Senin, 05 Desember 2016

MAKALAH DOA PADANG DALAM TRADISI MASYARAKAT KE. GUNUNG TOAR KAB. KUANTAN SINGINGI



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “ Doa padang Dalam Tradisi Adat Masyarakat Kecamatan Gunung Toar “. Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
           




                                                                      Taluk Kuantan,   Januari 2016



Penyusun

DAFTAR ISI


Kata Pengantar............................................................................................................. i
Daftar Isi...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A.  Latar Belakang.................................................................................................. 1
B.  Rumusan Masalah............................................................................................. 2
C.  Tujuan................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
A.  Menjelang Turun Kesawah............................................................................... 3
B.  Masa Padi Berbuah............................................................................................ 5
C.  Setelah Masa Menuai........................................................................................ 5
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 8
A.  Kesimpulan....................................................................................................... 8











BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Mata pencaharian utama mayoritas penduduk di Kecamatan Gunung Toar adalah di sektor pertanian. Penduduk yang bekerja di sektor pertanian yang meliputi pertanian tanaman, perkebunan, peternakan. Tingginya prosentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian menunjukkan bahwa peluang kerja di sektor lain belum cukup berkembang.
Kecamatan Gunung Toar memiliki lahan sawah ratusan hektar dan lahan kering yang dapat digunakan untuk kegiatan pertanian pun tidak sedikit. Mengingat begitu banyak harapan yang bertumpu pada sektor pertanian maka besar pula apresiasi masyarakat terhadap keberadaannya. Pertanian bukan jenis mata pencaharian baru, sektor ini telah digeluti sejak zaman nenek moyang di seluruh belahan bumi. Karena bidang ini berhubungan langsung dengan kelangsungan hidup manusia. Sehingga sebagai wujud penghargaan, penghormatan akan alam yang menjadi media serta pengharapan, maka dalam pelaksanaannya manusia membudayakan serangkaian upacara yang telah menjadi tradisi di suatu daerah dan dilaksanakan secara turun-temurun.
Salah satu apresiasi masyarakat ini diwujudkan dalam berbagai upacara tradisional berupa ritual adat yang berbeda caranya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Upacara tersebut ada yang berkaitan dengan kepercayaan, agama, daur hidup dan ada pula yang berkaitan dengan sosial masyarakat.
Dilihat dari etimologi, upacara itu sendiri merupakan perayaan atau kegiatan selebrasi karena alasan-alasan tertentu. Kemudian upacara tersebut dilaksanakan dalam lingkup adat istiadat secara berkelanjutan dan sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku. Yang dimaksud adat istiadat adalah aturan tentang beberapa segi aturan tentang beberapa aspek kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu daerah tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib tingkah laku anggota masyarakatnya.
Salah satu upacara adat yang masih dilaksanakan dan terus dilestarikan khususnya di Gunung Toar adalah Upacara Turun ke Sawah atau dalam bahasa Gunung Toar sering disebut Doa Padang.
Upacara ini merupakan suatu tradisi adat tahunan dalam pengerjaan sawah yang dilaksanakan di areal persawahan oleh kaum petani, perangkat adat dan masyarakat terutama petani yang mempunyai lahan persawahan untuk memberkati sawahnya.
Doa Padang dilakukan dalam tiga tahapan yaitu menjelang turun ke sawah, ketika padi berbuah dan sesudah masa menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan maksud dan tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kekiniannya.

B.    Rumusan Masalah
1.     Apa yang dilakukan masyarakat gunung toar menjelang turun ke sawah?
2.     Apa yang dilakukan masyarakat gunung toar  saatmasa padi berbuah?
3.     Apa yang dilakukan masyarakat gunung toar sesudah masa menuai?

C.   Tujuan
1.     Mengetahui apa yang dilakukan masyarakat gunung toar menjelang turun ke sawah.
2.     Mengetahui apa yang dilakukan masyarakat gunung toar  saatmasa padi berbuah.
3.     Mengetahui apa yang dilakukan masyarakat gunung toar sesudah masa menuai.








BAB II
PEMBAHASAN

A.   Menjelang Turun ke Sawah
Sebelum masa penanaman benih dimulai, dikenal satu tradisi yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke dalam alur pengairan dipimpin oleh seorang pemangku adat dengan melibatkan para petani yang memiliki areal persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan secara masal.
Dalam upacara ini dilaksanakan ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing pada babah Lhueng atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi.  Menurut para petani, berkah dan doa yang diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya akan tumbuh subur akan mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada.
Seperti yang kita temui saat ini, pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian pada umumnya, seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya, semuanya diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-masing.
Sedangkan pada awal, sebelum masa tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk pengolahan media tanah. Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di dalam tanah. Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga memiliki fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat juga menyuburkan sawah. Dapat diperhatikan, saat ini kaum ibu yag suka menanam bunga di halaman rumah sering menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung darah, air tersebut dipercaya dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka akan lebih hijau dan cepat berbunga.
Demikian pula dengan darah kerbau yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu menyuburkan tanah yang sebentar lagi akan ditanami padi.
Para petani sering dikarakteristikkan sebagai masyarakat gotong royong.
Bersama-sama menyediakan hewan penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk pauk lainnya untuk melengkapi Khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih luas seperti lapangan di dekat areal persawahan atau lahan persawahan itu sendiri yang berada di tengah sebelum penanaman.
Biasanya di daerah-daerah tertentu memang ada satu lahan yang dibiarkan untuk tempat penyelenggaraan Khanduri setiap tahunnya. Di lahan itu di tanam pepohonan yang rindang yang kemudian dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi petani.  Tidak itu saja, lahan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan padi yang telah dipanen sebelum digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat membantu mengangin-anginkan, membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa pulang.
Kerbau yang telah disembelih dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat atau petani yang ada di persukuan tersebut. Darah kerbau diberikan ke tanah sawah, dan kepala kerbau di serahkan ke pemangku adat.  Setelah darah kerbau diserahkan kepada tanah sawah kemudian niniak mamak akan menyampaikan larangan/pantangan yang isinya sebagai berikut :
1.     Kok Karimbo, kayu indak buliah ditobang, rotan ndak bulish dirangguikan, manau ndak buliah dipancuang.
2.     Kok Ka Batang Kuantan, aiu ndak buliah dikoruah, batu ndak buliah dibaliak, tobiang ndak buliah diruntuah, ikan ndak buliah dicakau.
3.     Kok Ka Rimbo, buah manih, buah masam ndak buliah diambiak, dipanjek mudo, dan lain-lain.
Kok pantang dilampau, kok amad dilansuangkan/dilanggar maka kabawah indak baurek, kaateh indak bapucuak, di tangah-tangah digiriak kumbang, bak karakok tumbuah diateh batu, iduik sagan mati ndak omuah, dimakan sumpah sati.
Setelah pengelolaan sawah mulai dari pembagian air, menggarap, menabu dan batanan sampai pada saat padi di sawah telah disiangi, padi telah mulai terbit (berbuah) dan sawah mulai mulai dikeringkan, maka pantangan dan larangan diakhiri dan diatur dengan tata cara dalam kebijaksanaan hukum sebagai pedoman, kok maampang jaan sampai kasubarang, kok mandindiang jaan sampai ka langik, kok bubuik jan maruntuah tabiang, kok ungkai jan mararak bingkai.

B.    Masa Padi Berbuah
Pada tahap berikutnya, setelah masa tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika batang padi membulat, biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi ritual yang harus dijalankan. Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan bersama-sama. Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki kemudahan / rezeki untuk melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri tetap dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi mereka yang ekonominya lemah dapat melaksanakannya dengan memberi makan seorang yatim untuk sekali waktu.
Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai memberatkan si petani. Karena yang terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat para ulama, bahwa Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan bermanfaat.  Bila dianalisa lebih dalam Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan rezeki yang berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan menggandakan keikhlasannya dan bisa saja imabalan itu diberikan melalui padi yang ditanamnya.

C.   Sesudah Masa Menuai
Tahap kedua usai maka tahap ketiga menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Padi Baru. Upacara ini dilaksanakan sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para petani telah sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai. Upacara tersebut dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk memperoleh berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka selanjutnya ia harus mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dpat dalm masa panen kali ini diberkati oleh Allah SWT, bila hasilnya dijual dan diuangkan maka dapat pula digunakan dengan benar an membawa kebaikan lagi bagi si petani dan keluarganya.
Dalam upacara ini digelar kegiatan doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak yatim dan orang yang kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru dipanen itu sebagai suatu wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini.
Berbagi, kata ini mengandung arti penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan keringatnya selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat dicicipi. Peluhnya seakan terbayar dengan ucapan syukur dari penikmatnya, karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka kata Alhamdulillah mewakili doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir pula harapan semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi.
Tradisi ini memang tidak dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak mengadakan Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu, petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum Meunasah dan Keuchik untuk menentukan waktunya.
Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Baiknya, dengan begitu, saudara, tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang datang tidak bingung kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu makan di satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat. Hal lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap ketiga ini adalah menuanaikan zakat. Bagi hasil panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat, sehingga tamu penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah pengurus zakat di desa yang bertugas menerima zakat. Selesainya penyerahan zakat maka berakhir pula tugas petani untuk satu kali masa panen. Dan rentetan upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani menggarap sawahnya mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterunsnya.
Namun bila setelah ritual dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang tidak benar? Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan kenyataannya, sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan persawahannya. Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah tidak didapat hanya melalui ritual tapi juga jerih payah si petani yang terus berusaha menyuburkan sawah-sawhnya dengan cara-cara yang logis, sementara upacara hanya media yang membantu mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu memperoleh hasil panen yang melimpah.



















BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
Masing-masing upacara tradisional yang termasuk Khanduri sebagaimana telah dijelaskan diatas, diselenggarakan sekali saja dalam setahun. Karena tradisi dibuat berdasarkan budaya lama. Dengan kondisi lahan yang berupa sawah tadah hujan tanpa irigasi teknis yang memadai, petani hanya dapat bertanam sekali dalam setahun yaitu di musim penghujan. Namun tak tertutup kemungkinan bagi mereka yang kini telah memanfaatkan irigasi sebagai sumber pengairan untuk lahannya, tidak dilarang bila ingin menyelenggarakan upacara Doa Padang dan dua upacara lainnya itu dua kali dalam setahun.
Upacara ini dapat melatih masyarakat untuk selalu hidup bergotong royong. Lebih jauh lagi pelaksanaannya mengajarkan betapa pentingnya menghargai alam terlebih yang berhubungan langsung dengan kehidupan manusia.
Selain itu, ritual demi ritualnya kita diingatkan bahwa dalam hidup manusia tidak dapat hidup sendiri namun senantiasa membutuhkan orang lain sehingga dapat dengan ikhlas saling membantu, menghargai dan berbagi dalam kebaikan.
Rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan dalam berusaha dalam mencapai kemapaman hidup memberi peluang besar kepada petani melangkah dalam konteks hablumminallah, hablumminnas.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar