KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan
ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya Makalah sosiologi
pertanian dengan judul “ Proses
Pembuatan Jalur “ ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih kurang sempurna
oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua
pihak sangat diharapkan.
Akhirnya melalui kesempatan
ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta semua pihak
yang telah membantu hingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis
mengharapkan semoga makalah ini berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.
Teluk Kuantan, Desember 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang.......................................................................................... 2
1.2
Rumusan Masalah..................................................................................... 2
1.3
Tujuan....................................................................................................... 2
1.4 Manfaat
Penelitian.................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................... 3
2.1 Pengertian dan sejarah Jalur..................................................................... 3
2.2 Praktek Magis pada Tradisi Pacu Jalur di Kabupaten
Kuantan Singingi
4
BAB IV PENUTUP............................................................................................... 12
4.1
Kesimpulan................................................................................................ 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ 13
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kuantan Singingi adalah
salah satu Kabupaten di Propinsi Riau. Kuantan Singingi di kenal sebagai suatu
kabupaten yang mempunyai Budaya dan tradisi yang unik. Salah satu budaya
yang cukup terkenal adalah Pacu Jalur. Budaya pacu jalur ini sudah dikenal lebih dari satu abad silam yaitu berawal pada
tahun 1903. Pada awal nya pacu jalur ini digunakan sebagai ajang dalam
memperingati hari-hari besar islam seperti isra’mi’rad Nabi Muhammad SAW, hari
raya Idul Fitri dan sebagainya. Dengan perkembangan zaman maka pada saat ini
pacu jalur di laksanakan setahun sekali.
Kuantan Singingi
mempunyai wilayah yang luas dan pacu jalur ini tersebar sampai kepelosok
negeri, maka akan terdapat pula kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dalam
pelaksanaan nya di setiap daerah. Maka untuk lebih spesifiknya makalah ini akan
membahas secara rinci Proses Penurunan Jalur yang ada di Teluk Kuantan yaitu
tepatnya di desa pulau Kedundung. Proses penurunan jalur yang ada di pulau
Kedundung memang akan berbeda dengan proses penurunan jalur yang ada di desa
lain nya.
Hal ini di pengaruhi
oleh berbedanya keyakinan masyarakat dan sang pawang yang mengurus jalur
tersebut. Sang pawang adalah seseorang yang memiliki ilmu berkekuatan tinggi
dalam hal gaib maupun dalam hal yang biasa, yang di tunjuk untuk mengasuh jalur
atau menjadi juru kunci pada jalur. Walaupun proses penurunan jalur ini selalu
memiliki sifat mistis tetapi sifat ini lah yang menjadi ciri khasnya dan harus
kita ambil makna positif yang terkandung dalam pelaksanaannya.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Sejarah Jalur
2. Apa Saja
Praktek Magis Pada Jalur
1.3 Maksud dan Tujuan
1.3 Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penelitian
ini adalah ingin mendapatkan data secara empiris tentang Proses
penurunan jalur dari awal sampai akhir dimulai dari rangkaian ritual yang harus
dikuti, apa maksud dari ritual yang dilakukan. Mantra seperti apa yang
digunakan, seperti apa contoh mantra tersebut. Dan setelah semua ritual dan
mantra selesai kita dapat mengetahui bagaimana proses penarikan jalur ke sungai
kuantan.
1.4 Manfaat
Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah kita dapat mengetahui secara
empiris tentang proses penurunan jalur beserta rangkaian ritual dan mantra yang
digunakan dan juga dapat mengetahui proses penarikan jalur ke sungai kuantan
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Dan
Sejarah
Jalur
Kabupaten
Kuansing adalah salah satu daerah kabupaten yang secara administrative termasuk
dalam Provinsi Riau. Daerahnya banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang
demikian, membuat sebagian besar masyarakatnya memerlukan jalur sebagai alat
transportasi Kemudian, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti
ukiran kepala ular, buaya, dan harimau, baik di bagian lambung maupun
selembayung-nya. Selain itu, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang,
tiang tengah (gulang-gulang), serta lambai-lambai
(tempat juru mudi berdiri).
Perubahan
tersebut sekaligus menandai perkembangan
fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas
sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk - datuk saja yang
mengendarai jalur berhias itu. Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun
kemudian), jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol
status sosial seseorang,
tetapi diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat
setempat disebut sebagai “Pacu Jajur ” Budaya pacu jalur di Kabupaten Kuantan
Singingi adalah suatu tradisi budaya yang telah berlangsung dari zaman
penjajahan hingga sekarang.
Pacu
jalur ini diadakan setiap tahun dalam rangka memperingati hari Ulang Tahun
Kemerdekaan Republik Indonesia yang
biasanya dilaksanakan pada bulan Agustus setiap tahunnya. Tradisi pacu jalur tidak hanya masuk dalam agenda wisata budaya Provinsi
Riau tapi sudah masuk dalam agenda wisata budaya Nasional. Pacu jalur memiliki
makna budaya yang terkandung di dalamnya, yaitu keuletan, kerjasama, kerja
keras, ketangkasan, dan sportifitas.
Budaya
khasanah dari Kuantan Singingi
ini tidak hilang begitu saja oleh
waktu dan dapat dipertahanakan dari generasi ke generasi. Kegiatan pacu
jalur telah menjadi wisata bagi masyarakat Kuantan Singingi yang ingin melihat
jalur yang bertanding, bahkan tidak hanya masyarakat Kuantan Singingi saja
tetapi para wisatawan luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia, banyak juga
berdatangan untuk melihat pacu jalur. Bagi masyarakat Kuantan Singingi,
perhelatan pacu jalur merupakan suatu yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya.
Namun,
dibalik itu semua tanpa disadari tradisi Pacu Jalur sarat dengan
praktik-praktik magis atau apa yang disebut dengan perdukunan. Praktik
perdukunan dan peramalan yang saat ini masih dipercayai sebagian besar
masyarakat Kuansing dalam berbagai kegiatan ritual.
Praktik
magis ini sudah muncul pada awal proses perencanaan dan proses pembuatan jalur
sampai kepada jalur tersebut ikut bertanding di arena sungai Batang Kuantan
setiap tahunnya. Pada awal-awal tradisi ini berlangsung di Kabupaten Kuantan
Singingi jika satu Jalur itu mendapat Juara I, II, dan III, maka sudah menjadi
rahasia umum masyarakat akan berkata “Dukunnya Terlalu Kuat”. Dengan
berjalannya waktu tentu saja hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan zaman itu sendiri. Di
samping sebagian masyarakat sadar bahwa kemenangan yang diraih berkat
kerjasama, tenaga yang kuat serta kesungguhan dari Anak Pacu serta kehendak
dari yang Maha Kuasa. Namun demikian yang namanya tradisi yang sudah mengurat
mengakar pada masyarakat akan sulit dihilangkan. Inilah yang bahasan dalam
tulisan ini.
2.2 Praktek Magis pada Tradisi Pacu Jalur di
Kabupaten Kuantan Singingi
Pacu Jalur merupakan
kebanggaan masyarakat Kuansing yang pelaksanaannya ditunggu setiap tahunnya.
Tradisi Pacu Jalur ini secara kasat mata hanya merupakan tontonan semata, namun di balik itu semua diyakini bahwa masih
berlangsungnya praktik magis atau Perdukunan. Praktik magis atau Perdukunan
tersebut berlangsung mulai dari awal perencanaan suatu Desa atau Kampung yang ingin membuat Jalur.
Dalam setiap tahapan-tahapan pembuatan jalur tersebut peran seorang Dukun atau
Pawang sangat penting demi terlaksananya pembuatan jalur tersebut. Bahkan tak
jarang masyarakat meyakini bahwa jika Dukun dari jalur tersebut terkenal, kuat,
hebat atau diyakini Jalur tersebut akan memperoleh kemenangan ,dalam lomba Pacu
Jalur.
Sebagai catatan bahwa
ukuran dan kapasitas Jalur serta jumlah Anak Pacunya dalam lomba ini tidak
dipersoalkan. Karena mitos bahwa kemenangan ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu (yang
dijadikan jalur) serta kesaktian Dukun atau Pawang dalam mengendalikan perahu
atau jalur. Sebelum menjadi sebuah jalur yang utuh dan dapat didayung serta dilombakan di Sungai Kuantan,
terdapat serangkaian prosesi adat istiadat dalam pembuatan sebuah jalur.
Pembuatan jalur akan dilakukan oleh masing-masing desa atau dusun atau kampung.
Prosesi adat istiadat
ini tidak ditetapkan waktu dan tanggalnya, karena tiap desa atau dusun atau
kampong memiliki rencana yang berbeda-beda dalam proses pembuatannya. Proses
pembuatan jalur harus dilakukan secara berurutan. Berikut adalah
tahapan-tahapan pembuatan jalur hingga jalur diturunkan ke Batang Kuantan untuk
mengikuti lomba pacu jalur:
1.
Rapek Banjar (Rapat
Desa)
Rapat
ini bertujuan untuk membentuk
panitia
pembuatan jalur. Pengurus itu
dinamakan
Pak Tuo atau Tetua Kampung.
Dalam rapat ini juga ditentukan tempat pencarian kayu jalur. Seluruh rancangan
kegiatannya dimusyawarahkan
bersama dalam rapat desa
atau banjar atau kampung
sehingga
proses selanjutnya dapat
dilakukan
secara terinci atau teratur.
Dalam
menentukan rimba atau hutan
mana
yang akan ditunjuk untuk lokasi
pencarian
kayu tersebut, maka dalam
hal
ini dimintalah seorang dukun untuk
memberi
petunjuk tentang lokasi kayu
tersebut.
2.
Mencari Kayu Jalur
Ada begitu banyak proses
yang harus dilalui,
jika sudah mendapatkan pohon
yang
cocok untuk dijadikan jalur, maka
harus
dilakukan tradisi persembahan
untuk
meminta izin sebelum dilakukan
penebangan
pohon. Pemilihan pohon yang
dijadikan jalur juga tidak
sembarangan,
karena kayu yang digunakan
akan sangat mempengaruhi
hasil
lomba nantinya.
Sewaktu kayu besar akan diambil
untuk keperluan jalur dengan membawa orang pintar, sebagai penghormatan pada pohon yang
akan ditebang tersebut. Dengan mantera yang dibaca yang intinya meminta pada Allah
SWT, agar tanaman ini akan tumbuh lagi penggantinya, dan dimohonkan keselamatan
dikemudian hari bagi anak cucunya. Berikut materanya: “Oo..penguaso rimbo.. nen tinggal
di sakek antuang, nen iduik di solo-solo tanah, nen iduik di tanah-tanah
maninggi, kami nak mambuek jaluar, bori izin kami untuak menobang kayu iko,
jangan bori kami penyakik poniang, paliharo la kami go, barokat kulimah Laillah
haillallah”
Masyarakatpun
meyakini kalau pohon yang
sudah ditebang kemudian dijadikan
jalur akan tetap hidup secara gaib.
Jenis kayu yang digunakan
untuk membuat jalur bukanlah
kayu yang sembarangan, melainkan
kayu yang memiliki nilai
spiritual
tinggi atau dalam istilah
masyarakat
tempatnya harus mempunyai
mambang (sejenis makhluk
halus).
Oleh karena itu, sebelum
mencari
kayu ke hutan, sang dukun
terlebih
dahulu melakukan upacara
khusus
di rumah kepala desa. Ada dua
upacara
yang dilakukan dukun tersebut
yakni,
Pertama, Babalian yaitu suatu upacara tari-tarian
yang dilakukan oleh sang
dukun dengan iringan musik rebab
(sejenis
alat gesek). Kedua, Batonung yaitu suatu upacara
yang khusus dilakukan
oleh dukun untuk mencari
kayu
dengan cara menggunakan kekuatan
magis dan mantra-mantra.
Dengan
cara tersebut, seorang dukun
dapat
menemukan tempat atau lokasi
hutan
yang cocok untuk mencari kayu
yang
diinginkan. Dukun juga dapat
mengetahui
ciri-ciri atau situasi tempat
atau
lokasi hutan yang akan dituju
sehingga
mudah untuk menemukannya
pada
saat pencarian kayu berlangsung.
3.
Manobang Kayu.
Setelah
ditemukan kayu yang berdiameter
45 meter lingkaran batang
pohonnya
dengan panjang berkisar antara
25-30 meter yang akan didayung
nantinya
oleh 50-60 anak pacu yang tentukan oleh Pak Tuo atau Dukun kayu, maka selanjutnya
akan dilakukan penebangan
kayu tersebut. Manobang
(menebang) kayu diawali dengan upacara menyemah yaitu
semah (sesajen)
kepada mambang yang
diyakini
menunggu kayu tersebut.
Upacara
ini dimaksudkan untuk menghindari
hal-hal yang tidak diinginkan
seperti menimbulkan bencana
bagi tukang dan orang-orang
yang
menyaksikan acara penebangan
kayu
tersebut. Upacara dipimpin oleh
seorang
dukun dengan beberapa rangkaian
kegiatan seperti penyembelihan
ayam hitam jamui
(putih suci), pembakaran kemenyan, tepung tawar, dan sebagainya. Selanjutnya malembe,
yakni membaca doa
atau mantra supaya pekerjaan itu
berjalan
lancar. Setelah dukun membaca
mantra-mantra, para tukang
mulai
menebang dengan mengayunkan
beliung
sebanyak tiga kali.
Catukan (kepingan kayu) juga
disebut sarok baantu
yang jatuh dari tebasan pertama diambil dan disimpan
oleh dukun untuk dijadikan
pedoman dalam melakukan proses
selanjutnya dan akan dipergunakan
sebagai obat jika ada di
antara
pekerja pembuat jalur sakit.
Menurut
keyakinan masyarakat, melalui
sarok ba-antu tersebut dukun
bisa
mengetahui perkembangan jalur
yang
akan dibuat. Setelah kayu mulai
rebah,
dukun segera melemparkan telur
ayam
ke pohon kayu untuk memberikan
makanan kepada mambang
atau penunggu kayu.
Menurut
keyakinan dukun, mambang
tersebut akan terus mengikuti kayu itu ke mana kayu dibawa.
Oleh karena itu, upacara
menyemah ini menjadi titik
tolak
dari kerjasama antara dukun
dengan
mambang dengan maksud
meminta
pertolongan hingga pembuatan
jalur selesai, bahkan hingga
jalur
digunakan. Setelah kayu ditebang
dan
dibersihkan, barulah pekerjaan
membuat
jalur dimulai dengan dipimpin
oleh Tukang Tuo, dibantu
oleh
Tukang Pangapik sebanyak dua
atau
tiga orang serta masyarakat
lainnya
yang mau membantu dan pandai
bertukang.
4.
Mengabung.
Mengabung
berarti memotong kayu pada
bagian ujung. Setelah kayu rebah,
para
tukang segera memperkirakan
ukuran
panjang kayu yang dibutuhkan
untuk
sebuah jalur. Selain pekerjaan
mengabung,
pada proses ini juga dilakukan
kegiatan membersihkan keseluruhan kayu yang akan dibentuk dan
membersihkan kayu-kayu yang ada
di
sekitarnya agar pekerjaan tersebut
dapat
dilaksanakan dengan lancar.
5.
Melepas Benang
Melepas
benang berarti melakukan
kegiatan
pengukuran dengan menggunakan
benang. Dengan benang ini,
para tukang dapat memperkirakan
perbandingan
ukuran pada tiap-tiap bagian
jalur yang akan dibuat. Setiap
tukang
mempunyai bagian masingmasing.
Proses
pengukuran ini dipimpin
oleh kepala tukang sehingga
pekerjaan
dapat berjalan menutut ukuran
yang telah ditentukan.
6.
Pendadaan.
Pendadaan
berasal dari kata dada. Jadi
pendadaan
dapat diartikan sebagai suatu
pekerjaan membuat bagian dada
jalur.
Bagian kayu yang biasa dibuat
dada
jalur adalah bagian atasnya.
Proses
pendadaan dilakukan dengan
cara
meratakan bagian atas kayu yang
memanjang
mulai dari bagian pangkal
sampai
ke bagian ujung. Meskipun
dikerjakan
secara bersama-sama oleh
seluruh
tukang, proses pendadaan ini
membutuhkan
waktu tiga hari. Oleh karena
itu, para pekerja dibekaliberbagai macam minuman dan makanan, baik makanan
berat maupun makanan
ringan yang disediakan oleh
swadaya
masyarakat. Selama bekerja
sebagai
tempat bagi para tukang dibuatlah
pondok atau dangau yang terbuat
dari kayu hutan dan dedaunan
sebagai
atap pondok tersebut.
7.
Mencaruk.
Mencaruk
berarti mengeruk bagian kayu
yang telah diratakan. Pekerjaan
ini
dimaksudkan untuk melubangi kayu
secara
seimbang dengan ketebalan yang
sama
di masing-masing bagiannya.
Kegiatan
mencaruk memerlukan ketelitian
dan waktu yang cukup lama
yaitu
3-7 hari. Oleh karena itu,
pekerjaan
ini biasanya dilakukan oleh
tukang
secara bersama-sama dengan
menggunakan
beliung khusus.
8.
Menggiling.
Menggiling
di sini adalah melicinkan
bagian
luar atau pinggir bakal jalur.
Tujuannya
adalah untuk membentuk bakal
jalur menjadi ramping seperti
perahu.
Oleh karena itu, pekerjaan ini
harus
dilakukan dengan ekstra hati-hati
dan
pelan-pelan.
9.
Manggaliak
(Menelungkupkan).
Pada
proses ini diartikan menelungkupkan
jalur. Pekerjaan ini tergolong
berat dan membutuhkan tenaga
yang banyak. Oleh karena itu,
para
tukang meminta bantuan kepada penduduk desa. Atau dilakukan secara gotong royong dengan
masyarakat. Kegiatan
ini biasanya dilakukan pada
hari
libur agar semua masyarakat bisa
berpartisipasi.
Kaum laki-laki biasanya membantu
manggaliak sedangkan
kaum
ibu sibuk menyiapkan makanan.Pada proses ini tukang tidak hanya menelungkupkan jalur,
tetapi juga melepas
tali kedua, yaitu mengukurdan meluruskan bentuk jalur.
10.
Membuat Perut.
Kegiatan
ini biasanya dilakukan setelah
jalur
ditelungkupkan. Pekerjaan ini
tergolong
rumit dan memerlukan keahlian
khusus karena perut jalur
harus
dibentuk melengkung dari bagian
haluan
sampai ke kemudi dengan seimbang.
Demikian juga kedua sisi
atau
pinggir jalur harus dibuat secara
seimbang.
Selain itu, seorang tukang
juga
harus dapat memperkirakan
ukuran
tebal pingging jalur secara
keseluruhan.
11.
Membaut Lubang Kakok.
Proses
ini adalah lubang yang dibuat
pada
jalur dengan menggunakan alat
bor.
Lubang ini berfungsi sebagai alat
kontrol
bagi tukang agar tidak meleset
pada
saat mengukur ketebalan perut
jalur.
Selain itu lubang kakok juga
berfungsi
untuk mencegah pecahnya jalur
pada saat dipanaskan atau diasap
atau
dilayur. Lubang-lubang ini dibuat
pada
bagian perut jalur secara
memanjang
dengan jarak 50 cm dan secara
melintang dengan jarak 15 cm.
Lubang-lubang
kakok tersebut nantinya
akan
ditutup kembali dengan kayu
keras
yang ukurannya pas dengan
lubang
tersebut. Kayu penutup itulah
yang
disebut dengan istilah kakok.
12.
Manggaliak
(Menelentangkan)
Pada
proses ini lebih ringan. Di mana kerja tukang sudah agak lebih ringan
dan tidak lagi meminta
pertolongan pada penduduk
desa
karena bentuk bakal jalur sudah
agak
ramping dan ringan.
13.
Menggantung (membuat)
Timbuku.
Timbuku adalah
bendulan-bendulan yang
berfungsi sebagai landasan
panggar
atau tempat duduk. Timbuku
dibuat sejajar di antara kedua sisi perut jalur secara membujur
dengan jarak masing-masing
Timbuku sekitar 60 cm.
Pada
proses ini para tukang juga
sekaligus
membersihkan atau menghaluskan
perut jalur secara merata
dan
seimbang.
14.
Membentuk Haluan dan Kemudi.
Pada
proses ini bagian yang akan
dibuat
jalur diukur dengan tepat. Ukuran haluan ini berkisar antara 1-1.5 meter. Setelah itu
kemudi dibentuk dengan
ukuran kira-kira 2 meter.
15.
Maelo atau Menarik
Jalur.
Dalam
proses maelo tersebut
dilakukan dengan aba-aba.
Alat
yang digunakan adalah tali
pengikat
dari rotan yang kuat dan
panjang.
Tali tersebut diikatkan pada
telinga
jalur di bagian depan untuk
ditarik
oleh orang banyak. Selain ada
ikatan
di depan, ada juga ikatan tali di
belakang
untuk pengontrol agar jalur
yang
dielo bisa lurus. Menghaluskan.
Setelah
jalur sampai di desa, jalur
kemudian
dihaluskan. Demikian pula
bentuk
keindahan pada jalur juga mulai
diperhatikan
secara teliti.
16.
Malayui Parahu Pacu
(Melayur)
Malayui Perahu
Pacu adalah istilah yang digunakan pada
pekerjaan melayur
atau mengasapi jalur. Setelah dianggap cukup
pekerjaan membuat dasar
jalur, maka pada proses selanjutnya
adalah melayur jalur yakni
proses
pembakaran atau pengasapan
jalur.
Proses ini dimulai dari menaikkan
jalur
ke atas rampaian (tempat
pengasapan)
setinggi 1.20 meter.
Setelah
berada di atas rampaian dalam
posisi
tertelungkup, jalur kemudian
diasap
dengan membakar kayu di bawahnya. Proses pengasapan ini berlangsung lebih kurang 5 jam, yang dimulai dari pukul
08.00 WIB pagi. Setelah
itu jalur ditelentangkan dan
sekaligus
nyala api dikurangi selama 3
jam.
Setelah jalur mulai dingin, tukang
naik
ke atas jalur untuk memasang
panggar
yang terbuat dari kayu keras
dan
berkualitas bagus. Pemasangan
panggar
ini memakan waktu 2 jam atau
lebih.
Setelah pemasangan panggar
selesai,
jalur segera diturunkan dari
rampaian
dan diletakkan di tanah yang
bersih
dan tidak basah atau dengan
istilah
ke tikar kering. Selanjutnya ularular atau tempat duduk anak pacu dari batang pinang yang
dibelah-belah selebar
10 cm segera dipasang.
17.
Menghias Jalur
Proses
terakhir yang dilakukan pada
jalur
adalah menghias jalur agar terlihat
indah.
Sebagai hasil karya seni, jalur
dilengkapi
dengan hiasan, terutama pada
bagain selembayung jalur. Selain
berfungsi
sebagai tempat berpegang
tukang
enjei (menggoyang jalur),
selembayung
merupakan satu kesatuan bentuk
sebuah jalur yang tidak dapat
dipisahkan.
Oleh karena itu, selembayung
harus diberi hiasan yang
berukiran
untuk memberikan keindahan
pada jalur. Motif-motif ukiran
yang dibuat pada selembayung
biasanya
ada hubungannya dengan nama
jalur itu. Misalnya, jika sebuah
jalur
bernama naga sakti, maka motif
ukiran
pada selembayungnya bermotif
naga
sakti. Terakhir tak lupa memberi
nama
jalur berdasarkan kesepakatan
desa. Pada perkembangan
selanjutnya jalur mulai
berkembang, motif-motif ukiran
yang
banyak digunakan di antaranya motif
bunga,
daun, dan binatang. Misalnya, motif kaluok paku (tumbuhan
pakis), daun keladi (talas),
ular naga, burung layang, dan
sebagainya.
Sebagaimana
uraian di atas bahwa mulai
dari rencana suatu desa atau
kampung
membuat jalur atau perahu dan
melalui
proses yang panjang hingga jalur
diikutkan
berlomba setiap tahunnya di
sungai
batang kuantan, maka jalannya
prosesi
tersebut sangat sarat dengan nilai-nilai magis atau perdukunan.
Hingga saat ini sebagian besar masyarakat Kuansing meyakini kemenangan
yang diperoleh oleh jalur
tertentu tergantung kuat tidaknya
peran
dukun atau pawang jalur tersebut.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pacu
jalur ini diadakan setiap tahun dalam rangka memperingati hari Ulang Tahun
Kemerdekaan Republik Indonesia yang
biasanya dilaksanakan pada bulan Agustus setiap tahunnya. Tradisi pacu jalur tidak hanya masuk dalam agenda wisata budaya
Provinsi Riau tapi sudah masuk dalam agenda wisata budaya Nasional. Pacu jalur
memiliki makna budaya yang terkandung di dalamnya, yaitu keuletan, kerjasama,
kerja keras, ketangkasan, dan sportifitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Berger,
Arhur Asa. (2005). Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, suatu
Pengantar Semiotika. Jogjakarta: Kreasi Wacana.
I
Wayan Ardika (ed). (2003) "Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Refleksi dan Harapan
di Tengah Perkembangan Global". Denpasar: Program Studi Magister (S2)
Kajian Pariwisata Univ. Udayana.
Suwardi.
(1985). Pacu Jalur dan Upacara Pelengkapnya. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan
Depdikbud. Suwardi Endraswa. (t.th). Metodologi Penelitian Kebudayaan.
Jogjakarta:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar