Senin, 05 Desember 2016

MAKALAH PEMIMPIN DALAM ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Pemimpin mempunyai kedudukan yang penting dalam sebuah komunitas, kelompok, masyarakat, berbangsa dan bernegara. Pemimpin. Suatu komunitas masyarakat, suatu bangsa dan negara tidak aman, maju dan terarah jika tidak adanya seorang pemimpin, maka pemimpin menjadi kunci keberhasilan suatu bangsa maupun suatu negara.
Pemimpin yang mampu memberi rasa aman,tenteram, mampu mewujudkan keinginan rakyatnya, maka dianggap pemimpin yang berhasil. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang dicintai oleh rakyatnya, bangsanya, pemikirannya dipakai meskipun telah pemimpin itu tidak lagi bersama mereka. Segala perintahnya dilakukan, rakyat membelanya tanpa diminta terlebih dahulu. pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang disukai rakyatnya dan disegani lawannya.
Figur kepemimpinan yang mendekati penjelasan tersebut adalah Rasulullah dan khulafaur rashidin. Rasulullah sebagai pemimpin merupakan anugrah tersendiri, atau semacam keistimewaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw. Karena pada dasarnya Rasulullah adalah utusan terakhir untuk seluruh umat manusia yang secara juga pemimpin umat manusia.

B.   Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.   Apa pengertian dari akhlak kepemimpinan ?
2.   Bagaimana ciri-ciri akhlak dari seorang pemimpin ?
3.   Bagaimana ciri-ciri akhlak Rakyat ?

C.  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita semua pengetahui ciri dari akhlak seorang pemimpin.
BAB II
PEMBAHASAN

A.  Akhlak Kepemimpinan
Secara bahasa kata akhlak jamak dari khuluqin yang diartikan tabiat, kebiasaan, adab. Sedangkan secara istilah adalah sifat yang mantap di dalam diri yang membuat perbuatan yang dilakukannya baik atau buruk, bagus atau jelek. Oleh karenanya, apabila amal dan pikiran seseorang sholeh (baik) maka sholeh pula diri dan akhlaknya, dan sebaliknya apabila amal dan pikirannya rusak maka rusak pula dirinya akhlaknya.
Akhlak kepemimpinan adalah suatu adab atau kebiasaan seorang pemimpin yang dapat di contohi oleh para pengikut-pengikutnya dan dapat mempengaruhi orang yang di pimpinnya. Pemimpin (leadership) adalah kemampuan dari seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kepemimpinan terbentuk karena ada seseorang atau beberapa orang dalam warga masyarakat yang melakukan peranan yang lebih aktif dari warga yang lain, sehingga orang (beberapa orang) tadi tampak lebih menonjol dari yang lain dan bisa mempengaruhinya.
Dalam suatu organisasi, kepemimpinan adalah faktor yang sangat penting dalam menentukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi, kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang akan dilaksanakan dalam organisasi.

B.    Ciri-ciri Akhlak Seorang Pemimpin
Suatu masyarakat dan bangsa akan disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang maju manakala memiliki peradaban yang tinggi dan akhlak yang mulia, meskipun dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi masih sangat sederhana. Sedangkan pada masyarakat dan bangsa yang meskipun kehidupannya dijalani dengan teknologi yang modern dan canggih, tapi tidak memiliki peradaban atau akhlak yang mulia, maka masyarakat dan bangsa itu disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang terbelakang dan tidak menggapai kemajuan.
Untuk bisa mewujudkan masyarakat dan bangsa yang berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin dengan akhlak yang mulia. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddik ketika menyampaikan pidato pertamanya sebagai khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan bagaimana seharusnya akhlak seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau mengemukakan:
“Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu, maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku”
.
Dari pidato Khalifah Abu Bakar di atas, kita bisa menangkap keharusan seorang pemimpin untuk memiliki tujuh sifat sebagai bagian dari akhlak yang mulia, yaitu sbb :
1.   Tawadhu
Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar tidak merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai satu-satunya orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang sangat penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan, saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran dan nasihatpun tidak mau diterimannya. Akibat selanjutnya adalah ia akan memimpin dengan hawa nafsunya sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya.
Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah Swt sangat murka kepada siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin. Sejarah telah menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.
2.   Menjalin Kerjasama
Dalam pidato Khalifah Abu Bakar di atas, tercermin juga akhlak seorang pemimpin yang harus dimiliki yakni siap, bahkan mengharapkan kerjasama dari semua pihak, beliau mengatakan: "maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku". Ini berarti kerjasama yang harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan dan taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dalam firman-Nya: Tolong menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa dan permusuhan.
Seorang pemimpin tentu tidak mungkin bisa menjalankan tugasnya sendirian sehebat apapun dirinya. Karenanya Rasulullah Saw telah menunjukkan kepada kita bagaimana beliau menjalin kerjasama yang baik, mulai dari membangun masjid di Madinah hingga peperangan melawan orang-orang kafir, bahkan dalam suatu peperangan yang kemudian disebut dengan perang Khandak, Rasulullah menerima dan melaksanakan pendapat Salman Al Farisi untuk mengatur strategi perang dengan cara menggali parit.
3.   Mengharap Kritik dan Saran
Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan mulia dihadapan orang lain, ia pun mendapatkan penghormatan dari banyak orang, kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya didengar orang sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan media massa yang luas. Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran.
Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar, maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar berpidato dengan kalimat: "Bila aku bertindak salah, betulkanlah". Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah sehingga saat Umar mengeluarkan kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang tajam dari seorang ibu yang sudah lanjut usia, ini membuat Umar harus mencabut kembali kebijakan tersebut. Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam jumlah yang banyak, karena bila tradisi itu terus berkembang hal itu bisa memberatkan para pemuda yang kurang mampu untuk bisa menikah.
4.   Berkata dan Berbuat Yang Benar.
Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari Allah Swt , hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam pidato saat pelantikannya sebagai khalifah, Abu Bakar menyatakan: Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah khianat.
Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan akan membuat pelakunya menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui oleh orang lain yang akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan membuat seorang pemimpin akan berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya, sebab pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan membuat orang tidak bisa dibohongi.
5.   Memenuhi Hak-Hak Rakyat.
Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang dipimpinnya, bahkan bila hak-hak mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena itu bagi Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari kekuasaannya.
Akhlak pemimpin seperti ini tercermin dalam pisato Khalifah Abu Bakar yang menyatakan: "Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah". Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang indah dalam pidato Khalifah Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai seorang pemimpin. Satu diantara kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat, karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.
6.   Memberantas Kezaliman.
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa dan negara. Karena itu, para pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini berarti, seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi justeru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain kepada rakyatnyapun menjadi tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi Khalifah Abu Bakar, sekuat apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap sebagai kecil dan lemah, dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau berkata: "Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah".
7.  Menunjukkan Ketaatan Kepada Allah.
Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan rakyatnya untuk mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, iapun harus menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak memiliki kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu Bakar menyatakan dalam pidatonya: "Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku".
Dengan demikian, ketataan kepada pemimpin tidak bersifat mutlak sebagaimana mutlaknya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, inilah diantara isyarat yang bisa kita tangkap dari firman Allah yang tidak menyebutkan kata taat saat menyebut ketataan kepada pemimpin (ulil amri) dalam firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri diantara kamu.

C.   Ahlak Rakyat
Jika dalam sub bab sebelumnya telah diketahui tentang ahlak seorang pemimpin, namun bagaimana dengan akhlak rakyatnya. Telah diketahui secara pasti dari ajaran Islam, tidak ada agama kecuali dengan adanya komunitas, tidak ada komunitas kecuali dengan adanya pemimpin, tidak ada pemimpin kecuali dengan adanya sikap menaati dan mendengar. Keluar dari ketaatan terhadap pemerintah dan membelot adalah sebab terbesar rusaknya Negara dan manusia serta melencengnya dari jalan petunjuk.
Al-Hasan al-Bashri rahimahullah menyatakan, “Demi Allah Subhanahu wata’ala, agama tidak akan lurus kecuali dengan adanya pemerintah meskipun jahat dan zalim. Demi Allah, kebaikan yang Allah Subhanahu wata’ala berikan dengan adanya mereka (pemerintah) jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang mereka rusak.” (as-Sunnah fima Yata’allaq bi Waliyyil Ummah) Oleh karena itu, demi menjaga keutuhan hubungan komunitas manusia dengan pemimpinnya, syariat telah menjelaskan tentang tugas dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya, sehingga terjalinlah ta’awun (kerjasama) yang baik antara keduanya di atas kebajikan dan takwa.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan dan dosa.” (al-Maidah: 2)



Di antara kewajiban yang harus ditunaikan dengan baik oleh rakyat.
1.   Ikhlas dan Mendoakan
Inilah kewajiban yang pertama yang dipikul oleh rakyat, yaitu ikhlas menyukai segala kebaikan untuk mereka dan membenci segala kejelekan untuk mereka serta tidak lupa untuk mendoakan kebaikan dan taufik, karena kebaikannya adalah berarti kebaikan untuk rakyat.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengemukakan, “Mendoakan pemerintah termasuk pendekatan diri yang agung kepada Allah Subhanahu wata’ala dan seutama-utama ketaatan serta termasuk bagian nasihat untuk Allah Subhanahu wata’ala dan hamba-Nya.”
Kewajiban rakyat adalah mendoakan pemerintah, walaupun jahat dan zalim sekalipun, bukan memberontaknya. Al-Imam al-Barbahari rahimahullah menegaskan, “Apabila Anda melihat ada orang yang mengajak melakukan pemberontakan kepada pemerintah, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu. Kalau Anda mendengar ada orang yang mendoakan kebaikan untuk pemerintah, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut sunnah, insya Allah.” (Syarhus Sunnah)
2.   Menghormati dan Memuliakan
Syariat telah mewajibkan atas umat untuk memuliakan dan menghormati umara’. Dalam waktu yang bersamaan syariat juga melarang dari mencela, merendahkan, dan menghina mereka. Semua itu agar kewibawaan dan karisma umara tetap terjaga di mata rakyat, sehingga terciptalah keharmonisan dan kemaslahatan dalam segala hal.
Sehubungan dengan hal itu, al-Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah berkata, “Manusia akan tetap baik (keadaannya) selama mereka memuliakan pemerintah dan ulama. Jika mereka memuliakan keduanya, maka Allah Subhanahu wata’ala akan memperbaiki keadaan dunia dan akhiratnya. Sebaliknya, jika mereka meremehkan keduanya, maka Allah Subhanahu wata’ala akan merusak dunia dan akhiratnya.” (as-Sunnah lil Imamal-Khallal)

3.   Mendengar dan Taat
Mendengar dan taat adalah kewajiban rakyat yang paling besar terhadap pemerintahnya, karena ketaatan merupakan landasan dan kunci berjalannya semua urusan negara dan masyarakat, kunci terwujudnya seluruh program, serta kunci tercapainya tujuan yang berkaitan dengan agama dan dunia.
Pemerintah memiliki wewenang untuk memerintah dan melarang. Hal itu tidak mungkin terealisasi kecuali dengan adanya sikap mendengar dan taat dari pihak rakyat. Untuk itulah, sahabat Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak ada Islam tanpa ada jamaah (komunitas), tidak ada jamaah tanpa ada pemimpin, dan tidak ada pemimpin tanpa ada ketaatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlih)
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalian.” (an-Nisaa: 59)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Taat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya wajib atas setiap orang, sebagaimana pula taat kepada pemerintah adalah wajib lantaran Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan agar taat kepada mereka.” (Majmu’ul Fatawa)
Taat kepada Pemerintah Bagian dari Taat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam Diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Siapa yang taat kepadaku, berarti diataat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Siapa yang bermaksiat kepadaku, berarti dia telah bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Siapa yang taat kepada pemimpin, berarti dia taat kepadaku. Siapa yang bermaksiat kepada pemimpin, berarti dia telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya, kekasihku (Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam) telah berwasiat kepadaku agar mendengar dan taat kepada pemimpin, sekalipun dia seorang hamba sahaya yang cacat.” (HR. Muslim) Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk tetap mendengar dan taat kepada pemerintah dalam setiap keadaan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرةٍ عَلَيْكَ
“Hendaknya engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin dalam keadaan susah ataupun senang, dalam keadaan rela ataupun terpaksa, bahkan sekalipun dalam keadaan dia bertindak sewenang-wenang terhadap kalian.” (HR. Muslim dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa seorang muslim wajib mendengar dan taat kepada pemerintah selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika memerintahkan kemaksiatan, dia tidak boleh mendengar dan taat dalam kemaksiatan tersebut secara khusus. Adapun perintahnya yang lain tetap harus didengar dan ditaati. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِم فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أَمَرُوا بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Mendengar dan taat kepada pemimpin menjadi kewajiban atas seorang muslim, dalam hal yang disenangi ataupun dibenci, selama pemerintah itu tidak menyuruh kepada kemaksiatan. Namun, jika menyuruh kepada kemaksiatan, tidak ada sikap mendengar dan taat.” (HR. al-Bukhari)
Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengemukakan, “Ketika penguasa memerintahkan sesuatu, perintahnya tidak lepas dari tiga keadaan.
a.    Perintahnya termasuk apa yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Dalam keadaan ini, wajib bagi kita untuk melaksanakannya karena hal itu adalah perintah Allah Subhanahu wata’ala dan perintahnya. Andai mereka mengatakan, “Tegakkanlah shalat!” kita wajib menegakkannya sebagai realisasi dari perintah Allah Subhanahu wata’ala kemudian perintahnya. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan taatilah ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa’: 59)
b.   Mereka memerintahkan sesuatu yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Dalam keadaan ini, kita katakan, ‘Kami akan mendengar dan taat kepada Allah Subhanahu wata’ala dan bermaksiat kepada kalian, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khalik.’ Misalnya, mereka mengatakan, ‘Kalian tidak boleh shalat berjamaah di masjid!’ Kita katakan, ‘Tidak ada sikap mendengar, tidak ada pula ketaatan.’
c.    Mereka memerintahkan sesuatu yang tidak ada perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, tidak pula ada larangannya.
Dalam keadaan ini, yang wajib ialah mendengar dan taat. Menaatinya bukan karena mereka adalah si ini dan si itu, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah memerintahkan kita untuk menaatinya dan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan kita. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Dengar dan taatlah, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu dirampas.’
Bahkan, ketika beliau ditanya tentang pemerintah yang merampas hak rakyatnya dan bertindak zalim, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Atas mereka apa yang telah dipikulnya (dosa) dan bagi kalian apa yang telah kalian pikul (pahala).’ Kita memikul kewajiban untuk mendengar dan taat’.” (Transkrip ceramah asy-Syaikh Ibnu Utsaimin yang berjudul Tha’atu Wulatil Umur)
4.   Menyampaikan Nasihat dan Mengingatkan
Pemerintah bukanlah pihak yang ma’shum alias terjaga dari melakukan kesalahan. Mereka pada dasarnya adalah manusia biasa, kadang berbuat yang benar dan kadang berbuat yang salah. Maka dari itu, sampai kapan pun, mereka membutuhkan nasihat dan arahan-arahan yang baik.
Menyampaikan nasihat kepada mereka dengan benar adalah bagian dari pilar Islam dan petunjuk orang-orang saleh terdahulu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِرَسُولِهِ، وَلِكِتَابِهِ وَلْأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat. Kami bertanya (kata para sahabat), ‘Untuk siapa?’ Beliau menjawab,‘Untuk Allah Subhanahu wata’ala, rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin kaum muslimin, dan untuk kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)
Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Nasihat untuk para pemimpin kaum muslimin berarti menginginkan kebaikannya, kelurusannya, dan keadilannya, serta menginginkan agar umat bersatu di bawahnya dan membenci perpecahan. Kemudian juga memuliakannya dan membantunya dalam kebenaran serta mengingatkannya dengan baik dan lembut, mengubur keinginan untuk menggulingkannya dan justru mendoakannya dengan taufik dan kebaikan.”(Jami’ul Ulum wal Hikam)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Para pemimpin kaum muslimin adalah pemerintah mereka dari yang paling tinggi jabatannya hingga yang paling bawah. Karena kewajiban yang mereka pikul itu lebih berat dibandingkan yang lain, wajib menasihatinya sesuai dengan kedudukan dan jabatannya.
Nasihat itu di antaranya adalah mengakui kepemimpinannya dan pemerintahannya, wajib menaatinya dalam hal yang baik dan mendorong rakyat kepada hal itu, menunaikan segala perintahnya yang tidak menyelisihi perintah Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, kemudian mendoakan mereka dengan kebaikan dan taufik, tidak mencelanya, atau menyebarkan kejelekan-kejelekannya, karena hal itu akan menimbulkan kerusakan yang besar.
5.   Membela dan Membantu
Kewajiban rakyat berikutnya terhadap pemerintah ialah membela dan membantu, dalam artian bekerja sama dengan pemerintah dalam mewujudkan kemajuan di segala bidang, baik yang bersifat eksternal seperti berjihad melawan musuh dengan harta dan jiwa, atau yang sifatnya internal seperti mengembangkan perindustrian, pertanian, memperbaiki moral, akhlak, dan lain-lain.
Wajib bagi rakyat untuk memberikan pembelaan terhadap pemerintahnya, ketika ada sebagian pihak yang melanggar hak-haknya seperti ketika ada pihakpihak yang ingin memberontaknya dan melepaskan ketaatan kepadanya. Membelanya berarti membela kaum muslimin dan menjaga kehormatan agama. (Fiqh Siyasah as-Syar’iyah)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang datang kepada kalian, sedangkan pengaturan urusan kalian ada di bawah seseorang yang menjadi pemimpin kalian dan dia datang hendak memecah belah kesatuan kalian, penggalah lehernya (perangilah).” (HR. Muslim)





















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat kita simpulkan betapa penting bagi kita untuk memiliki pemimpin dengan akhlak yang mulia. Kerancuan dan kekacauan dengan berbagai krisis yang melanda negeri kita dan umat manusia di dunia ini karena para pemimpin dalam tingkat nagara dan dunia tidak memiliki akhlak seorang pemimpin yang ideal. Karenanya, saat kita memilih pemimpin dalam seluruh tingkatan di masyarakat jangan sampai memilih mereka yang tidak berakhlak mulia.




















DAFTAR PUSTAKA

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/akhlak-kepemimpinan
l-Qurtubi, Syamsuddin, al-Jami’ liahkam al-Qur’an: Tafsir al-Qurtubi, Kairo: Dar al-Kitab al-Mishriyyah, 1964.
Baihaqi, Abu Bakar Al, Su’abul  Iman, India: Dar as-Salafi di Mumbai, 2003, edisi Dr. Abd al-‘Ali Abd al-Hamid hamid.
Bukhari, Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al, al-Jami’ as-Shahi, Kairo: Dar as-Sya’bi, 1987.


















KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah penulis yang berjudul “ Akhlak Seorang Pemimpin Dan Rakyat “. Pada makalah ini penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
           





                                                                     



Taluk Kuantan,    April  2016


   Penyusun

 


DAFTAR ISI


Kata Pengantar......................................................................................................        i
Daftar Isi...............................................................................................................        ii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................        1
A.  Latar Belakang...........................................................................................        1
B.  Rumusan Masalah......................................................................................        1
C.  Tujuan Makalah..........................................................................................        1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................        2
A.  Akhlak Kepemimpinan..............................................................................        2
B.  Ciri-Ciri Akhlak Dari Seorang Pemimpin.................................................        2
C.  Akhlak Rakyat............................................................................................        7
BAB III PENUTUP...............................................................................................        13
A.  Kesimpulan................................................................................................        13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................        14





Tidak ada komentar:

Posting Komentar