KATA PENGANTAR
Teriring do’a sebagai seorang hamba, segenap ikhtiar sebagai
seorang khalifah, dan segala puji syukur milik Allah SWT, Pencipta semesta
alam, yang menaburkan kehidupan dengan penuh hikmah. Dengan limpahan rahmat,
taufik serta inayah-Nya, penulis diberikan kekuatan untuk menyelesaikan makalah
yang berjudul “Kewajiban Sertifikasi ISPO Bagi Perusahaan
Perkebunan Sawit Di Indonesia”.
Sholawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada
junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW, sang penerang umat, juga kepada
keluarga yang mulia,sahabatnya yang tercinta dan umatnya yang setia akhir zaman semoga kita mendapat syafaat-Nya,
Amien….
Dengan terselesaikannya makalah ini, tak lupa penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini .
Sebagaimana pepatah mengatakan Tiada gading yang tak retak, maka
penulisan makalah inipun tentunya dijumpai banyak kekurangan dan kelemahan.
Untuk itu penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya dan mengharap tegur serta
saran-saran penyempurnaan, agar kedepannya makalah ini dapat lebih baik lagi.
Teluk Kuantan,
Januari 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................................ i
Daftar
Isi.................................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1
Latar Belakang............................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................................ 2
1.3
Tujuan Makalah............................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN.......................................................................................... 3
2.1
Sertifikasi ISPO Bagi Perusahaan Perkebunan.................................................. 3
2.2 Aspek Yuridis Peraturan Menteri Pertanian No.19/ Permentan
/Ot
.140/3/2011.).......................................................................................... 5
2.3 Sanksi Bagi Perusahaan
Perkebunan Yang Tidak Memiliki
Sertifikat ISPO.
........................................................................................... 7
BAB
III PENUTUP.................................................................................................. 9
3.1 Kesimpulan.................................................................................................. 9
3.2 Saran............................................................................................................ 9
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................. 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kelapa sawit adalah salah satu tanaman
industri dengan hasil panen yang sangat besar. Kelapa sawit memiliki harga yang
sangat bersaing dalam pasar dunia, dikarenakan sawit digunakan sebagai bahan
baku pokok hampir dalam setiap industri makanan hingga produksi kebutuhan rumah
tangga. Minyak kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang telah menjadi
komoditas andalan ekspor Indonesia, selain untuk memenuhi kebutuhan dalam
negeri. Harga minyak dan inti sawit relatif
terus meningkat dalam 20 tahun terakhir--kecuali tahun 2008,akibat dampak krisis
global saat itu. Permintaan minyak dan inti sawit terus meroket, khususnya
darinegara maju lama --seperti Eropa dan Amerika, dan negara maju baru seperti
China dan India.
Luar
biasanya, dua negara terakhir menyerap hampir dua pertiga produksi minyak sawit
Indonesia yang angka produksinya diperkirakan akan mencapai 25 juta ton tahun
ini. China menampung 6,65 jutaton, dan India mengimpor 7,1 juta ton minyak
sawit Indonesia tahun 2012.Indonesia, yang memproduksi 50 persen dari produksi
global minyak sawit, menikmati 9,11 miliar USDollar atau sekitar 12 persen dari
total pendapatan pemerintah tahun 2011.
Mata dunia mengarah ke industri ini karena signifikansinya
dalam pertumbuhan ekonomi di satu sisi, tetapi biaya sosial dan lingkungan yang
harus dikorbankan untuk menopangnya sangat besar di sisi lain. Kalangan pasar
dan konsumen global merespon dengan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil),
dan pemerintah Indonesia merespon dengan membentuk ISPO (Indonesian Sustainable
Palm Oil).
Indonesia saat ini menjadi
produsen terbesar di dunia minyak sawit, telah menerima banyak perhatian dalam
beberapa tahun terakhir, terutama dari masyarakat global yang yang peduli
tentang keberlanjutan produksi minyak sawit, dan ISPO merupakan bagian dari
Pemerintah respon Indonesia. ISPO akan membantu untuk memastikan bahwa ada
pertumbuhan, pemerataan, meningkatkan mata pencaharian dan integritas
lingkungan di sektor kelapa sawit.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa kewajiban
sertifikasi ISPO bagi perusahaan perkebunan ?
1.
Apa aspek yuridis peraturan menteri pertanian no.19/
permentan/ot.140/3/2011.?
2. Apa
sanksi bagi perusahaan perkebunan yang tidak memiliki
sertifikat ISPO O ?
1.3 Tujuan Makalah
2.
Untuk
mengetahui kewajiban sertifikasi ISPO bagi perusahaan
perkebunan.
3.
Untuk
mengetahui aspek yuridis peraturan menteri
pertanian no.19/ permentan / ot . 140/3/2011.
4.
Untuk
mengetahui sanksi bagi perusahaan perkebunan yang
tidak memiliki sertifikat ISPO.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Kewajiban Sertifikasi ISPO Bagi Perusahaan
Perkebunan
Perusahaan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia mendapat satu polemik terkait dengan kedudukan Peraturan Menteri
Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)
sebagai sumber hukum. Hal ini dikarenakan tidak ada pengaturan di atasnya yang
memerintahkan untuk itu.
Sedangkan Pasal 8 Undang-Undang No. 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, menyatakan bahwa Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perkwakilan Daerah,
Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga
atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah
atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa
atau yang setingkat.
Peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan
hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”. Berdasarkan Pasal 7
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan, mengenai kedudukan pedoman perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan Indonesia dapat dikatakan bahwa dikarenakan pedoman tersebut
tidak diperintahkan oleh suatu perundang-undangan yang berada di atasnya untuk
pengaturannya maka Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011
yang mewajibkan sertifikasi ISPO terhadap perkebunan di Indonesia adalah tidak
termasuk ke dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
Tetapi di dalam Pasal 8 ayat
(2) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, ada frase “atau dibentuk berdasarkan
kewenangannya”. Oleh karena itu, Peraturan Menteri Pertanian No.
19/Permentan/OT.140/3/2011 adalah sebuah pengaturan yang dibentuk berdasarkan
kewenangan Menteri Pertanian. Maka, Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tepatnya frase “atau
dibentuk berdasarkan kewenangannya” adalah terpenuhi.
Oleh karena itu, Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011
adalah mengikat secara hukum karena berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan
bahwa peraturan yang dibentuk berdasarkan kewenangan pejabat terkait adalah mengikat
dan berlaku secara hukum. Selain itu juga, berdasarkan pendapat A. Hamid S.
Attamimi, yang menyatakan bahwa :
“Hanya perkembangannya yang datang kemudian menyebabkan dikenalnya
pembentukan peraturan negara berdasarkan fungsi reglementer dan berdasarkan
fungsi eksekutif. Sementara pada umumnya, kewenangan pengaturan yang timbul
dari fungsi reglementer dan eksekutif itu selalu didasarkan pada peraturan
negara yang lebih tinggi dalam wujud kewenangan atribusi ataupun delegasi”
Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan menurut
Maria Farida Indrati S., menyatakan bahwa :
“Pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang
diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan kepada suatu lembaga negara/
pemerintahan. Kewenangan tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan
atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan batas-batas yang
diberikan.
Delegasi kewenangan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan ialah pelimpahan kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan
yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah, baik
pelimpahan yang dinyatakan dengan tegas maupun tidak”.
Bertitik tolak dari hal
tersebut, maka pada hakikatnya kewenangan pemerintah atau pejabat administrasi
negara dalam pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan kewenangan yang
bersifat pelimpahan (delegated authority) karena kewenangan asli (original
authority) pembentukan peraturan perundang-undangan ada pada badan
legislatif. Pendelegasian kewenangan legislatif kepada pemerintah (eksekutif),
dalam hal ini Kementrian Pertanian, membuat pejabat pemerintah atau pejabat
administrasi Negara memiliki kewenangan legislatif seperti halnya pembentuk
undang-undang asli (badan legislatif).
Kebijakan yang ditetapkan
pejabat administrasi negara berdasarkan kewenanganya yang bersumber dari
peraturan perundang-undangan, kemudian dituangkan dalam berbagai bentuk-bentuk
hukum yang ada di Indonesia termasuk dalam golongan peraturan
perundang-undangan. Di Indonesia, bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan
yang disebut mengikat berdasarkan kewenangannya ini antara lain adalah
Peraturan Presiden/Peraturan Menteri/ Peraturan Badan yang dibentuk dengan undang-undang
atau pemerintah atas perintah dari Undang-undang.
Lebih lanjut, jika ingin mengetahui apakah
Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 ini benar mengikat
dan termasuk dalam hirarki pertauran perundang-undangan adalah dikaji dari
Definisi peraturan perundang-undangan yang menyatakan : “Peraturan tertulis
yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan
oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang
ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan”. Definisi tersebut terdiri dari
3 (tiga) ciri, yaitu:
1. “Peraturan Tertulis;
2. Memuat Norma Hukum yang mengikat secara umum;
3. Dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang adalah
pejabat/lembaga yang berwenang.
2.2 Aspek Yuridis Peraturan
Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011
Suswono sebagai Menteri
Pertanian RI mengeluarkan pernyataan sebagaimana dikutip :“Awal Maret nanti
sudah dimulai proses sertifikasi ISPO, sertifikasi ISPO akan dilakukan khusus
sertifikasi bagi perusahaan perkebunan. Sedangkan untuk perkebunan rakyat akan
diatur dalam peraturan tersendiri. Pada tanggal 31 Desember 2012 ini seluruh
perusahaan sawit di Indonesia harus sudah mengantongi sertifikasi ISPO. Karena
itu, perusahaan perkebunan dapat segera melakukan sertifikasi.
Perusahaan perkebunan sawit yang dapat mengajukan permohonan
sertifikasi ISPO harus memenuhi beberapa persyaratan. Misalnya, sudah mendapat
penilaian sebagai kebun kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Penilaian ini sesuai
dengan Permentan No. 7 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
ISPO
berbeda dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), ISPO disusun
berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan berbagai
terkait. Misalnya Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian
Lingkungan Hidup, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Badan
Pertanahan Nasional. Karena itu seluruh ketentuan di dalam ISPO harus ditaati
karena masing-masing ketentuan tersebut ada sanksinya”.
Aspek yuridis
Pasal 3, Peraturan Menteri Pertanian No.19/Permentan/OT.140/3/2011 yang
mewajibkan sertifikasi ISPO terhadap perkebunan di Indonesia adalah sertifikasi
ISPO menjadi wajib dan mengikat kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit di
Indonesia. Selanjutnya, apabila tidak dilaksanakan maka dapat diberlakukan
sanksi yang tertera dalam Pasal 4 ketentuan tersebut yaitu mengenai sanksi
penurunan kelas-kelas kebun yang akan berlanjut sampai dengan pencabutan Izin
Usaha Perkebunan milik Perusahaan.
Tujuan dari
sertifikasi ISPO ini menurut Kementerian Pertanian adalah untuk mendorong usaha
perkebunan kelapa sawit memenuhi kewajibannya sesuai peraturan
perundang-undangan, melindungi, mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit
berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar.18 Tetapi menurut perusahaan
perkebunan, sertifikasi ISPO adalah salah satu bentuk pungutan yang dilegalkan
oleh Pemerintah. Pungutan dalam artian kewajiban sertifikasi ISPO sudah pasti
membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Lebih detail lagi adalah adanya fakta
yang diketahui bahwa ISPO ini tidak diakui di pasar Eropa, tidak seperti RSPO
yang secara global diakui keberadaannya.19 Hal ini menjadi dilema bagi pelaku
usaha perkebunan kelapa sawit untuk mengimplementasikan dan melaksanakan ISPO.
Peraturan
Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 yang mewajibkan sertifikasi
ISPO terhadap perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah dibentuk berdasarkan
kewenangan Menteri Pertanian yang mengatur hal tersebut. Maka, konsekuensinya
adalah bahwa pengaturan ISPO tersebut mengikat kepada setiap perusahaan
perkebunan kelapa sawit, yang secara hukum berlaku secara sah terhadap seluruh
perusahaan perkebunan dan industri kelapa sawit.
Kewajiban
sertifikasi ini dianggap sebagai sesuatu yang mengikat dan berdampak hukum
terhadap perusahaan, karena ketentuannya telah ditetapkan melalui produk hukum
Peraturan Menteri Pertanian. Sanksi dan ketentuannya telah tegas disampaikan,
oleh karena itu, mau tidak mau, Perusahaan tetap harus melakukan penyesuaian,
pemenuhan terhadap kepatuhan regulasi, pendaftaran, perolehan sertifikasi
sampai dengan melakukan monitoring dan pengawasan sebagai bentuk
komitmen yang nyata dalam upaya untuk menciptakan produk kelapa sawit yang
berkelanjutan.
2.3 Sanksi Bagi Perusahaan
Perkebunan Yang Tidak Memiliki Sertifikat ISPO
Sertifikat
ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) wajib dimiliki oleh setiap
perusahaan perkebunan sawit di seluruh Indonesia. Jika ada perusahaan sawit
yang melanggar aturan itu, akan disanksi penurunan kelas kebun bahkan dapat
dicabut izin usaha perkebunannya. Bagi perusahaan kelapa sawit kelas I, kelas
II atau kelas III jika sampai dengan batas waktu sebagaimana ditentukan oleh
Permentan No 19 tahun 2011 belum mengajukan permohonan untuk mendapatkan
sertifikat ISPO, akan dikenakan sanksi penurunan kelas kebun sawit menjadi
kelas IV, bahkan yang terburuk bisa dicabut izinnya,
“Implementasi
ISPO sendiri dalam jangka panjang memiliki nilai strategis, selain mengurangi
ketergantungan pada standar sawit lain yang merugikan pengembangan
perkelapasawitan nasional. Juga meminimalkan citra negatif sekaligus membangun
citra positif pekebun sawit nasional di hadapan pembeli. Sebelum
dikeluarkan sertifikat ISPO, perusahaan terlebih dahulu ditinjau oleh tim dari
pusat. Syarat yang paling utama adalah perusahaan harus memiliki izin. Layak
atau tidak layaknya suatu perusahaan mendapatkan sertifikat ISPO, tergantung
pada penilaian dari tim pusat.
Revisi sistem sertifikasi Indonesian Sustainable
Palm Oil (ISPO) atau Pembangunan Kelapa Sawit Berkelanjutan yang telah
rampung pada April lalu, saat ini sudah melangkah pada tahap sosialisasi. Revisi
yang tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor
11/Permentan/OT.140/3/2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan
Indonesia menjadi suatu yang ditunggu-tunggu para pelaku usaha perkebunan sawit
di Indonesia.
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mengatakan sertifikasi ISPO merupakan sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi. Seain itu juga layak sosial dan ramah lingkungan berdasarkan perundangan di Indonesia.
Dengan terbitnya revisi, Gamal mengatakan perusahaan kelapa sawit wajib mengikuti sertifikasi ISPO yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam penerapannya, ia mengatakan sistem sertifikasi ISPO terbagi menjadi dua.
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Gamal Nasir mengatakan sertifikasi ISPO merupakan sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi. Seain itu juga layak sosial dan ramah lingkungan berdasarkan perundangan di Indonesia.
Dengan terbitnya revisi, Gamal mengatakan perusahaan kelapa sawit wajib mengikuti sertifikasi ISPO yang telah ditetapkan pemerintah. Dalam penerapannya, ia mengatakan sistem sertifikasi ISPO terbagi menjadi dua.
Sertfikat ISPO berlaku selama lima tahun,"
perusahaan perkebunan yang belum mengajukan sertifikat ISPO sampai dengan 31
Desember tahun lalu masih diberikan tenggat waktu hingga 25 September mendatang
untuk mengajukan pendaftaran permohonan sertifikat ISPO.
Apabila sampai tanggal tersebut belum mengajukan,
kelas kebun akan diturunkan menjadi kelas IV oleh pemberi izin yakni gubernur
atau bupati sesuai kewenangannya," sambungnya. Bagi yang telah memiliki kelas
kebun namun belum mengajukan permohonan sertifikasi ISPO, maka akan diberika
peringatan sebanyak tiga kali dengan selang waktu empat bulan. Jika pada batas
waktu yang ditetapkan, belum juga mengajukan maka izin usahanya akan dicabut.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sertifikasi ISPO ini
mendorong pertumbuhan investasi dan pengembangan Perusahaan perkebunan kelapa
sawit di Indonesia untuk mengimplementasikan pengembangan usaha dan
manajemennya ke arah sistem yang berkelanjutan dan berkesinambungan dalam
jangka panjang. Hal ini terlihat dari tujuan dan sasaran pembentukan ISPO dalam
menciptakan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan, yang berarti adalah kewajiban Perusahaan untuk memperhatikan
aspek-aspek hukum, sosial, manajemen dan lingkungan yang secara paralel akan
sangat berpengaruh terhadap investasi dan produktifitas Perusahaan.
Implementasi ISPO yang
dilakukan oleh PT Rea Kaltim Plantation bertujuan untuk meningkatkan nilai/ value
investasinya di Indonesia. Hal ini dapat diketahui, setelah dengan
diterapkannya sertifikasi ISPO ini, namun pada akhirnya mendorong peningkatan
kwalitas dan produktifitas produk CPO yang dihasilkan serta meningkatkan
kesadaran terhadap pentingnya pemenuhan hukum. Hal ini sejalan dengan
peningkatan yang dirasakan pada penilaian Key Performance Indicator (KPI)
yang diterapkannya sebagai tolak ukur pertumbuhan investasi pada PT Rea Kaltim
Plantation.
3.2 Saran
Sebaiknya pengusaha perkebunan kelapa
sawit dalam menerapkan sertifikasi ISPO, tetap memegang teguh komitmen dan
pengawasannya terhadap regulasi ISPO ini. Salah satu tindak lanjut secara
lanjut yang dapat dilakukan oleh Perusahaan perkebunana adalah dengan memiliki
suatu bagian manajemen yang mengurusi perihal sertifikasi ISPO ini secara
spesifik.
DAFTAR PUSTAKA
Bruggink, JJ. H., B. Arief Sidharta (alih bahasa), Refleksi
Tentang Hukum : Pengertian-Pengertian Dasar Dalam Teori Hukum, Bandung :
Citra Aditya, 2011.
Brundtland, Gro Harlem., Our Common Future, New York :
Oxford University Press, 1987.
Budihardjo dan Djoko Sujarto, Sustainable Development :
Beberapa Catatan Tambahan , Jakarta : Asosiasi SYLFF & Universitas
Indonesia, 2006.
Budhivaya, I. A., “Bahan Kuliah Hukum Investasi : Pokok-Pokok
Pemahaman Penanaman Modal Langsung Serta Lingkup Hukum Investasi di Indonesia”,
Surabaya : Fakultas Hukum Universitas Narotama, tanpa tahun.
Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Ed. 1, Cet. 3, Jakarta :
Kencana, 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar