KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “ Doa padang Dalam Tradisi Adat
Masyarakat Kecamatan Gunung Toar “. Pada makalah ini kami banyak mengambil dari
berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab
itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan menyadari sepenuhnya
bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan
kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata
penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
semua pihak yang membaca…
Taluk Kuantan, Januari 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
A.
Latar Belakang.................................................................................................. 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................................. 2
C.
Tujuan................................................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
A.
Menjelang Turun Kesawah............................................................................... 3
B.
Masa
Padi Berbuah............................................................................................ 5
C.
Setelah
Masa Menuai........................................................................................ 5
BAB
III PENUTUP...................................................................................................... 8
A. Kesimpulan....................................................................................................... 8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mata pencaharian utama mayoritas
penduduk di Kecamatan Gunung Toar adalah di sektor pertanian. Penduduk yang
bekerja di sektor pertanian yang meliputi pertanian tanaman, perkebunan,
peternakan. Tingginya prosentase penduduk yang bekerja di sektor pertanian
menunjukkan bahwa peluang kerja di sektor lain belum cukup berkembang.
Kecamatan Gunung Toar memiliki
lahan sawah ratusan hektar dan lahan kering yang dapat digunakan untuk kegiatan
pertanian pun tidak sedikit. Mengingat begitu banyak harapan yang bertumpu pada
sektor pertanian maka besar pula apresiasi masyarakat terhadap keberadaannya.
Pertanian bukan jenis mata pencaharian baru, sektor ini telah digeluti sejak
zaman nenek moyang di seluruh belahan bumi. Karena bidang ini berhubungan
langsung dengan kelangsungan hidup manusia. Sehingga sebagai wujud penghargaan,
penghormatan akan alam yang menjadi media serta pengharapan, maka dalam
pelaksanaannya manusia membudayakan serangkaian upacara yang telah menjadi
tradisi di suatu daerah dan dilaksanakan secara turun-temurun.
Salah satu apresiasi masyarakat ini
diwujudkan dalam berbagai upacara tradisional berupa ritual adat yang berbeda
caranya antara satu daerah dengan daerah lainnya. Upacara tersebut ada yang
berkaitan dengan kepercayaan, agama, daur hidup dan ada pula yang berkaitan
dengan sosial masyarakat.
Dilihat dari etimologi, upacara itu
sendiri merupakan perayaan atau kegiatan selebrasi karena alasan-alasan
tertentu. Kemudian upacara tersebut dilaksanakan dalam lingkup adat istiadat
secara berkelanjutan dan sesuai dengan hukum dan aturan yang berlaku. Yang
dimaksud adat istiadat adalah aturan tentang beberapa segi aturan tentang
beberapa aspek kehidupan manusia yang tumbuh dari usaha orang dalam suatu
daerah tertentu di Indonesia sebagai kelompok sosial untuk mengatur tata tertib
tingkah laku anggota masyarakatnya.
Salah satu upacara adat yang masih
dilaksanakan dan terus dilestarikan khususnya di Gunung Toar adalah Upacara
Turun ke Sawah atau dalam bahasa Gunung Toar sering disebut Doa Padang.
Upacara ini merupakan suatu tradisi
adat tahunan dalam pengerjaan sawah yang dilaksanakan di areal persawahan oleh
kaum petani, perangkat adat dan masyarakat terutama petani yang mempunyai lahan
persawahan untuk memberkati sawahnya.
Doa Padang dilakukan dalam tiga
tahapan yaitu menjelang turun ke sawah, ketika padi berbuah dan sesudah masa
menuai. Dalam tiap tahapan, upacara tradisional digelar dengan maksud dan
tujuan berbeda yang saat ini dapat kita tinjau dalam konteks kekiniannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dilakukan masyarakat gunung
toar menjelang turun ke sawah?
2. Apa yang dilakukan masyarakat gunung
toar saatmasa padi berbuah?
3. Apa yang dilakukan masyarakat gunung
toar sesudah masa menuai?
C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dilakukan
masyarakat gunung toar menjelang turun ke sawah.
2. Mengetahui apa yang dilakukan
masyarakat gunung toar saatmasa padi
berbuah.
3. Mengetahui apa yang dilakukan
masyarakat gunung toar sesudah masa menuai.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Menjelang Turun ke Sawah
Sebelum masa penanaman benih
dimulai, dikenal satu tradisi yang dilaksanakan pada saat air dimasukkan ke
dalam alur pengairan dipimpin oleh seorang pemangku adat dengan melibatkan para
petani yang memiliki areal persawahan di daerah tersebut. Upacara ini biasanya diselenggarakan
secara masal.
Dalam upacara ini dilaksanakan
ritual berupa penyembelihan hewan seperti kerbau dan kambing pada babah Lhueng
atau mulut parit pengairan menuju lahan, sehingga darah yang mengalir ke parit
mengalir bersama air ke lahan-lahan persawahan milik petani tadi. Menurut para petani, berkah dan doa yang
diucapkan agar benih padi yang mereka tanam nantinya akan tumbuh subur akan
mengalir melalui media darah ke setiap petak sawah yang ada.
Seperti yang kita temui saat ini,
pupuk-pupuk tanaman yang dianjurkan oleh penyuluh pertanian pada umumnya,
seperti penggunaan pupuk urea dan pupuk berbahan kimia lainnya, semuanya
diberikan pada masa pertumbuhan hingga masa panen dengan hitungan waktu masing-masing.
Sedangkan pada awal, sebelum masa
tanam tidak ada pupuk tertentu yang diberikan untuk pengolahan media tanah.
Saat itulah darah hewan tadi bekerja memperkaya unsur-unsur hara di dalam
tanah. Namun bila dipandang dari sisi lain, darah kerbau atau kambing juga
memiliki fungsi lain pada tahap sebelum penanaman. Darah hewan sebenarnya dapat
juga menyuburkan sawah. Dapat diperhatikan, saat ini kaum ibu yag suka menanam
bunga di halaman rumah sering menyiram bunganya dengan air basuhan ikan yang mengandung
darah, air tersebut dipercaya dapat menyuburkan tanaman sehingga tanaman mereka
akan lebih hijau dan cepat berbunga.
Demikian pula dengan darah kerbau
yang mengalir ke lahan persawahan tentu dapat membantu menyuburkan tanah yang
sebentar lagi akan ditanami padi.
Para petani sering dikarakteristikkan sebagai masyarakat gotong royong.
Para petani sering dikarakteristikkan sebagai masyarakat gotong royong.
Bersama-sama menyediakan hewan
penyembelihan, memasak dan menyediakan lauk pauk lainnya untuk melengkapi
Khanduri di lokasi upacara. Untuk itu dibutuhkan tempat yang lebih luas seperti
lapangan di dekat areal persawahan atau lahan persawahan itu sendiri yang
berada di tengah sebelum penanaman.
Biasanya di daerah-daerah tertentu
memang ada satu lahan yang dibiarkan untuk tempat penyelenggaraan Khanduri
setiap tahunnya. Di lahan itu di tanam pepohonan yang rindang yang kemudian
dapat dijadikan tempat berteduh dan beristirahat bagi petani. Tidak itu saja, lahan itu juga bisa
dimanfaatkan sebagai tempat untuk mengumpulkan padi yang telah dipanen sebelum
digirik. Kemudian disitu pula kaum ibu dapat membantu mengangin-anginkan,
membersihkan dan menyiangi padi, setelah itu baru dibawa pulang.
Kerbau yang telah disembelih
dagingnya akan dibagikan kepada masyarakat atau petani yang ada di persukuan
tersebut. Darah kerbau diberikan ke tanah sawah, dan kepala kerbau di serahkan
ke pemangku adat. Setelah darah kerbau
diserahkan kepada tanah sawah kemudian niniak mamak akan menyampaikan
larangan/pantangan yang isinya sebagai berikut :
1. Kok
Karimbo, kayu indak buliah ditobang, rotan ndak bulish dirangguikan, manau ndak
buliah dipancuang.
2. Kok
Ka Batang Kuantan, aiu ndak buliah dikoruah, batu ndak buliah dibaliak, tobiang
ndak buliah diruntuah, ikan ndak buliah dicakau.
3. Kok
Ka Rimbo, buah manih, buah masam ndak buliah diambiak, dipanjek mudo, dan
lain-lain.
Kok
pantang dilampau, kok amad dilansuangkan/dilanggar maka kabawah indak baurek,
kaateh indak bapucuak, di tangah-tangah digiriak kumbang, bak karakok tumbuah
diateh batu, iduik sagan mati ndak omuah, dimakan sumpah sati.
Setelah
pengelolaan sawah mulai dari pembagian air, menggarap, menabu dan batanan
sampai pada saat padi di sawah telah disiangi, padi telah mulai terbit
(berbuah) dan sawah mulai mulai dikeringkan, maka pantangan dan larangan
diakhiri dan diatur dengan tata cara dalam kebijaksanaan hukum sebagai pedoman,
kok maampang jaan sampai kasubarang, kok mandindiang jaan sampai ka langik, kok
bubuik jan maruntuah tabiang, kok ungkai jan mararak bingkai.
B. Masa Padi Berbuah
Pada tahap berikutnya, setelah masa
tanam tepatnya saat padi telah setengah umur yaitu ketika batang padi membulat,
biji padi mulai berisi atau biasanya disebut masa bunting/dara ada lagi ritual
yang harus dijalankan. Namun pada umumnya tidak lagi diselenggarakan
bersama-sama. Khanduri hanya dilakukan oleh keluarga petani yang memiliki
kemudahan / rezeki untuk melaksanakannya. Tapi biasanya Khanduri tetap
dilakukan walaupun secara sederhana. Bagi mereka yang ekonominya lemah dapat
melaksanakannya dengan memberi makan seorang yatim untuk sekali waktu.
Tidak ada ketentuan seberapa besar Khanduri
dilaksanakan, yang jelas tidak boleh sampai memberatkan si petani. Karena yang
terpenting adalah niat yang tulus. Sebagaimana pendapat para ulama, bahwa
Khanduri boleh dilakukan sejauh tidak berlebihan, memberi kebaikan dan
bermanfaat. Bila dianalisa lebih dalam
Khanduri ini memiliki nilai keagamaan. Bukankah Tuhan menjanjikan rezeki yang
berlipat ganda atas sebuah keikhlasan? Jadi jika hari ini petani dengan ikhlas
membagikan rezekinya, di hari lainnya Tuhan akan membalasnya dengan
menggandakan keikhlasannya dan bisa saja imabalan itu diberikan melalui padi
yang ditanamnya.
C. Sesudah Masa Menuai
Tahap kedua usai maka tahap ketiga
menanti. Upacara terakhir adalah Khanduri Padi Baru. Upacara ini dilaksanakan
sesudah panen atau setelah kegiatan menuai selesai. Saat itu para petani telah
sedikit berleha-leha karena tugas di sawah baru selesai. Upacara tersebut
dilaksanakan oleh masing-masing petani di rumah mereka dengan tujuan untuk
memperoleh berkah. Artinya setelah imbalan atas keikhlasan diperoleh maka
selanjutnya ia harus mengadakan Khanduri lagi agar apa yang ia dpat dalm masa
panen kali ini diberkati oleh Allah SWT, bila hasilnya dijual dan diuangkan
maka dapat pula digunakan dengan benar an membawa kebaikan lagi bagi si petani
dan keluarganya.
Dalam upacara ini digelar kegiatan
doa bersama di rumah, mengundang kerabat dekat, anak yatim dan orang yang
kurang mampu untuk turut mencicipi padi yang baru dipanen itu sebagai suatu
wujud kesyukuran atas rezeki yang telah diberikan Allah SWT kali ini.
Berbagi, kata ini mengandung arti
penting dan sangat dalam bagi masyarakat petani. Lihat saja, betapa senangnya
mereka ketika banyak orang dapat mencicipi hasil panennya, padi yang dengan
keringatnya selama berbulan-bulan dijaga dan diperhatikannya kini dapat
dicicipi. Peluhnya seakan terbayar dengan ucapan syukur dari penikmatnya,
karena setelah tamu yang datang merasa kenyang maka kata Alhamdulillah mewakili
doa paling makbul akan kesyukuran. Dari setiap kata itu mengalir pula harapan
semoga panen di musim tanam yang akan datang hasilnya akan lebih baik lagi.
Tradisi ini memang tidak
dilaksanakan secara serentak, bila ada beberapa orang hendak mengadakan
Khanduri itu maka waktu pelaksanaannya tidak boleh bersamaan. Oleh karena itu,
petani harus memusyawarahkan terlebih dahulu dengan Keujren Blang, Imum
Meunasah dan Keuchik untuk menentukan waktunya.
Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Sebenarnya meskipun setiap petani memulai masa tanam secara bersamaan, masa panen dapat saja berbeda, karena tingkat kesuburan tanah, bibit yang ditanam dan pupuk yang digunakan berdeda. Tapi perbedaan itu tentu saja tidak begitu mencolok.
Baiknya, dengan begitu, saudara,
tetangga dan kerabat yang tinggal di desa yang sama yang datang tidak bingung
kemana harus menghadiri undangan. Khanduri si A atau si B. Satu waktu makan di
satu tempat tentunya lebih berkah daripada satu waktu makan di banyak tempat. Hal
lain yang tak kalah pentingnya dalam upacara tahap ketiga ini adalah menuanaikan
zakat. Bagi hasil panen yang telah sampai hisabnya diwajibkan membayar zakat,
sehingga tamu penting yang seharusnya diundang dalam upacara ini adalah
pengurus zakat di desa yang bertugas menerima zakat. Selesainya penyerahan
zakat maka berakhir pula tugas petani untuk satu kali masa panen. Dan rentetan
upacara ini akan terus diselenggarakan setiap kali petani menggarap sawahnya
mulai masa tanam sampai masa panen, begitu seterunsnya.
Namun bila setelah ritual
dilaksanakan hasil panen memburuk, apakah itu karena ritual yang tidak benar?
Belum tentu, upacara mengandung nilai-nilai yang abstrak. Sedangkan
kenyataannya, sangat bergantung pada ketelatenan petani dalam mengelola lahan
persawahannya. Tawakal bukan berarti menanti tanpa usaha. Panen yang melimpah
tidak didapat hanya melalui ritual tapi juga jerih payah si petani yang terus
berusaha menyuburkan sawah-sawhnya dengan cara-cara yang logis, sementara
upacara hanya media yang membantu mewujudkan impian petani menjadi nyata, yaitu
memperoleh hasil panen yang melimpah.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Masing-masing upacara tradisional
yang termasuk Khanduri sebagaimana telah dijelaskan diatas, diselenggarakan
sekali saja dalam setahun. Karena tradisi dibuat berdasarkan budaya lama.
Dengan kondisi lahan yang berupa sawah tadah hujan tanpa irigasi teknis yang
memadai, petani hanya dapat bertanam sekali dalam setahun yaitu di musim
penghujan. Namun tak tertutup kemungkinan bagi mereka yang kini telah
memanfaatkan irigasi sebagai sumber pengairan untuk lahannya, tidak dilarang
bila ingin menyelenggarakan upacara Doa Padang dan dua upacara lainnya itu dua
kali dalam setahun.
Upacara ini dapat melatih
masyarakat untuk selalu hidup bergotong royong. Lebih jauh lagi pelaksanaannya
mengajarkan betapa pentingnya menghargai alam terlebih yang berhubungan langsung
dengan kehidupan manusia.
Selain itu, ritual demi ritualnya
kita diingatkan bahwa dalam hidup manusia tidak dapat hidup sendiri namun
senantiasa membutuhkan orang lain sehingga dapat dengan ikhlas saling membantu,
menghargai dan berbagi dalam kebaikan.
Rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan dalam berusaha dalam mencapai kemapaman hidup memberi peluang besar kepada petani melangkah dalam konteks hablumminallah, hablumminnas.
Rasa kebersamaan, senasib sepenanggungan dalam berusaha dalam mencapai kemapaman hidup memberi peluang besar kepada petani melangkah dalam konteks hablumminallah, hablumminnas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar