KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Hama Dan Penyakit Ubi Jalar”Pada makalah ini kami
banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai
pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat
jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima
kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Taluk Kuantan, Juli 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2
Tujuan.............................................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1 Morfologi, Ekologi Dan Biologi
Hama Boleng ( C. Formicarius)................. 3
2.3 Penyebaran....................................................................................................... 6
2.4 Gejala Serangan............................................................................................... 6
2.5 Cara Pengendalian........................................................................................... 7
BAB
III PENUTUP...................................................................................................... 10
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 10
DAFTARPUSTAKA.................................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ubi jalar atau ketela rambat atau
“sweet potato” diduga berasal dari Benua Amerika. Para ahli botani dan
pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru,
Polinesia, dan Amerika bagian tengah. Nikolai Ivanovich Vavilov, seorang ahli
botani Soviet, memastikan daerah sentrum primer asal tanaman ubi jalar adalah
Amerika Tengah.Ubi jalar mulai menyebar ke seluruh dunia, terutama
negara-negara beriklim tropika pada abad ke-16. Orang-orang Spanyol menyebarkan
ubi jalar ke kawasan Asia, terutama Filipina, Jepang, dan Indonesia.
Di Indonesia, ubi jalar umumnya sebagai bahan pangan
sampingan.. Komoditas ini ditanam baik pada lahan sawah maupun lahan tegalan.
Luas panen ubu jalar diindonesia sekitar 230.000 ha dengan produktivitas
sekitar 10 ton/ha. Padahal dengan teknologi maju beberapa varietas unggul ubi
jalar dapat menghasilkan lebih dari 30 ton umbi basah/ha (Anonim,2004).
Di beberapa daerah tertentu, ubi
jalar merupakan salah satu komoditi bahan makanan pokok, Seperti di irian jaya.
Ubi jalar merupakan komoditi pangan penting di Indonesia dan diusahakan
penduduk mulai dari daerah dataran rendah sampai dataran tinggi. Tanaman ini
mampu beradaptasi di daerah yang kurang subur dan kering. Dengan demikian
tanaman ini dapat diusahakan orang sepanjang tahun.
Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lamb.) Merupakan
sumber karbohidrat yang dapat dipanen pada umur 3 – 8 bulan. Selain
karbohidrat, ubi jalar juga mengandung vitamin A,C dan mineral serta antosianin
yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Disamping itu, ubi jalar tidak hanya
digunakan sebagai bahan pangan tetapi juga sebagai bahan baku industri dan
pakan ternak (Anonim, 2004).
Kendala
dalam budidaya jagung yang menyebabkan rendahnya produktivitas jagung antara
lain adalah serangan hama dan penyakit. Hama yang sering di jumpai menyerang tanaman jagung adalah
hama penggerek batang (omphisa anastomasalis), hama boleng ( cylas
formicarlus fabr.) dan hama ulat penggulung daun (tabidia aculeasis
wlk). Selain hama-hama tersebut di temukan pula hama lainya yaitu ulat
tanduk (agrius convovolvuli), (helicoverpa armigera), dan (leuchopolis
spp).
Salah
satu hama yang akan di bahas pada makalah ini yaitu hama boleng (cylas formicarlus fabr.) yang tidak
kalah pentingnya juga dengan hama-hama yang lain , jika tidak di kendalikan maka akan merugikan
petani karena pengurangan produksi panen, oleh sebab itu hama
boleng tidak boleh di pandang remeh.
Upaya
pengendalian oleh petani pada saat ini adalah dengan menggunakan pestisida atau
bahan kimia lainnya yang tidak ramah lingkungan. Pengendalian Hama Terpadu (PHT)
yang mengintegrasikan komponen pengendalian yang selaras terbukti tidak hanya
meningkatkan produksi jagung tetapi juga pendapatan petani. Sistem PHT
melibatkan semua komponen yang berpeluang untuk menekan atau mencegah hama
untuk mencapai ambang batas populasi merusak secara ekonomi (economic injury
level/ economic threshold) (Willson, 1990).
B. Tujuan
Adapun
tujuan makalah ini yaitu :
-
Mengetahui
morfologi dan biologi hama boleng (cylas formicarlus fabr.)
-
Mengetahui
gejala serangan yang ditimbulkan akibat boleng (cylas formicarlus fabr.)
-
Mempelajari cara-cara mengendalikan boleng (cylas formicarlus
fabr.) agar mudah, efektif dan efisien dalam pengendaliannya.
-
Agar
produksi ubi jalar meningkat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Morfologi, Ekologi dan Biologi Hama
Boleng ( C. Formicarius )
Siklus hidup C.
formicarius memerlukan waktu 1–2 bulan, secara umum 35–40 hari
pada
musim panas. Generasinya tidak merata, demikian pula jumlah generasi selama
setahun. Di Indonesia, terdapat 9 generasi C. formicarius dalam setahun,
(Nonci dan Sriwidodo 1993; Supriyatin 2001), di Florida 6–8 generasi, di Texas
5 generasi, dan di Louisiana Amerika Serikat 8 generasi (Waddil 1982; Capinera
1998). Serangga dewasa tidak berdiapause, tetapi cenderung tidak aktif bila
kondisi lingkungan kurang sesuai. Semua fase pertumbuhan dapat ditemukan
sepanjang tahun jika tersedia makanan yang sesuai.
1.
Telur
Telur diletakkan di dalam rongga kecil yang dibuat oleh kumbang
betina dengan cara menggerek akar, batang, dan umbi. Telur diletakkan di bawah
kulit atau epidermis, secara tunggal pada satu rongga dan ditutup kembali
sehingga sulit dilihat (Morallo dan Rejesus 2001; AVRDC 2004). Menurut
Supriyatin (2001), telur C. formicarius sulit dilihat karena ditutup
dengan bahan semacam gelatin yang berwarna cokelat. Telur C. formicarius berwarna
putih krem, berbentuk oval tak beraturan (AVRDC 2004), berukuran 0,46 – 0,65 mm
(Supriyatin 2001), sedangkan menurut Capinera (1998) panjang telur 0,77 mm
dengan lebar 0,50 mm.
Di Florida, lama fase telur berkisar 5 hari pada musim panas dan
11–12 hari bila musim dingin (Capinera 1998). Periode inkubasi telur beragam
sesuai dengan suhu, yakni 4 hari pada suhu 30oC dan 7, 9 hari pada suhu 20oC.
Di Indonesia, rata-rata lama fase telur adalah 7 hari (Supriyatin 2001),
sedangkan di India 6,30 hari Rajamma (1983). Seekor kumbang betina meletakkan
telur 3–4 butir / hari atau 75–90 butir selama hidupnya (30 hari). Di
laboratorium, setiap ekor kumbang betina mampu meletakkan telur 122–250 butir
(Capinera 1998), sedangkan menurut Supriyatin (2001) sekitar 90–340 butir.
2.
Larva
Larva yang baru menetas berukuran lebih besar
dari telur, tanpa kaki, berwarna putih dan lambat laun berubah menjadi
kekuningan (AVRDC 2004). Larva yang baru menetas langsung menggerek batang atau
umbi. Bila larva menggerek batang, biasanya arah gerekan menuju umbi. Larva C.
formicarius terdiri atas tiga instar dengan periode instar pertama 8 – 16
hari, instar kedua 2–21 hari, dan instar ketiga 35–56 hari (Capinera 1998).
Supriyatin (2001) melaporkan bahwa larva C. formicarius terdiri atas 5
instar dalam waktu 25 hari. Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat
perkembangan larva. Perkembangan larva mencapai 10 dan 35 hari berturut-turut
pada suhu 30oC dan 24oC (Capinera 1998).
Di India, fase larva di laboratorium rata-rata
berlangsung 16 hari (Rajamma 1983) dan di Taiwan 25–35 hari. Larva instar akhir
berukuran panjang 7,50– 8 mm dan lebar 1,80–2 mm (CABI 2001), berwarna putih
kekuningan. Caput besar berukuran sepertiga dari panjang badan dan seperdua
dari lebar badan. Kepala berwarna kuning hingga cokelat, mandibula kuning
hampir hitam dan abdomen larva agak besar. Telur Cylas formicarius
(AVRDC 2004).
3.
Pupa
Larva instar akhir membentuk pupa pada umbi
atau batang, berbentuk oval, kepala dan elytra bengkok secara ventral. Panjang
pupa berkisar 6–6,50 mm (Capinera 1998; CABI 2001; AVRDC 2004). Pupa berwarna
putih, tetapi seiring dengan waktu dan perkembangannya, berubah menjadi abu-abu
dengan kepala dan mata gelap. Lama masa pupa berkisar 7–10 hari, tetapi pada
cuaca dingin dapat mencapai 28 hari (Capinera 1998). Di laboratorium di India,
rata-rata stadium pupa adalah 4,10 hari (Rajamma 1983).
4.
Serangga Dewasa
Kumbang yang baru keluar dari pupa tinggal 1–2
hari di dalam kokon, kemudian keluar dari umbi atau batang. CABI (2001)
melaporkan bahwa kumbang C. formicarius menyerupai semut,
mempunyai abdomen, tungkai, dan caput yang panjang dan kurus (Gambar 4). Kepala
berwarna hitam, antena, thoraks, dan tungkai oranye sampai cokelat kemerahan,
abdomen dan elytra biru metalik (Capinera 1998; Morallo dan Rejesus 2001).
Supriyatin (2001) juga menyatakan bahwa C.
Formicarius mempunyai kepala, abdomen, dan sayap depan berwarna biru
metalik, sedangkan kaki dan dadanya cokelat. Tungkai mempunyai cincin di
sekeliling tibia. Antena mempunyai 10 ruas. Perbedaan kumbang jantan dan betina
terletak pada antena. CABI (2001) melaporkan bahwa antena kumbang jantan
berbentuk benang, ruas antena mempunyai jarak yang sempit, dan tidak sama,
berbentuk sosis, dan panjangnya lebih dari dua kali panjang flagelum.
Antena kumbang betina berbentuk gada, jarak
ruas antena 2/3 dari panjang flagelum. Suhu sangat berpengaruh terhadap
perkembangan dan lama hidup C. formicarius. Mullen (1981)
menyatakan bahwa kumbang C. formicarius yang dipelihara pada ubi jalar
varietas Jewel menurun perkembangannya sejalan dengan meningkatnya suhu dari
20oC menjadi 30oC. Kumbang akan hidup lebih lama pada suhu 15oC sehingga
penyimpanan ubi jalar pada suhu 15oC belum dapat memusnahkan populasi C.
formicarius.
Kumbang betina dapat hidup 113 hari dan mampu
bertelur 90– 340 butir. Siklus hidup setiap generasi berlangsung 38 hari,
sehingga dalam setahun terdapat 9 generasi (Supriyatin 2001). Di India siklus
hidup C. Formicarius berkisar 23,20–24,70 hari pada bulan Februari–Mei,
26,20–26,50 hari pada bulan Juni–September, dan 27–29,10 hari pada bulan
Oktober–Januari. Periode praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi
berturut-turut adalah 8,40; 82,60; dan 6,10 hari (Rajamma 1983).
Pada suhu 15oC di laboratorium, serangga
dewasa dapat hidup lebih dari 200 hari jika makanan tersedia, dan hanya 30 hari
jika dilaparkan. Namun, lama hidup kumbang menurun menjadi 3 bulan jika
dipelihara pada suhu 30oC dengan makanan, dan 8 hari tanpa makanan (Capinera
1998). Kumbang dapat terbang tetapi jarang terjadi dan jarak terbangnya relatif
dekat. Kaku et al. (1999) melakukan pengamatan terhadap pergerakan
kumbang C. formicarius di laboratorium pada suhu 27oC, RH 70% dan 16 jam
terang serta 8 jam gelap. Persentase kumbang dewasa yang bergerak dari satu
umbi ke umbi lainnya selama 7 hari adalah 77,10% untuk kumbang jantan dan 40%
untuk kumbang betina.
B.
Penyebaran
Cylas formicarius dijumpai hampir di seluruh daerah pertanaman
ubi jalar di dunia, baik di daerah tropika maupun subtropika. Di Indonesia, C.
formicarius banyak ditemukan di Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan
Nusa Tenggara (Nonci dan Sriwidodo 1993; Trustina et al. 1993). Di
Amerika Serikat, hama tersebut pertama kali ditemukan di Louisiana pada tahun
1875, kemudian di Florida tahun 1878 dan Texas tahun 1890, dan diduga masuk
melalui Kuba. Saat ini hama itu sudah ditemukan di seluruhpantai bagian
tenggara mulai dari Carolina Utara hingga Texas, juga ditemukan di Hawai dan
Puerto Rico (Capinera 1998). Komi (2000) melaporkan bahwa C. formicarius
pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1900-an kemudian menyebar ke
bagian utara Pulau Amami, Tokara, Setokuchi, kemudian menjadi endemik. Pada
tahun 1995, C. Formicarius ditemukan untuk pertama kalinya di kota
Muroto di Kochi Prefecture.
C. Gejala
Serangan
Hama
ini menyerang ubi jalar dengan cara menggerek ubi sejak di lapangan sampai di
tempat penyimpanan. Hama ini menyerang tanaman ubi jalar dalam fase larva. Kerusakan
akibat serangan larva hama boleng
terlihat dengan adanya lubang
lubang kecil bekas gerekan dan yang tertutup oleh kotoran berwarna hijau dan
berbau menyengat. Hama ini biasanya menyerang tanaman ubi jalar yang telah
memasuki fase umbi. Dan bila hama terbawa oleh ubi di gudang penyimpanan sering
merusak ubi sehingga sering merusak kualitas dan kuantitas ubi jalar.
D. Cara Pengendalian
Pengendalian
hama boleng ini harus di lakukan jika sudah sampai batas ekonomi. Beberapa cara
untuk mengendalikan hama boleng yaitu :
a. Pencegahan
-
Penggunaan bibit yang sehat dan tidak terdapat telur
hama serta lakukan perendaman bibit dengan pestisida sebelum di tanam.
-
Merotasikan tanaman yang tidak sefamili dengan ubi
jalar untuk memutuskan siklus hama, misalnya padi-ubi jalar-padi.
-
Pembumbunan atau penimbunan guludan secara berskala
untuk menghindari rekahan tanah yang biasa digunakan sebagai jalan masuk imago
untuk meletakkan telur.
-
Pengambilan dan pemusnahan batang dan akar semua jenis
ubi jalar pada lahan yang khususnya yang terserang hama cukup berat.
-
Pengamatan/monitoring hama terhadap tanaman secara
periodik.
b. Pengendalian
hayati
Pengendalian secara Biologis Musuh
alami kumbang berperan penting dalam menekan populasi hama boleng. Agen
mikrobia seperti jamur entomofaga, bakteri, dan nematoda memiliki potensi
sebagai agen pengendali hayati. Kombinasi feromon seks dengan jamur Beauveria
bassiana efektif mengendalikan hama boleng.
Pemanfaatan cendawan entomopatogen
merupakan salah satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT). Beauveria
bassiana merupakan cendawan entomopatogen yang efektif mengendalikan hama
dari ordo Coleoptera. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan frekuensi dan cara
aplikasi cendawan entomopatogen B. bassiana yang efektif.
Penelitian dilakukan di rumah kaca
Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Hasil
penelitian menunjukkan semakin sering aplikasi cendawan, tingkat kerusakan
umbi, populasi telur, larva, dan imago semakin rendah, sedangkan perlakuan pra
tanam (aplikasi seminggu sebelum tanam dan stek dicelupkan pada suspensi
cendawan sebelum tanam tidak berpengaruh terhadap tingkat kerusakan umbi,
populasi telur, larva, dan imago(gambar 1). Oleh karena itu, untuk menekan
kerusakan umbi akibat serangan penggerek umbi dapat dilakukan dengan aplikasi
cendawan B. bassiana dengan cara menyemprotkan ke permukaan tanah dan
bagian tanaman. Untuk mendapatkan hasil yang optimal, frekuensi aplikasi
dilakukan paling tidak empat kali, atau diaplikasikan mulai umur enam minggu
setelah tanam (MST) pada saat calon umbi sudah terbentuk.
Keterangan
perlakuan:
1.
Aplikasi (penyemprotan) suspensi konidia B.
bassiana 108/ml satu minggu sebelum tanam
2.
Stek ubi jalar dicelupkan suspensi konidia B.
bassiana selama 30 menit
3.
Perlakuan 1 + perlakuan
2
4.
Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi 10 ml suspensi
per pot ke tanah pada umur 2, 4, 6, 8, 10, dan 12 minggu setelah tanam (MST)
5.
Perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada 2, 4, 6, 8, 10,
dan 12 MST
6.
Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada
umur 4, 6, 8, 10, dan 12 MST
7.
Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada
umur 4, 8, 12 MST
8.
Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada
umur 4 dan 8 MST
9.
Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada
umur 4 MST
10.
Perlakuan 1 + perlakuan 2 + aplikasi ke tanah pada
umur 8 MST
11.
Proteksi penuh dengan insektisida (bahan aktif
Karbofuran)
12.
Kontrol (tanpa pengendalian)
c. Pengendalian
Fisik / Mekanis
-
menghasilkan sumber infeksi (dicabut/dipetik),
-
menggunakan peralatan yang bersih,
-
memasang perangkap mekanis,
-
pembakaran sumber infeksi,
-
menggunakan alat penimbul suara-suara (menolak hama).
d. Pengendalian Kimiawi
Sekitar 20% petani ubi jalar di Jawa Timur menggunakan
insektisida untuk mengendalikan hama ubi jalar. Pengendalian dilakukan dengan
cara merendam setek dalam larutan insektisida dengan takaran 0,05% b.a/ha
selama 20 menit. Aplikasi insektisida semprotan dapat dilakukan tiga kali,
yaitu pada saat tanaman berumur 50, 78, dan 106 hari dengan takaran semprot 1-2
kg/ha. Aplikasi insektisida dalam bentuk butiran dilakukan bersamaan dengan
pembumbunan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat di ambil dari sedikit uraian di atas diantaranya yaitu
:
-
Bahwa hama boleng (cylas formicarlus fabr) yang merusak
tanaman ubi jalar adalah fase larva.
-
Pemanfaatan cendawan entomopatogen merupakan salah
satu komponen pengendalian hama terpadu (PHT)
-
Hama menyerang tanaman ubi jalar dalam fase ubi.
-
Pembubunan dan penimbunan secara berskala dapat
mencegah imago melatakkan telur.
-
Rotasi tanaman dapat memutus siklus hidup hama.
B. Saran
Adapun saran yang dapat kami berikan antara lain :
-
Tindakan
pengendalian sebaiknya di lakukan saat fase pra tanam.
-
Untuk
mengendalikan hama boleng (cylas formicarlus fabr) ini terlebih dahulu
kita harus mengenal hama ini, mengetahui morfologi dan biologinya.
-
Mekanisme
– mekanisme penjagaan tanaman dari hama ini perlu di perhatikan dan dijalankan
dengan benar.
-
Lebih
baiknya kita mengendalikan hama ini secara fisik atau biologi dibanding kimia,
jika secara fisik atau biologi tidak juga berhasil maka baru menggunakan secara
kimia, karena kita di tuntut untuk meminimalkan kimia.
DAFTAR PUSTAKA
Rukmana, Rahmat. (1997). Ubi jalar:
budi daya dan pascapanen. Yogyakarta: Kanisius,1997.
Terimakasih kak, Artikel nya sangat membantu dan mudah dipahami
BalasHapusSelain sumber karbohidrat dan kalori Ubi jalar juga mengandung protein dan lemak. Terdapat kandungan pigmen warna ungu atau antosianin yang bervariasi pada setiap tanaman ubi jalar.