paksa kopi ini banyak penyimpangan-penyimpangan diantaranya; tanah
petani yang dijadikan lahan penanaman kopi melebihi seperlima, tanah yang
seharusnya dijadikan lahan penanaman kopi bebas pajak namun tetap dikenakan
pajak, para pekerja yang seharusnya bekerja tidak melebihi masa tanam padi
namun melibihi sehingga sangat membebani petani, kegagalan panen yang
seharusnya ditanggung pemerintah namun ditanggung oleh rakyat, kelebihan hasil
pertanian yang seharusnya diperuntukan untuk rakyat namun diambil oleh
pemerintah.
Di tambah pula
pada waktu petani Sunda hanya boleh berada di dua tempat yaitu desanya atau
kebun kopi. Hukuman yang berlaku pun sangat keras bagi pekerja yang malas akan
mendapat hukuman cambuk rotan atau pengasingan ke daerah lain. Dan disini
penduduk semakin terjepit mereka hanya dijadikan budak dan ditindas oleh
pemerintah Belanda.
Dalam proses
pendistribusiannya kopi dari hasil tanam paksa yang dilakukan di Parahyangan
dari berbagai sumber yang saya dapatkan yaitu mula-mula hasil panen dikumpulkan
oleh para petani, lalu dibawan kepara para bangsawan setempat atau para Menak
dan Sentana, lalu dari para bangsawan tersebut di berikan pada pemerintah
kolonial untuk dikumpulkan di gudang dan selanjutnya di bawa ke Batavia untuk
di kirim ke Amsterdam yaitu disana ada semacan perusahaan yang mengurus lelang
produk-produk tanam paksa seperti kopi dan nila dan lalu kopi dijual ke benua
Amerika atau kenegara lain di Eropa.
-
Faktor yang
Mengakibatkan Sistem Tanam Paksa Kopi Berakhir
Dalam bukunya
Profesor Jan Breman tanam paksa kopi dihapus akibat perlawanan dari para petani
Sunda, dan inilah faktor yang mengakibatkan tanam paksa kopi di cabut dan bukan
pertimbangan-pertimbangan lain yang dilakukan oleh penguasa kolonial. Dikarenakan
banyaknya penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan sistem tanam paksa kopi
di Parahyangan seperti yang telah di jelaskan dalam bagian kedua banyak hak-hak
petani yang yang dibatasi oleh pemerintah kolonial dan timbulnya bencana
kelaparan akibat berkurangnya lahan penanaman untuk padi yang digantikan dengan
tanaman kopi, timbulnya harga-harga yang melambung, lalu timbulnya bencana
kemeskinan dan diperparah oleh wabah penyakit serta kematian yang timbul akibat
kekerasan dalam tanam paksa menyebabkan terjadinya perlawan dari para petani
Sunda, dan dari sini para petani Sunda mulai mulai melakukan perlawanan-perlawan
serta membenci dan menolak menanam kopi. Dan akhirnya pada tahun 1850 budi daya
kopi dari Parahyangan tidak lagi bisa memenuhi permintaan pasar dunia.
2.2 Penyimpangan
Sistem Tanam Paksa
Pelaksanaan
Sistem Tanam Paksa banyak menyimpang dari ketentuan pokok dan cenderung
mengadakan eksploitasi agraris yang semaksimal mungkin. Oleh karena itu, Sistem
Tanam Paksa mengakibatkan penderitaan bagi rakyat pedesaan di Pulau Jawa.
Adapun penderitaan bangsa Indonesia akibat pelaksanaan sistem Tanam Paksa
diantaranya:
1. Rakyat makin miskin karena sebagian
tanah dan tenaganya harus disumbangkan secara cuma-cuma kepada
Belanda.
2. Sawah dan ladang menjadi terlantar
karena kewajiban kerja paksa yang berkepanjangan mengakibatkan penghasilan
menurun.
3. Beban rakyat makin berat karena
harus menyerahkan sebagian tanah dan hasil panen, membayar pajak, mengikuti
kerja rodi, serta menanggung risiko apabila panen gagal.
4. Akibat bermacam-macam beban,
menimbulkan tekanan fisik dan mental yang berkepanjangan.
5. Bahaya kelaparan dan wabah penyakit
timbul di mana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan
yang menimbulkan korban jiwa terjadi di
daerah Cirebon (1843), Demak (1849), dan Grobogan (1850). Kejadian itu telah
mengakibatkan penurunan jumlah penduduk secara drastis. Di Demak jumlah
penduduknya yang semula 336.000 jiwa turun sampai dengan 120.000 jiwa, di
Grobogan dari 89.500 turun sampai dengan 9.000 jiwa. Demikian pula yang terjadi
di daerah-daerah lain, penyakit busung lapar (hongerudeem) merajalela.
Pelaksanaan
sistem tanam Paksa menyebabkan bangsa Indonesia menderita, sehingga muncul
reaksi berupa perlawanan. Pada sisi yg lain, orang-orang Belanda sendiri juga
banyak yang menentangnya. Sistem tanam paksa ditentang, baik secara
perseorangan maupun melalui parlemen di negeri Belanda.
2.3 Dampak Tanam Paksa
Dampak tanam paksa bagi Belanda lebih condong memperoleh keuntungannya :
a. Meningkatnya hasil tanaman ekspor
dari negeri jajahan dan dijual Belanda di pasaran Eropa.
b. Perusahaan pelayaran Belanda yang
semula hampir mengalami kerugian, tetapi pada masa tanam paksa mendapatkan
keuntungan.
c. Belanda mendapatan keuntungan yang
besar, keuntungantanam paksa pertama kali pada tahun 1834 sebesar 3 juta
gulden, pada tahun berikutnya rata-rata sekitar 12 sampai 18 juta gulden.
d. Kas belanda yang semula kosong dapat
dipenuhi.
e. Penerimaan pendapatan melebihi
anggaran belanja.
f. Belanda tidak mengalami kesulitan
keuangan lagi dan mampu melunasi utang-utang Indonesia.
g. Menjadikan Amsterdam sebagai pusat
perdagangan hasil tanaman tropis.
Dampak tanam paksa bagi bangsa
Indonesia sendiri sangat merugikan bangsa ,antara lain :
·
Kemiskinan
dan penderitaan fisik dan mental yang berkepanjangan.
·
Beban
pajak yang berat.
·
Pertanian,
khusunya padi banyak mengalami kegagalan panen.
·
Kelaparan
dan kematian terjadi di mana-mana.
·
Pemaksaan
bekerja sewenang-wenang kepada penduduk pribumi.
·
Jumlah
penduduk Indonesia menurun.
·
Segi
positifnya, rakyat Indonesia mengenal teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
·
Rakyat
Indonesia mulai mengenal tanaman dagang yang laku dipasaran ekspor Eropa.
·
Memperkenalkan
teknoligo multicrops dalam pertanian.
2.4 Pengaruh
Sistem Tanam Paksa
1. Bidang
Sosial
a. Dalam bidang pertanian, khususnya
dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan
petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial
dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah.
b. perkembangan desa itu
sendiri.Penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya
keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
c. Tanam paksa secara tidak sengaja
juga membantu kemajuan bagi bangsa Indonesia, dalam hal mempersiapkan
modernisasi dan membuka jalan bagi perusahaan-perusahaan partikelir bagi bangsa
Indonesia sendiri.
d. Peranan bahasa melayu dan bahasa
daerah dikalangan penguasa
2. Bidang
Ekonomi
a. Dengan adanya tanam paksa tersebut
menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh
penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama
tampak di kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula.
b. Dalam pelaksanaan tanam paksa,
penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami
tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk
dengan pemerintah kolonial secara paksa.
Dengan demikian hasil produksi
tanaman eksport bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur
untuk ikut menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari. Akibat lain dari
adanya tanam paksa ini adalah timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa
bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan
bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial berupa
pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk, rumah-rumah
pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng untuk
tentara kolonial.
2.5 Tokoh-Tokoh
Penentang Tanam Paksa
Golongan
yang menentang tanam paksa di Indonesia sendiri terdiri atas golongan bawah
yang merasa iba mendengar keadaan petani yang menderita akibat tanam paksa. Mereka menghendaki agar
tanam paksa dihapuskan berdasarkan peri kemanusiaan. Kebanyakan dari mereka
diilhami oleh ajaran agama. Sementara itu dari golongan menengah yang terdiri
dari pengusaha dan pedagang swasta yang menghendaki agar perekonomian tidak
saja dikuasai oleh pemerintah namun bebas kepada penanam modal. Tokoh Belanda
yang menentang pelaksanaan Sistem tanam paksa di Indonesia, antara lain sebagai
berikut:
1. Eduard
Douwes Dekker (1820–1887)
Eduard Douwes Dekker atau Multatuli sebelumnya adalah
seorang residen di Lebak, (Serang, Jawa Barat). Ia sangat sedih menyaksikan betapa
buruknya nasib bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa dan berusaha
membelanya. Ia mengarang sebuah buku yang berjudul Max Havelaar (lelang kopi
perdagangan Belanda) dan terbit pada tahun 1860. Dalam buku tersebut, ia
melukiskan penderitaan rakyat di Indonesia akibat pelaksanaan sistem tanam
paksa. Selain itu, ia juga mencela pemerintah Hindia-Belanda atas segala
kebijakannya di Indonesia. Eduard Douwes Dekker mendapat dukungan dari kaum
liberal yang menghendaki kebebasan. Akibatnya, banyak orang Belanda yang
mendukung penghapusan Sistem Tanam Paksa.
2. Baron van
Hoevell (1812–1870)
Selama tinggal di Indonesia, Baron van Hoevell menyaksikan
penderitaan bangsa Indonesia akibat sistem tanam paksa. Baron van Hoevell
bersama Fransen van de Putte menentang sistem tanam paksa. Kedua tokoh itu juga
berjuang keras menghapuskan sistem tanam paksa melalui parlemen Belanda.
3. Fransen
van der Putte (1822-1902)
Fransen van der putte yang menulis
'Suiker Contracten' sebagai bentuk protes terhadap kegiatan tanam paksa.
4.
Golongan Pengusaha
Golongan pengusaha menghendaki
kebebasan berusaha, dengan alasan bahwa sistem tanam paksa tidak sesuai dengan
ekonomi liberal. Akibat reaksi dari orang-orang Belanda yang didukung oleh kaum
liberal mulai tahun 1865 sistem tanam paksa dihapuskan.
Penghapusan sistem tanam paksa
diawali dengan penghapusan kewajiban penanaman nila, teh, kayu manis (1965),
tembakau (1866), tanaman tebu (1884) dan tanaman kopi (1916). Hasil dari
perdebatan di parlemen Belanda adalah dihapuskannya cultuur stelsel secara
bertahap mulai tanaman yang paling tidak laku sampai dengan tanaman yang laku
keras di pasaran Eropa. Secara berangsur-angsur penghapusan cultuurstelsel
adalah sebagai berikut.
·
Pada
tahun 1860, penghapusan tanam paksa lada.
·
Pada
tahun 1865, penghapusan tanam paksa untuk the dan nila.
·
Pada
tahun 1870, hampir semua jenis tanam paksa telah dihapuskan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam mengembalikan finansial Belanda yang bengkak di
karenakan pengeluaran begitu besar saat melawan pemberontakan Diponegoro dan
juga perang dengan Belgia, maka pemerintahan Belanda untuk pertama kalinya
mampu mengeksploitasi dan menguasai seluruh pulau Jawa. Sulitnya
kondisi finansial Belanda kemudian mendorong pemerintah Belanda untuk membuat
berbagai kebijakan di daerah koloninya. Salah satu usaha penyelamatan keuangan
tersebut adalah diterapkannya sistem tanam paksa atau culturstelsel. Dimana ciri utama dari pelaksanaan sistem tanam paksa adalah keharusan bagi rakyat
untuk membayar pajak dalam bentuk pajak in natura, yaitu dalam bentuk
hasil-hasil pertanian mereka. Ketentuan-ketentuan sistem tanam paksa, terdapat
dalam Staatblad (lembaran negara) No. 22 tahun 1834.
Culturstelsel menghadapi berbagai masalah pada tahun 1840,
tanda-tanda penderitaan di kalangan orang Jawa dan Sunda mulai tampak,
khususnya di daerah-daerah penanaman tebu. Wabah-wabah penyakit terjangkit pada
tahun 1846-1849, dan kelaparan meluas di Jawa Tengah sekitar tahun 1850. Selain itu juga di karenakan adanya pertentangan di berbagai pihak luar
maupun dalam. Penghapusan tanam paksa secara radikal berlangsung
sesudah tahun 1860-an. Tanaman paksa lada, indigio, teh,
tebu dan kopi di Jawa dihapuskan. Undang-undang lain menghapuskan rodi di hutan jati,
melarang memukul dengan rotan sebagai hukuman terhadap orang yang dianggap
salah. Pada tahun 1864 Staten-Generaal menerima undang-undang Comptabiliteit,
tetapi baru mulai berlaku tahun 1867. Undang-undang ini menetapkan bahwa biaya
tahunan untuk Indonesia harus dibuat oleh Staten-Generaal sehingga Staten-Generaal
langsung mempengaruhi arah kebijaksanaan pemerintahan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Marwati
Djoened Poesponegoro dan Notosusanto
Nugroho.2009.Sejarah Nasional Indonesia: Kemunculan
Penjajahan di Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Bachri Saiful.2005.Sejarah Perekonomian.Surakarta: UNS
Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar