Senin, 05 Desember 2016

MAKALAH PROSES PEMBUATAN JALUR TRADISI MASYARAKAT KAB. KUANSING



KATA  PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-Nya Makalah sosiologi pertanian dengan judul “ Proses Pembuatan Jalur “ ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih kurang sempurna  oleh karena itu saran dan kritik yang sifatnya membangun dari semua pihak sangat diharapkan.
Akhirnya melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dosen Pembimbing serta semua pihak yang telah membantu hingga makalah ini dapat terselesaikan. Penulis mengharapkan semoga makalah ini berguna bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.





                                                                    Teluk Kuantan,      Desember 2015

                                                                                                      
                                                                                                         Penyusun



DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................        i
DAFTAR ISI.........................................................................................................        ii     
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................        1
1.1  Latar Belakang..........................................................................................        2
1.2  Rumusan Masalah.....................................................................................        2
1.3  Tujuan.......................................................................................................        2
1.4  Manfaat Penelitian....................................................................................        2
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................        3
2.1    Pengertian dan sejarah Jalur.....................................................................        3
2.2    Praktek Magis pada Tradisi Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi        4
BAB IV PENUTUP...............................................................................................        12
4.1 Kesimpulan................................................................................................        12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................        13


BAB I
PENDAHULUAN

1.
1  Latar Belakang
Kuantan Singingi adalah salah satu Kabupaten di Propinsi Riau. Kuantan Singingi di kenal sebagai suatu kabupaten yang mempunyai Budaya dan tradisi yang unik. Salah satu  budaya yang cukup terkenal adalah Pacu Jalur. Budaya pacu jalur ini sudah dikenal  lebih dari satu abad silam yaitu berawal pada tahun 1903. Pada awal nya pacu jalur ini digunakan sebagai ajang dalam memperingati hari-hari besar islam seperti isra’mi’rad Nabi Muhammad SAW, hari raya Idul Fitri dan sebagainya. Dengan perkembangan zaman maka pada saat ini pacu jalur di laksanakan setahun sekali.
Kuantan Singingi mempunyai wilayah yang luas dan pacu jalur ini tersebar sampai kepelosok negeri, maka akan terdapat pula kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dalam pelaksanaan nya di setiap daerah. Maka untuk lebih spesifiknya makalah ini akan membahas secara rinci Proses Penurunan Jalur yang ada di Teluk Kuantan yaitu tepatnya di desa pulau Kedundung. Proses penurunan jalur yang ada di pulau Kedundung memang akan berbeda dengan proses penurunan jalur yang ada di desa lain nya.
Hal ini di pengaruhi oleh berbedanya keyakinan masyarakat dan sang pawang yang mengurus jalur tersebut. Sang pawang adalah seseorang yang memiliki ilmu berkekuatan tinggi dalam hal gaib maupun dalam hal yang biasa, yang di tunjuk untuk mengasuh jalur atau menjadi juru kunci pada jalur. Walaupun proses penurunan jalur ini selalu memiliki sifat mistis tetapi sifat ini lah yang menjadi ciri khasnya dan harus kita ambil makna positif yang terkandung dalam pelaksanaannya.




1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dan Sejarah Jalur
2.  Apa Saja Praktek Magis Pada Jalur

1.3
Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan dari penelitian ini adalah ingin mendapatkan data secara empiris tentang Proses penurunan jalur dari awal sampai akhir  dimulai dari rangkaian ritual yang harus dikuti, apa maksud dari ritual yang dilakukan. Mantra seperti apa yang digunakan, seperti apa contoh mantra tersebut. Dan setelah semua ritual dan mantra selesai kita dapat mengetahui bagaimana proses penarikan jalur ke sungai kuantan.

1.4  Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah kita dapat mengetahui secara empiris tentang proses penurunan jalur beserta rangkaian ritual dan mantra yang digunakan dan juga dapat mengetahui proses penarikan jalur ke sungai kuantan











BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Pengertian Dan Sejarah Jalur
Kabupaten Kuansing adalah salah satu daerah kabupaten yang secara administrative termasuk dalam Provinsi Riau. Daerahnya banyak memiliki sungai. Kondisi geografis yang demikian, membuat sebagian besar masyarakatnya memerlukan jalur sebagai alat transportasi Kemudian, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, dan harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya. Selain itu, ditambah lagi dengan  perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang), serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).
Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan  fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk - datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Perkembangan selanjutnya (kurang lebih 100 tahun kemudian), jalur tidak hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan simbol status sosial seseorang, tetapi diadu kecepatannya melalui sebuah lomba. Dan, lomba itu oleh masyarakat setempat disebut sebagai “Pacu Jajur ” Budaya pacu jalur di Kabupaten Kuantan Singingi adalah suatu tradisi budaya yang telah berlangsung dari zaman penjajahan hingga sekarang.
Pacu jalur ini diadakan setiap tahun dalam rangka memperingati hari Ulang Tahun Kemerdekaan  Republik Indonesia yang biasanya dilaksanakan pada bulan Agustus setiap tahunnya.  Tradisi pacu jalur  tidak hanya masuk dalam agenda wisata budaya Provinsi Riau tapi sudah masuk dalam agenda wisata budaya Nasional. Pacu jalur memiliki makna budaya yang terkandung di dalamnya, yaitu keuletan, kerjasama, kerja keras, ketangkasan, dan sportifitas.
Budaya khasanah dari Kuantan Singingi ini tidak hilang begitu saja oleh  waktu dan dapat dipertahanakan dari generasi ke generasi. Kegiatan pacu jalur telah menjadi wisata bagi masyarakat Kuantan Singingi yang ingin melihat jalur yang bertanding, bahkan tidak hanya masyarakat Kuantan Singingi saja tetapi para wisatawan luar negeri, seperti Singapura dan Malaysia, banyak juga berdatangan untuk melihat pacu jalur. Bagi masyarakat Kuantan Singingi, perhelatan pacu jalur merupakan suatu yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya.
Namun, dibalik itu semua tanpa disadari tradisi Pacu Jalur sarat dengan praktik-praktik magis atau apa yang disebut dengan perdukunan. Praktik perdukunan dan peramalan yang saat ini masih dipercayai sebagian besar masyarakat Kuansing dalam berbagai kegiatan ritual.
Praktik magis ini sudah muncul pada awal proses perencanaan dan proses pembuatan jalur sampai kepada jalur tersebut ikut bertanding di arena sungai Batang Kuantan setiap tahunnya. Pada awal-awal tradisi ini berlangsung di Kabupaten Kuantan Singingi jika satu Jalur itu mendapat Juara I, II, dan III, maka sudah menjadi rahasia umum masyarakat akan berkata “Dukunnya Terlalu Kuat”. Dengan berjalannya waktu tentu saja hal ini juga dipengaruhi oleh perkembangan zaman itu sendiri. Di samping sebagian masyarakat sadar bahwa kemenangan yang diraih berkat kerjasama, tenaga yang kuat serta kesungguhan dari Anak Pacu serta kehendak dari yang Maha Kuasa. Namun demikian yang namanya tradisi yang sudah mengurat mengakar pada masyarakat akan sulit dihilangkan. Inilah yang bahasan dalam tulisan ini.

2.2  Praktek Magis pada Tradisi Pacu Jalur di Kabupaten Kuantan Singingi
Pacu Jalur merupakan kebanggaan masyarakat Kuansing yang pelaksanaannya ditunggu setiap tahunnya. Tradisi Pacu Jalur ini secara kasat mata hanya merupakan tontonan semata,  namun di balik itu semua diyakini bahwa masih berlangsungnya praktik magis atau Perdukunan. Praktik magis atau Perdukunan tersebut berlangsung mulai dari awal perencanaan suatu  Desa atau Kampung yang ingin membuat Jalur. Dalam setiap tahapan-tahapan pembuatan jalur tersebut peran seorang Dukun atau Pawang sangat penting demi terlaksananya pembuatan jalur tersebut. Bahkan tak jarang masyarakat meyakini bahwa jika Dukun dari jalur tersebut terkenal, kuat, hebat atau diyakini Jalur tersebut akan memperoleh kemenangan ,dalam lomba Pacu Jalur.
Sebagai catatan bahwa ukuran dan kapasitas Jalur serta jumlah Anak Pacunya dalam lomba ini tidak dipersoalkan. Karena mitos bahwa kemenangan ditentukan dari  kekuatan magis yang ada pada kayu (yang dijadikan jalur) serta kesaktian Dukun atau Pawang dalam mengendalikan perahu atau jalur. Sebelum menjadi sebuah jalur yang utuh dan dapat  didayung serta dilombakan di Sungai Kuantan, terdapat serangkaian prosesi adat istiadat dalam pembuatan sebuah jalur. Pembuatan jalur akan dilakukan oleh masing-masing desa atau dusun atau kampung.
Prosesi adat istiadat ini tidak ditetapkan waktu dan tanggalnya, karena tiap desa atau dusun atau kampong memiliki rencana yang berbeda-beda dalam proses pembuatannya. Proses pembuatan jalur harus dilakukan secara berurutan. Berikut adalah tahapan-tahapan pembuatan jalur hingga jalur diturunkan ke Batang Kuantan untuk mengikuti lomba pacu jalur:
1.     Rapek Banjar (Rapat Desa)
Rapat ini bertujuan untuk membentuk panitia pembuatan jalur. Pengurus itu dinamakan Pak Tuo atau Tetua Kampung. Dalam rapat ini juga ditentukan tempat pencarian kayu jalur. Seluruh rancangan kegiatannya dimusyawarahkan bersama dalam rapat desa atau banjar atau kampung sehingga proses selanjutnya dapat dilakukan secara terinci atau teratur. Dalam menentukan rimba atau hutan mana yang akan ditunjuk untuk lokasi pencarian kayu tersebut, maka dalam hal ini dimintalah seorang dukun untuk memberi petunjuk tentang lokasi kayu tersebut.
2.     Mencari Kayu Jalur
Ada begitu banyak proses yang harus dilalui, jika sudah mendapatkan pohon yang cocok untuk dijadikan jalur, maka harus dilakukan tradisi persembahan untuk meminta izin sebelum dilakukan penebangan pohon. Pemilihan pohon yang dijadikan jalur juga tidak sembarangan, karena kayu yang digunakan akan sangat mempengaruhi hasil lomba nantinya.
Sewaktu kayu besar akan diambil untuk keperluan jalur dengan membawa orang pintar, sebagai penghormatan pada pohon yang akan ditebang tersebut. Dengan mantera yang dibaca yang intinya meminta pada Allah SWT, agar tanaman ini akan tumbuh lagi penggantinya, dan dimohonkan keselamatan dikemudian hari bagi anak cucunya. Berikut  materanya: “Oo..penguaso rimbo.. nen tinggal di sakek antuang, nen iduik di solo-solo tanah, nen iduik di tanah-tanah maninggi, kami nak mambuek jaluar, bori izin kami untuak menobang kayu iko, jangan bori kami penyakik poniang, paliharo la kami go, barokat kulimah Laillah haillallah”
Masyarakatpun meyakini kalau pohon yang sudah ditebang kemudian dijadikan jalur  akan tetap hidup secara gaib. Jenis kayu yang digunakan untuk membuat jalur bukanlah kayu yang sembarangan, melainkan kayu yang memiliki nilai spiritual tinggi atau dalam istilah masyarakat tempatnya harus mempunyai mambang (sejenis makhluk halus). Oleh karena itu, sebelum mencari kayu ke hutan, sang dukun terlebih dahulu melakukan upacara khusus di rumah kepala desa. Ada dua upacara yang dilakukan dukun tersebut yakni, Pertama, Babalian yaitu suatu upacara tari-tarian yang dilakukan oleh sang dukun dengan iringan musik rebab (sejenis alat gesek). Kedua, Batonung yaitu suatu upacara yang khusus dilakukan oleh dukun untuk mencari kayu dengan cara menggunakan kekuatan magis dan mantra-mantra.
Dengan cara tersebut, seorang dukun dapat menemukan tempat atau lokasi hutan yang cocok untuk mencari kayu yang diinginkan. Dukun juga dapat mengetahui ciri-ciri atau situasi tempat atau lokasi hutan yang akan dituju sehingga mudah untuk menemukannya pada saat pencarian kayu berlangsung.
3.     Manobang Kayu.
Setelah ditemukan kayu yang berdiameter 45 meter lingkaran batang pohonnya dengan panjang berkisar antara 25-30 meter yang akan didayung nantinya oleh 50-60 anak pacu yang tentukan oleh Pak Tuo atau Dukun kayu, maka selanjutnya akan dilakukan penebangan kayu tersebut. Manobang (menebang) kayu diawali dengan upacara menyemah yaitu semah (sesajen) kepada mambang yang diyakini menunggu kayu tersebut.
Upacara ini dimaksudkan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan seperti menimbulkan bencana bagi tukang dan orang-orang yang menyaksikan acara penebangan kayu tersebut. Upacara dipimpin oleh seorang dukun dengan beberapa rangkaian kegiatan seperti penyembelihan ayam hitam jamui (putih suci), pembakaran kemenyan, tepung tawar, dan sebagainya. Selanjutnya malembe, yakni membaca doa atau mantra supaya pekerjaan itu berjalan lancar. Setelah dukun membaca mantra-mantra, para tukang mulai menebang dengan mengayunkan beliung sebanyak tiga kali.
Catukan (kepingan kayu) juga disebut sarok baantu yang jatuh dari tebasan pertama diambil dan disimpan oleh dukun untuk dijadikan pedoman dalam melakukan proses selanjutnya dan akan dipergunakan sebagai obat jika ada di antara pekerja pembuat jalur sakit. Menurut keyakinan masyarakat, melalui sarok ba-antu tersebut dukun bisa mengetahui perkembangan jalur yang akan dibuat. Setelah kayu mulai rebah, dukun segera melemparkan telur ayam ke pohon kayu untuk memberikan makanan kepada mambang atau penunggu kayu.
Menurut keyakinan dukun, mambang tersebut akan terus mengikuti kayu itu ke mana kayu dibawa. Oleh karena itu, upacara menyemah ini menjadi titik tolak dari kerjasama antara dukun dengan mambang dengan maksud meminta pertolongan hingga pembuatan jalur selesai, bahkan hingga jalur digunakan. Setelah kayu ditebang dan dibersihkan, barulah pekerjaan membuat jalur dimulai dengan dipimpin oleh Tukang Tuo, dibantu oleh Tukang Pangapik sebanyak dua atau tiga orang serta masyarakat lainnya yang mau membantu dan pandai bertukang.
4.     Mengabung.
Mengabung berarti memotong kayu pada bagian ujung. Setelah kayu rebah, para tukang segera memperkirakan ukuran panjang kayu yang dibutuhkan untuk sebuah jalur. Selain pekerjaan mengabung, pada proses ini juga dilakukan kegiatan membersihkan keseluruhan kayu yang akan dibentuk  dan membersihkan kayu-kayu yang ada di sekitarnya agar pekerjaan tersebut dapat dilaksanakan dengan lancar.
5.     Melepas Benang
Melepas benang berarti melakukan kegiatan pengukuran dengan menggunakan benang. Dengan benang ini, para tukang dapat memperkirakan perbandingan ukuran pada tiap-tiap bagian jalur yang akan dibuat. Setiap tukang mempunyai bagian masingmasing. Proses pengukuran ini dipimpin oleh kepala tukang sehingga pekerjaan dapat berjalan menutut ukuran yang telah ditentukan.
6.     Pendadaan.
Pendadaan berasal dari kata dada. Jadi pendadaan dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan membuat bagian dada jalur. Bagian kayu yang biasa dibuat dada jalur adalah bagian atasnya. Proses pendadaan dilakukan dengan cara meratakan bagian atas kayu yang memanjang mulai dari bagian pangkal sampai ke bagian ujung. Meskipun dikerjakan secara bersama-sama oleh seluruh tukang, proses pendadaan ini membutuhkan waktu tiga hari. Oleh karena itu, para pekerja dibekaliberbagai macam minuman dan makanan, baik makanan berat maupun makanan ringan yang disediakan oleh swadaya masyarakat. Selama bekerja sebagai tempat bagi para tukang dibuatlah pondok atau dangau yang terbuat dari kayu hutan dan dedaunan sebagai atap pondok tersebut.
7.     Mencaruk.
Mencaruk berarti mengeruk bagian kayu yang telah diratakan. Pekerjaan ini dimaksudkan untuk melubangi kayu secara seimbang dengan ketebalan yang sama di masing-masing bagiannya. Kegiatan mencaruk memerlukan ketelitian dan waktu yang cukup lama yaitu 3-7 hari. Oleh karena itu, pekerjaan ini biasanya dilakukan oleh tukang secara bersama-sama dengan menggunakan beliung khusus.
8.     Menggiling.
Menggiling di sini adalah melicinkan bagian luar atau pinggir bakal jalur. Tujuannya adalah untuk membentuk bakal jalur menjadi ramping seperti perahu. Oleh karena itu, pekerjaan ini harus dilakukan dengan ekstra hati-hati dan pelan-pelan.
9.     Manggaliak (Menelungkupkan).
Pada proses ini diartikan menelungkupkan jalur. Pekerjaan ini tergolong berat dan membutuhkan tenaga yang banyak. Oleh karena itu, para tukang meminta bantuan kepada penduduk desa. Atau dilakukan secara gotong royong dengan masyarakat. Kegiatan ini biasanya dilakukan pada hari libur agar semua masyarakat bisa berpartisipasi. Kaum laki-laki biasanya membantu manggaliak sedangkan kaum ibu sibuk menyiapkan makanan.Pada proses ini tukang tidak hanya menelungkupkan jalur, tetapi juga melepas tali kedua, yaitu mengukurdan meluruskan bentuk jalur.
10.  Membuat Perut.
Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah jalur ditelungkupkan. Pekerjaan ini tergolong rumit dan memerlukan keahlian khusus karena perut jalur harus dibentuk melengkung dari bagian haluan sampai ke kemudi dengan seimbang. Demikian juga kedua sisi atau pinggir jalur harus dibuat secara seimbang. Selain itu, seorang tukang juga harus dapat memperkirakan ukuran tebal pingging jalur secara keseluruhan.
11.  Membaut Lubang Kakok.
Proses ini adalah lubang yang dibuat pada jalur dengan menggunakan alat bor. Lubang ini berfungsi sebagai alat kontrol bagi tukang agar tidak meleset pada saat mengukur ketebalan perut jalur. Selain itu lubang kakok juga berfungsi untuk mencegah pecahnya jalur pada saat dipanaskan atau diasap atau dilayur. Lubang-lubang ini dibuat pada bagian perut jalur secara memanjang dengan jarak 50 cm dan secara melintang dengan jarak 15 cm. Lubang-lubang kakok tersebut nantinya akan ditutup kembali dengan kayu keras yang ukurannya pas dengan lubang tersebut. Kayu penutup itulah yang disebut dengan istilah kakok.



12.  Manggaliak (Menelentangkan)
Pada proses ini lebih ringan. Di mana kerja tukang sudah agak lebih ringan dan tidak lagi meminta pertolongan pada penduduk desa karena bentuk bakal jalur sudah agak ramping dan ringan.
13.  Menggantung (membuat) Timbuku.
Timbuku adalah bendulan-bendulan yang berfungsi sebagai landasan panggar atau tempat duduk. Timbuku dibuat sejajar di antara kedua sisi perut jalur secara membujur dengan jarak masing-masing Timbuku sekitar 60 cm. Pada proses ini para tukang juga sekaligus membersihkan atau menghaluskan perut jalur secara merata dan seimbang.
14.  Membentuk Haluan dan Kemudi.
Pada proses ini bagian yang akan dibuat jalur diukur dengan tepat. Ukuran haluan ini berkisar antara 1-1.5 meter. Setelah itu kemudi dibentuk dengan ukuran kira-kira 2 meter.
15.  Maelo atau Menarik Jalur.
Dalam proses maelo tersebut dilakukan dengan aba-aba. Alat yang digunakan adalah tali pengikat dari rotan yang kuat dan panjang. Tali tersebut diikatkan pada telinga jalur di bagian depan untuk ditarik oleh orang banyak. Selain ada ikatan di depan, ada juga ikatan tali di belakang untuk pengontrol agar jalur yang dielo bisa lurus. Menghaluskan.
Setelah jalur sampai di desa, jalur kemudian dihaluskan. Demikian pula bentuk keindahan pada jalur juga mulai diperhatikan secara teliti.
16.  Malayui Parahu Pacu (Melayur)
Malayui Perahu Pacu adalah istilah yang digunakan pada pekerjaan melayur atau mengasapi jalur. Setelah dianggap cukup pekerjaan membuat dasar jalur, maka pada proses selanjutnya adalah melayur jalur yakni proses pembakaran atau pengasapan jalur. Proses ini dimulai dari menaikkan jalur ke atas rampaian (tempat pengasapan) setinggi 1.20 meter.
Setelah berada di atas rampaian dalam posisi tertelungkup, jalur kemudian diasap dengan membakar kayu di bawahnya. Proses pengasapan ini berlangsung  lebih kurang 5 jam, yang dimulai dari pukul 08.00 WIB pagi. Setelah itu jalur ditelentangkan dan sekaligus nyala api dikurangi selama 3 jam. Setelah jalur mulai dingin, tukang naik ke atas jalur untuk memasang panggar yang terbuat dari kayu keras dan berkualitas bagus. Pemasangan panggar ini memakan waktu 2 jam atau lebih. Setelah pemasangan panggar selesai, jalur segera diturunkan dari rampaian dan diletakkan di tanah yang bersih dan tidak basah atau dengan istilah ke tikar kering. Selanjutnya ularular atau tempat duduk anak pacu dari batang pinang yang dibelah-belah selebar 10 cm segera dipasang.
17.  Menghias Jalur
Proses terakhir yang dilakukan pada jalur adalah menghias jalur agar terlihat indah. Sebagai hasil karya seni, jalur dilengkapi dengan hiasan, terutama pada bagain selembayung jalur. Selain berfungsi sebagai tempat berpegang tukang enjei (menggoyang jalur), selembayung merupakan satu kesatuan bentuk sebuah jalur yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena itu, selembayung harus diberi hiasan yang berukiran untuk memberikan keindahan pada jalur. Motif-motif ukiran yang dibuat pada selembayung biasanya ada hubungannya dengan nama jalur itu. Misalnya, jika sebuah jalur bernama naga sakti, maka motif ukiran pada selembayungnya bermotif naga sakti. Terakhir tak lupa memberi nama jalur berdasarkan kesepakatan desa. Pada perkembangan selanjutnya jalur mulai berkembang, motif-motif ukiran yang banyak digunakan di antaranya motif bunga, daun, dan binatang. Misalnya, motif  kaluok paku (tumbuhan pakis), daun keladi (talas), ular naga, burung layang, dan sebagainya.

Sebagaimana uraian di atas bahwa mulai dari rencana suatu desa atau kampung membuat jalur atau perahu dan melalui proses yang panjang hingga jalur diikutkan berlomba setiap tahunnya di sungai batang kuantan, maka jalannya prosesi tersebut sangat sarat dengan nilai-nilai magis atau perdukunan. Hingga saat ini sebagian besar masyarakat Kuansing meyakini kemenangan yang diperoleh oleh jalur tertentu tergantung kuat tidaknya peran dukun atau pawang jalur tersebut.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pacu jalur ini diadakan setiap tahun dalam rangka memperingati hari Ulang Tahun Kemerdekaan  Republik Indonesia yang biasanya dilaksanakan pada bulan Agustus setiap tahunnya.  Tradisi pacu jalur  tidak hanya masuk dalam agenda wisata budaya Provinsi Riau tapi sudah masuk dalam agenda wisata budaya Nasional. Pacu jalur memiliki makna budaya yang terkandung di dalamnya, yaitu keuletan, kerjasama, kerja keras, ketangkasan, dan sportifitas.















DAFTAR PUSTAKA


Berger, Arhur Asa. (2005). Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer, suatu Pengantar Semiotika. Jogjakarta: Kreasi Wacana.
I Wayan Ardika (ed). (2003) "Pariwisata Budaya Berkelanjutan: Refleksi dan Harapan di Tengah Perkembangan Global". Denpasar: Program Studi Magister (S2) Kajian Pariwisata Univ. Udayana.
Suwardi. (1985). Pacu Jalur dan Upacara Pelengkapnya. Jakarta: Proyek Media Kebudayaan Depdikbud. Suwardi Endraswa. (t.th). Metodologi Penelitian Kebudayaan. Jogjakarta:

           





Tidak ada komentar:

Posting Komentar