BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemimpin
mempunyai kedudukan yang penting dalam sebuah komunitas, kelompok, masyarakat,
berbangsa dan bernegara. Pemimpin. Suatu komunitas masyarakat, suatu bangsa dan
negara tidak aman, maju dan terarah jika tidak adanya seorang pemimpin, maka
pemimpin menjadi kunci keberhasilan suatu bangsa maupun suatu negara.
Pemimpin
yang mampu memberi rasa aman,tenteram, mampu mewujudkan keinginan rakyatnya,
maka dianggap pemimpin yang berhasil. Pemimpin yang berhasil adalah pemimpin
yang dicintai oleh rakyatnya, bangsanya, pemikirannya dipakai meskipun telah
pemimpin itu tidak lagi bersama mereka. Segala perintahnya dilakukan, rakyat
membelanya tanpa diminta terlebih dahulu. pemimpin yang berhasil adalah
pemimpin yang disukai rakyatnya dan disegani lawannya.
Figur
kepemimpinan yang mendekati penjelasan tersebut adalah Rasulullah dan khulafaur
rashidin. Rasulullah sebagai pemimpin merupakan anugrah tersendiri, atau
semacam keistimewaan yang diberikan Allah kepada Rasulullah saw. Karena pada
dasarnya Rasulullah adalah utusan terakhir untuk seluruh umat manusia yang
secara juga pemimpin umat manusia.
B. Rumusan
Masalah
Dari
latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian dari akhlak kepemimpinan ?
2.
Bagaimana ciri-ciri akhlak dari seorang
pemimpin ?
3.
Bagaimana ciri-ciri akhlak Rakyat ?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar kita semua
pengetahui ciri dari akhlak seorang pemimpin.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Akhlak Kepemimpinan
Secara
bahasa kata akhlak jamak dari khuluqin yang diartikan tabiat,
kebiasaan, adab. Sedangkan secara istilah adalah sifat yang mantap di dalam
diri yang membuat perbuatan yang dilakukannya
baik atau buruk, bagus atau jelek. Oleh karenanya, apabila amal dan pikiran seseorang sholeh (baik) maka sholeh pula diri dan
akhlaknya, dan sebaliknya apabila amal dan pikirannya rusak maka rusak pula
dirinya akhlaknya.
Akhlak kepemimpinan adalah suatu adab atau kebiasaan
seorang pemimpin yang dapat di contohi oleh para pengikut-pengikutnya dan dapat
mempengaruhi orang yang di pimpinnya. Pemimpin (leadership)
adalah kemampuan dari seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau
pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah laku sebagaimana
dikehendaki oleh pemimpin tersebut. Kepemimpinan terbentuk karena ada seseorang
atau beberapa orang dalam warga masyarakat yang melakukan peranan yang lebih
aktif dari warga yang lain, sehingga orang (beberapa orang) tadi tampak lebih
menonjol dari yang lain dan bisa mempengaruhinya.
Dalam
suatu organisasi, kepemimpinan adalah faktor yang sangat penting dalam
menentukan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi,
kepemimpinan merupakan titik sentral dan penentu kebijakan dari kegiatan yang
akan dilaksanakan dalam organisasi.
B. Ciri-ciri
Akhlak Seorang Pemimpin
Suatu masyarakat dan bangsa akan disebut sebagai
masyarakat dan bangsa yang maju manakala memiliki peradaban yang tinggi dan
akhlak yang mulia, meskipun dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi masih
sangat sederhana. Sedangkan pada masyarakat dan bangsa yang meskipun
kehidupannya dijalani dengan teknologi yang modern dan canggih, tapi tidak
memiliki peradaban atau akhlak yang mulia, maka masyarakat dan bangsa itu
disebut sebagai masyarakat dan bangsa yang terbelakang dan tidak menggapai
kemajuan.
Untuk bisa mewujudkan masyarakat dan bangsa yang
berakhlak mulia dengan peradaban yang tinggi, diperlukan pemimpin dengan akhlak
yang mulia. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddik ketika menyampaikan pidato
pertamanya sebagai khalifah mengemukakan hal-hal yang mencerminkan bagaimana
seharusnya akhlak seorang pemimpin. Dalam pidato itu beliau mengemukakan:
“Wahai sekalian manusia, kalian telah sepakat memilihku
sebagai khalifah untuk memimpinmu. Aku ini bukanlah yang terbaik diantara kamu,
maka bila aku berlaku baik dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku, tetapi
bila aku bertindak salah, betulkanlah. Berlaku jujur adalah amanah, berlaku
bohong adalah khianat. Siapa saja yang lemah diantaramu akan kuat bagiku sampai
aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah. Siapa saja yang kuat
diantaramu akan lemah berhadapan denganku sampai aku kembalikan hak orang lain
yang dipegangnya, insya Allah. Taatlah kepadaku selama aku taat kepada Allah
dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku”
.
Dari pidato Khalifah Abu Bakar di atas, kita bisa
menangkap keharusan seorang pemimpin untuk memiliki tujuh sifat sebagai bagian
dari akhlak yang mulia, yaitu sbb :
1.
Tawadhu
Secara harfiyah tawadhu artinya rendah hati, lawannya
adalah tinggi hati atau sombong. Dalam pidatonya, Khalifah Abu Bakar tidak
merasa sebagai orang yang paling baik, apalagi menganggap sebagai satu-satunya
orang yang baik. Sikap tawadhu bagi seorang pemimpin merupakan sesuatu yang
sangat penting. Hal ini karena seorang pemimpin membutuhkan nasihat, masukan,
saran, bahkan kritik. Kalau ia memiliki sifat sombong, jangankan kritik, saran
dan nasihatpun tidak mau diterimannya. Akibat selanjutnya adalah ia akan
memimpin dengan hawa nafsunya sendiri dan ini menjadi sangat berbahaya.
Karena itu kesombongan menjadi kendala utama bagi manusia
untuk bisa masuk ke dalam surga. Karena itu, Allah Swt sangat murka kepada
siapa saja berlaku sombong dalam hidupnya, apalagi para pemimpin. Sejarah telah
menunjukkan kepada kita bagaimana Fir’aun yang begitu berkuasa dimata
rakyatnya, tapi berhasil ditumbangkan dengan penuh kehinaan melalui dakwah yang
dilakukan oleh Nabi Musa dan Harun as.
2.
Menjalin Kerjasama
Dalam pidato Khalifah Abu Bakar di atas, tercermin juga
akhlak seorang pemimpin yang harus dimiliki yakni siap, bahkan mengharapkan
kerjasama dari semua pihak, beliau mengatakan: "maka bila aku berlaku baik
dalam melaksanakan tugasku, bantulah aku". Ini berarti kerjasama yang
harus dijalin antar pemimpin dengan rakyat adalah kerjasama dalam kebaikan dan
taqwa sebagaimana yang ditentukan Allah Swt dalam firman-Nya: Tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dalam dosa
dan permusuhan.
Seorang pemimpin tentu tidak mungkin bisa menjalankan
tugasnya sendirian sehebat apapun dirinya. Karenanya Rasulullah Saw telah
menunjukkan kepada kita bagaimana beliau menjalin kerjasama yang baik, mulai
dari membangun masjid di Madinah hingga peperangan melawan orang-orang kafir,
bahkan dalam suatu peperangan yang kemudian disebut dengan perang Khandak,
Rasulullah menerima dan melaksanakan pendapat Salman Al Farisi untuk mengatur
strategi perang dengan cara menggali parit.
3.
Mengharap Kritik dan Saran
Seorang pemimpin, karena kedudukannya yang tinggi dan
mulia dihadapan orang lain, ia pun mendapatkan penghormatan dari banyak orang,
kemana pergi selalu mendapatkan pengawalan yang ketat dan setiap ucapannya
didengar orang sedangkan apapun yang dilakukannya mendapatkan liputan media
massa yang luas. Dari sinilah banyak pemimpin sampai mengkultuskan dirinya
sehingga ia tidak suka dengan kritik dan saran.
Hal itu ternyata tidak berlaku bagi Khalifah Abu Bakar,
maka sejak awal kepemimpinannya, ia minta agar setiap orang mau memberikan
kritik dan saran dengan membetulkan setiap kesalahan yang dilakukan, Abu Bakar
berpidato dengan kalimat: "Bila aku bertindak salah, betulkanlah".
Sikap seperti ini dilanjutkan oleh Umar bin Khattab ketika menjadi Khalifah
sehingga saat Umar mengeluarkan kebijakan yang meskipun baik maksudnya tapi
menyalahi ketentuan yang ada, maka Umar mendapat kritik yang tajam dari seorang
ibu yang sudah lanjut usia, ini membuat Umar harus mencabut kembali kebijakan
tersebut. Kebijakan itu adalah larangan memberikan mahar atau mas kawin dalam
jumlah yang banyak, karena bila tradisi itu terus berkembang hal itu bisa
memberatkan para pemuda yang kurang mampu untuk bisa menikah.
4.
Berkata dan Berbuat Yang Benar.
Khalifah Abu Bakar juga sangat menekankan kejujuran atau
kebenaran dalam berkata maupun berbuat, bahkan hal ini merupakan amanah dari
Allah Swt , hal ini karena manusia atau rakyat yang dipimpin kadangkala bahkan
seringkali tidak tahu atau tidak menyadari kalau mereka sedang ditipu dan
dikhianati oleh pemimpinnya. Dalam pidato saat pelantikannya sebagai khalifah,
Abu Bakar menyatakan: Berlaku jujur adalah amanah, berlaku bohong adalah
khianat.
Manakala seorang pemimpin memiliki kejujuran, maka ia
akan dapat memimpin dengan tenang, karena kebohongan akan membuat pelakunya
menjadi tidak tenang sebab ia takut bila kebohongan itu diketahui oleh orang
lain yang akan merusak citra dirinya. Disamping itu, kejujuran akan membuat
seorang pemimpin akan berusaha untuk terus mencerdaskan rakyatnya, sebab
pemimpin yang tidak jujur tidak ingin bila rakyatnya cerdas, karena kecerdasan
membuat orang tidak bisa dibohongi.
5.
Memenuhi Hak-Hak Rakyat.
Setiap pemimpin harus mampu memenuhi hak-hak rakyat yang
dipimpinnya, bahkan bila hak-hak mereka dirampas oleh orang lain, maka seorang
pemimpin itu akan berusaha untuk mengembalikan kepadanya. Karena itu bagi
Khalifah Abu Bakar, tuntutan terhadap hak-hak rakyat akan selalu diusahakannya
meskipun mereka adalah orang-orang yang lemah sehingga seolah-olah mereka itu
adalah orang yang kuat, namun siapa saja yang memiliki kekuatan atau pengaruh
yang besar bila mereka suka merampas hak orang lain, maka mereka dipandang
sebagai orang yang lemah dan pemimpin harus siap mengambil hak orang lain dari
kekuasaannya.
Akhlak pemimpin seperti ini tercermin dalam pisato
Khalifah Abu Bakar yang menyatakan: "Siapa saja yang lemah diantaramu akan
kuat bagiku sampai aku dapat mengembalikan hak-haknya, insya Allah".
Akhlak yang seharusnya ada pada pemimpin tidak hanya menjadi kalimat-kalimat yang
indah dalam pidato Khalifah Abu Bakar, tapi beliau buktikan hal itu dalam
kebijakan-kebijakan yang ditempuhnya sebagai seorang pemimpin. Satu diantara
kebijakannya adalah memerangi orang-orang kaya yang tidak mau bayar zakat,
karena dari harta mereka terdapat hak-hak bagi orang yang miskin.
6.
Memberantas Kezaliman.
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan
masyarakat dan meruntuhkan kekuatan suatu bangsa dan negara. Karena itu, para
pemimpin tidak boleh membiarkan kezaliman terus berlangsung. Ini berarti,
seorang pemimpin bukan hanya tidak boleh bertindak zalim kepada rakyatnya, tapi
justeru kezaliman yang dilakukan oleh orang lain kepada rakyatnyapun menjadi
tanggungjawabnya untuk diberantas. Karenanya bagi Khalifah Abu Bakar, sekuat
apapun atau sebesar apapun pengaruh pelaku kezaliman akan dianggap sebagai
kecil dan lemah, dalam pidato yang mencerminkan akhlak seorang pemimpin, beliau
berkata: "Siapa saja yang kuat diantaramu akan lemah berhadapan denganku
sampai aku kembalikan hak orang lain yang dipegangnya, insya Allah".
7. Menunjukkan
Ketaatan Kepada Allah.
Pemimpin yang sejati adalah pemimpin yang mengarahkan
rakyatnya untuk mentaati Allah Swt dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, iapun harus
menunjukkan ketaatan yang sesungguhnya. Namun bila seorang pemimpin tidak
menunjukkan ketaatannya kepada kepada Allah dan Rasul-Nya, maka rakyatpun tidak
memiliki kewajiban untuk taat kepadanya. Dalam kaitan inilah, Khalifah Abu
Bakar menyatakan dalam pidatonya: "Taatlah kepadaku selama aku taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Apabila aku tidak taat lagi kepada Allah dan Rasul-Nya,
maka tidak ada kewajibanmu untuk taat kepadaku".
Dengan demikian, ketataan kepada pemimpin tidak bersifat
mutlak sebagaimana mutlaknya ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, inilah
diantara isyarat yang bisa kita tangkap dari firman Allah yang tidak
menyebutkan kata taat saat menyebut ketataan kepada pemimpin (ulil amri) dalam
firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul
(Nya) dan ulil amri diantara kamu.
C. Ahlak Rakyat
Jika
dalam sub bab sebelumnya telah diketahui tentang ahlak seorang pemimpin, namun
bagaimana dengan akhlak rakyatnya. Telah diketahui secara pasti dari ajaran
Islam, tidak ada agama kecuali dengan adanya komunitas, tidak ada komunitas
kecuali dengan adanya pemimpin, tidak ada pemimpin kecuali dengan adanya sikap
menaati dan mendengar. Keluar dari ketaatan terhadap pemerintah dan membelot
adalah sebab terbesar rusaknya Negara dan manusia serta melencengnya dari jalan
petunjuk.
Al-Hasan
al-Bashri rahimahullah menyatakan, “Demi Allah Subhanahu wata’ala, agama tidak
akan lurus kecuali dengan adanya pemerintah meskipun jahat dan zalim. Demi
Allah, kebaikan yang Allah Subhanahu wata’ala berikan dengan adanya mereka
(pemerintah) jauh lebih banyak dibandingkan dengan apa yang mereka rusak.”
(as-Sunnah fima Yata’allaq bi Waliyyil Ummah) Oleh karena itu, demi menjaga
keutuhan hubungan komunitas manusia dengan pemimpinnya, syariat telah
menjelaskan tentang tugas dan kewajiban rakyat terhadap pemerintahnya, sehingga
terjalinlah ta’awun (kerjasama) yang baik antara keduanya di atas kebajikan dan
takwa.
Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا
تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan
tolong-menolonglah dalam kebajikan dan takwa dan jangan tolong-menolong dalam
dosa dan permusuhan dan dosa.” (al-Maidah: 2)
Di
antara kewajiban yang harus ditunaikan dengan baik oleh rakyat.
1.
Ikhlas dan
Mendoakan
Inilah
kewajiban yang pertama yang dipikul oleh rakyat, yaitu ikhlas menyukai segala
kebaikan untuk mereka dan membenci segala kejelekan untuk mereka serta tidak
lupa untuk mendoakan kebaikan dan taufik, karena kebaikannya adalah berarti
kebaikan untuk rakyat.
Asy-Syaikh
Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengemukakan, “Mendoakan pemerintah termasuk
pendekatan diri yang agung kepada Allah Subhanahu wata’ala dan seutama-utama
ketaatan serta termasuk bagian nasihat untuk Allah Subhanahu wata’ala dan
hamba-Nya.”
Kewajiban
rakyat adalah mendoakan pemerintah, walaupun jahat dan zalim sekalipun, bukan
memberontaknya. Al-Imam al-Barbahari rahimahullah menegaskan, “Apabila Anda
melihat ada orang yang mengajak melakukan pemberontakan kepada pemerintah,
ketahuilah bahwa dia adalah pengikut hawa nafsu. Kalau Anda mendengar ada orang
yang mendoakan kebaikan untuk pemerintah, ketahuilah bahwa dia adalah pengikut
sunnah, insya Allah.” (Syarhus Sunnah)
2.
Menghormati dan
Memuliakan
Syariat
telah mewajibkan atas umat untuk memuliakan dan menghormati umara’. Dalam waktu
yang bersamaan syariat juga melarang dari mencela, merendahkan, dan menghina
mereka. Semua itu agar kewibawaan dan karisma umara tetap terjaga di mata
rakyat, sehingga terciptalah keharmonisan dan kemaslahatan dalam segala hal.
Sehubungan
dengan hal itu, al-Imam Sahl bin Abdullah at-Tustari rahimahullah berkata,
“Manusia akan tetap baik (keadaannya) selama mereka memuliakan pemerintah dan
ulama. Jika mereka memuliakan keduanya, maka Allah Subhanahu wata’ala akan
memperbaiki keadaan dunia dan akhiratnya. Sebaliknya, jika mereka meremehkan
keduanya, maka Allah Subhanahu wata’ala akan merusak dunia dan akhiratnya.”
(as-Sunnah lil Imamal-Khallal)
3.
Mendengar dan
Taat
Mendengar
dan taat adalah kewajiban rakyat yang paling besar terhadap pemerintahnya,
karena ketaatan merupakan landasan dan kunci berjalannya semua urusan negara
dan masyarakat, kunci terwujudnya seluruh program, serta kunci tercapainya
tujuan yang berkaitan dengan agama dan dunia.
Pemerintah
memiliki wewenang untuk memerintah dan melarang. Hal itu tidak mungkin
terealisasi kecuali dengan adanya sikap mendengar dan taat dari pihak rakyat.
Untuk itulah, sahabat Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
“Tidak ada Islam tanpa ada jamaah (komunitas), tidak ada jamaah tanpa ada
pemimpin, dan tidak ada pemimpin tanpa ada ketaatan.” (Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa
Fadhlih)
Allah Subhanahu
wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan ulil amri di antara kalian.”
(an-Nisaa: 59)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Taat kepada Allah Subhanahu
wata’ala dan Rasul-Nya wajib atas setiap orang, sebagaimana pula taat kepada
pemerintah adalah wajib lantaran Allah Subhanahu wata’ala memerintahkan agar
taat kepada mereka.” (Majmu’ul Fatawa)
Taat
kepada Pemerintah Bagian dari Taat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam Diriwayatkan
dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi
wasallam, beliau bersabda, “Siapa yang taat kepadaku, berarti diataat kepada
Allah Subhanahu wata’ala. Siapa yang bermaksiat kepadaku, berarti dia telah
bermaksiat kepada Allah Subhanahu wata’ala. Siapa yang taat kepada pemimpin,
berarti dia taat kepadaku. Siapa yang bermaksiat kepada pemimpin, berarti dia
telah bermaksiat kepadaku.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Sahabat
Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya, kekasihku (Nabi Shallallahu
‘alaihi wasallam) telah berwasiat kepadaku agar mendengar dan taat kepada
pemimpin, sekalipun dia seorang hamba sahaya yang cacat.” (HR. Muslim) Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk tetap mendengar dan taat
kepada pemerintah dalam setiap keadaan. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
عَلَيْكَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ
وَمَنْشَطِكَ وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرةٍ عَلَيْكَ
“Hendaknya
engkau tetap mendengar dan taat kepada pemimpin dalam keadaan susah ataupun
senang, dalam keadaan rela ataupun terpaksa, bahkan sekalipun dalam keadaan dia
bertindak sewenang-wenang terhadap kalian.” (HR. Muslim dari sahabat Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan bahwa seorang muslim wajib mendengar
dan taat kepada pemerintah selama tidak memerintahkan kemaksiatan. Jika
memerintahkan kemaksiatan, dia tidak boleh mendengar dan taat dalam kemaksiatan
tersebut secara khusus. Adapun perintahnya yang lain tetap harus didengar dan
ditaati. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah dalam Shahihnya,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ حَقٌّ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِم
فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أَمَرُوا
بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ
“Mendengar
dan taat kepada pemimpin menjadi kewajiban atas seorang muslim, dalam hal yang
disenangi ataupun dibenci, selama pemerintah itu tidak menyuruh kepada kemaksiatan.
Namun, jika menyuruh kepada kemaksiatan, tidak ada sikap mendengar dan taat.”
(HR. al-Bukhari)
Asy-Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahullah mengemukakan, “Ketika penguasa memerintahkan
sesuatu, perintahnya tidak lepas dari tiga keadaan.
a. Perintahnya
termasuk apa yang telah diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Dalam
keadaan ini, wajib bagi kita untuk melaksanakannya karena hal itu adalah
perintah Allah Subhanahu wata’ala dan perintahnya. Andai mereka mengatakan,
“Tegakkanlah shalat!” kita wajib menegakkannya sebagai realisasi dari perintah
Allah Subhanahu wata’ala kemudian perintahnya. Allah Subhanahu wata’ala
berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
Wahai orang-orang
yang beriman, taatilah Allah, taatilah Rasul (Muhammad), dan taatilah ulil amri
di antara kalian.” (an-Nisa’: 59)
b. Mereka
memerintahkan sesuatu yang dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala.
Dalam
keadaan ini, kita katakan, ‘Kami akan mendengar dan taat kepada Allah Subhanahu
wata’ala dan bermaksiat kepada kalian, karena tidak ada ketaatan kepada makhluk
dalam bermaksiat kepada Sang Khalik.’ Misalnya, mereka mengatakan, ‘Kalian
tidak boleh shalat berjamaah di masjid!’ Kita katakan, ‘Tidak ada sikap
mendengar, tidak ada pula ketaatan.’
c. Mereka
memerintahkan sesuatu yang tidak ada perintah Allah Subhanahu wata’ala dan
Rasul-Nya, tidak pula ada larangannya.
Dalam
keadaan ini, yang wajib ialah mendengar dan taat. Menaatinya bukan karena
mereka adalah si ini dan si itu, tetapi karena Allah Subhanahu wata’ala telah
memerintahkan kita untuk menaatinya dan karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wasallam telah memerintahkan kita. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda, ‘Dengar dan taatlah, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu
dirampas.’
Bahkan,
ketika beliau ditanya tentang pemerintah yang merampas hak rakyatnya dan
bertindak zalim, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Atas mereka apa
yang telah dipikulnya (dosa) dan bagi kalian apa yang telah kalian pikul (pahala).’
Kita memikul kewajiban untuk mendengar dan taat’.” (Transkrip ceramah
asy-Syaikh Ibnu Utsaimin yang berjudul Tha’atu Wulatil Umur)
4.
Menyampaikan
Nasihat dan Mengingatkan
Pemerintah
bukanlah pihak yang ma’shum alias terjaga dari melakukan kesalahan. Mereka pada
dasarnya adalah manusia biasa, kadang berbuat yang benar dan kadang berbuat
yang salah. Maka dari itu, sampai kapan pun, mereka membutuhkan nasihat dan
arahan-arahan yang baik.
Menyampaikan
nasihat kepada mereka dengan benar adalah bagian dari pilar Islam dan petunjuk
orang-orang saleh terdahulu. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الدِّينُ
النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ وَلِرَسُولِهِ، وَلِكِتَابِهِ
وَلْأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah
nasihat. Kami bertanya (kata para sahabat), ‘Untuk siapa?’ Beliau
menjawab,‘Untuk Allah Subhanahu wata’ala, rasul-Nya, kitab-Nya, para pemimpin
kaum muslimin, dan untuk kaum muslimin pada umumnya.” (HR. Muslim)
Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata, “Nasihat untuk para
pemimpin kaum muslimin berarti menginginkan kebaikannya, kelurusannya, dan
keadilannya, serta menginginkan agar umat bersatu di bawahnya dan membenci
perpecahan. Kemudian juga memuliakannya dan membantunya dalam kebenaran serta
mengingatkannya dengan baik dan lembut, mengubur keinginan untuk
menggulingkannya dan justru mendoakannya dengan taufik dan kebaikan.”(Jami’ul
Ulum wal Hikam)
Asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah menjelaskan,
“Para pemimpin kaum muslimin adalah pemerintah mereka dari yang paling tinggi
jabatannya hingga yang paling bawah. Karena kewajiban yang mereka pikul itu
lebih berat dibandingkan yang lain, wajib menasihatinya sesuai dengan kedudukan
dan jabatannya.
Nasihat itu di antaranya adalah mengakui kepemimpinannya dan
pemerintahannya, wajib menaatinya dalam hal yang baik dan mendorong rakyat
kepada hal itu, menunaikan segala perintahnya yang tidak menyelisihi perintah
Allah Subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya, kemudian mendoakan mereka dengan
kebaikan dan taufik, tidak mencelanya, atau menyebarkan kejelekan-kejelekannya,
karena hal itu akan menimbulkan kerusakan yang besar.
5. Membela dan Membantu
Kewajiban
rakyat berikutnya terhadap pemerintah ialah membela dan membantu, dalam artian
bekerja sama dengan pemerintah dalam mewujudkan kemajuan di segala bidang, baik
yang bersifat eksternal seperti berjihad melawan musuh dengan harta dan jiwa,
atau yang sifatnya internal seperti mengembangkan perindustrian, pertanian,
memperbaiki moral, akhlak, dan lain-lain.
Wajib
bagi rakyat untuk memberikan pembelaan terhadap pemerintahnya, ketika ada
sebagian pihak yang melanggar hak-haknya seperti ketika ada pihakpihak yang
ingin memberontaknya dan melepaskan ketaatan kepadanya. Membelanya berarti
membela kaum muslimin dan menjaga kehormatan agama. (Fiqh Siyasah as-Syar’iyah)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Siapa yang datang kepada kalian,
sedangkan pengaturan urusan kalian ada di bawah seseorang yang menjadi pemimpin
kalian dan dia datang hendak memecah belah kesatuan kalian, penggalah lehernya
(perangilah).” (HR. Muslim)
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari
uraian di atas dapat kita simpulkan betapa penting bagi kita untuk memiliki
pemimpin dengan akhlak yang mulia. Kerancuan dan kekacauan dengan berbagai
krisis yang melanda negeri kita dan umat manusia di dunia ini karena para
pemimpin dalam tingkat nagara dan dunia tidak memiliki akhlak seorang pemimpin
yang ideal. Karenanya, saat kita memilih pemimpin dalam seluruh tingkatan di
masyarakat jangan sampai memilih mereka yang tidak berakhlak mulia.
DAFTAR
PUSTAKA
Pengertian Akhlak -
IslamWiki http://islamwiki.blogspot.com/2008/11/pengertian-akhlak.html#ixzz1lHFEBPHb
http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2009/11/akhlak-kepemimpinan
l-Qurtubi,
Syamsuddin, al-Jami’ liahkam al-Qur’an: Tafsir al-Qurtubi, Kairo:
Dar al-Kitab al-Mishriyyah, 1964.
Baihaqi,
Abu Bakar Al, Su’abul Iman, India: Dar as-Salafi di
Mumbai, 2003, edisi Dr. Abd al-‘Ali Abd al-Hamid hamid.
Bukhari,
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al, al-Jami’ as-Shahi, Kairo: Dar
as-Sya’bi, 1987.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
penulis yang berjudul “ Akhlak Seorang Pemimpin Dan Rakyat “. Pada makalah ini
penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari
berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima
kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh
dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penulis mengucapkan
terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang
membaca…
Taluk
Kuantan, April 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar...................................................................................................... i
Daftar
Isi............................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah...................................................................................... 1
C. Tujuan Makalah.......................................................................................... 1
BAB
II PEMBAHASAN....................................................................................... 2
A. Akhlak Kepemimpinan.............................................................................. 2
B. Ciri-Ciri Akhlak Dari
Seorang Pemimpin................................................. 2
C. Akhlak Rakyat............................................................................................ 7
BAB
III PENUTUP............................................................................................... 13
A. Kesimpulan................................................................................................ 13
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................ 14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar