KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Peranan
politik hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia” Pada makalah ini kami
banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai
pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Taluk
Kuantan, Desember 2016
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar................................................................................................... i
Daftar
Isi............................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah.............................................................................. 2
1.3
Tujuan................................................................................................ 2
BAB
II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
2.1
Peranan politik hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia 3
2.2
Hukum Pemilu................................................................................... 3
2.3
Hukum Pemda.................................................................................... 4
2.4
Hukum Agraria.................................................................................. 6
BAB
III PENUTUP............................................................................................. 9
3.1 Kesimpulan........................................................................................ 9
DAFTARPUSTAKA........................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Perlu kita ketahui bahwa pada Masa
Orde Baru adalah merupakan masa-masa yang bersifat memaksakan kehendak serta
bermuatan unsur politis semata, untuk kepentingan Pemerintah pada masa itu. Dan
pada masa Orde Baru itu pulalah, telah terjadinya pembelengguan disegala
sektor, dimulai dari sektor Hukum/undang-undang, perekonomian/Bisnis, Kebebasan
Informasi/Pers dan lain-lain sebagainya.
Dan untuk mengembalikan Citra Bangsa
Indonesia yaitu sebagai Negara Hukum terutama dalam dibidang hukum dan Politik,
untuk meyakinkan bahwa revolusi belum selesai, dan UUD 1945 dijadikan landasan
idiil/Konstitusional, dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret pada
Tahun 1967 serta dibentuknya kabinet baru dengan sebutan Kabinet Pembangunan
yang merupakan sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara
menyeluruh. Dengan Ketetapan MPRS No. XX : menetapkan sumber tertib Hukum
Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik
Indonesia, harus melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yaitu
Pancasila.
Pada pembangunan lima tahun yang
merupakan sebagai Rule of Law pada tahun 1969 merujuk kepada paragraf
Pendahuluan Bab XIII UUD 1945 bahwa Indonesia adalah negara yang berazas atas
hukum dan bukan negara yang berdasarkan atas kekuasaan belaka, dimana Hukum di
fungsikan sebagai sarana untuk merekayasa masyarakat proses pembangunan
melakukan pendekatan baru yang dapat dipakai untuk merelevansi permasalahan hukum
dan fungsi hukum dengan permasalahan makro yang tidak hanya terbatas pada
persoalan normative dan ligitigatif (dengan kombinasi melakukan kodifikasi dan
unifikasi hukum nasional). Yang secara Eksplisit dan resmi dalam naskah
Rancangan Pembangunan Lima Tahun Kedua Tahun 1974, Bab 27 Paragraf IV butir I
Menguraikan : “Hukum dan Rancangan Perundang-undangan”, dengan prioritas untuk
meninjau kembali dan merancang peraturan-peraturan perundang-undangan sesuai
dengan pembangunan sosial-ekonomi (perundangan-undangan disektor
social-ekonomi.
Kontinuitas Perkembangan Hukum Dari
Hukum Kolonial Ke Hukum Kolonial yang dinasionalisasi, adalah pendayagunaan
hukum untuk kepentingan pembangunan Indonesia, adalah dengan hukum yang telah
diakui dan berkembang dikalangan bisnis Internasional (berasal dari hukum dan
praktek bisnis Amirika), Para ahli hukum praktek yang mempelajari hukum eropa
(belanda), dalam hal ini, mochtar berpengalaman luas dalam unsur-unsur hukum
dan bisnis Internasional, telah melakukan pengembangan hukum nasional Indonesia
dengan dasar hukum kolonial yang dikaji ulang berdasarkan Grundnom Pancasila
adalah yang dipandang paling logis.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Peranan politik hukum
dalam perkembangan hukum di Indonesia?
2.
Bagaimana Hukum Pemilu?
3.
Bagaimana Hukum Pemda?
4.
Bagaimana Hukum Agraria?
1.3 tujuan
1.
Mengetahui Peranan politik hukum
dalam perkembangan hukum di Indonesia.
2.
Mengetahui Hukum Pemilu.
3.
Mengetahui Hukum Pemda.
4.
Mengetahui Hukum Agraria.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Peranan
politik hukum dalam perkembangan hukum di Indonesia
Sudah banyak pengertian atau
definisi tentang politik hukum yang diberikan oleh para ahli di dalam berbagai
literature. Dari berbagai pengertian atau definisi itu, dengan mengambil
substansinya yang ternyata sama, bahwa politik hukum adalah “legal policy atau
garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan
pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka
mencapai tujuan Negara.” Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan
tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang
hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan Negara seperti yang tercantum di dalam
Pembukaan UUD 1945.
Secara lebih spesifik perkembangan
karakter produk hukum tentang Pemilu, Pemda, dan Agraria menurut penggalan
waktu (periodisasi) konfigurasi politik tersebut adalah sebagai berikut.
2.2 Hukum Pemilu
Setelah
proklamasi kemerdekaan (selama periode 1945-1959) berbagai eksperimen,
perundang-undangan tentang Pemilu dikeluarkan, tetapi pada era ini terjadi
Pemilu yang benar-benar fair , yaitu
Pemilu untuk anggota DPR dan konstituante pada tahun 1955 dilaksanakan
berdasarkan UU No. 7 Tahun 1953 ini memuat materi sangat rinci (139
pasal)sehingga tidak memberikan space yang
terlalu besar kepada eksekutif untuk menafsirkannya dengan peraturan pelaksana
menurut visi politiknya sendiri. Organisasi penyelenggara Pemilu adalah
independen dan tidak di intervensi oleh kekuatan politik pemerintah.
Pengangkatan anggota DPR maupun konstituante yang tidak berdasar hasil Pemilu
hanya dimungkinkan bila terjadi situasi memaksa tertentu, yaitu adanya daerah
yang berhalangan menyelenggarakan pemungutan suara (sehingga dimungkinkan pengangkatan
untuk sementara), atau karena kuri-kursi DPR dan konstituante tidak terbagi
habis setelah dibagi-bagi menurut perimbangan perolehan suara, atau karena
tidak terpenuhinya jumlah minimal tertentu untuk golongan minoritas China,
Arab, dan Eropa.
Dengan
demikian, produk hukum Pemilu pada era ini dikualifikasi sebagai produk hukum
yang lebih berwatak responsive/populistik. Pada era demokrasi terpimpin
(1959-1966) tidak pernah ada Pemilu maupun UU Pemilu, sesuai dengan konfigurasi
politik yang sangat otoriter. Tetapi lembaga perwakilan rakyat yang ada
mengalami emaskulasi untuk akhirnya
dibubarkan oleh presiden. Logika pembangunan ekonomi pada era Orde Baru
(1966-1998) telah menyebabkan pemerintah mengambil sikap tertentu tentang
Pemilu, yakni Pemilu harus diadakan sesuai dengan tuntutan konstitusi, tetapi
kekuatan pemerintah harus menang. Oleh sebab itu, UU Pemilu, yaitu UU No. 15
Tahun 1969, yang kemudian hampir selalu diperbaharui setiap menjelang Pemilu,
lebih cenderung berwatak konservatif/ortodoks/elitis. Artinya lebih banyak
memberi keuntungan kepada kekuatan politik pemerintah. Di dalam UU tersebut
dianut system pengangkatan secara tetap (untuk jumlah tertentu) yang ditentukan
oleh dan untuk visi politik pemerintah. Organisasi penyelenggara Pemilu dinilai
tidak netral dan peraturan-peraturan pelaksanaannya yang merupakan interpretasi
resmi atas UU Pemilu (electoral laws)
dinilai tidak fair. UU No. 15 Tahun
1969 yang hanya memuat 37 pasal memang member space sangat luas kepada pemerintah untuk memberikan interpretasi,
yang dalam banyak hal dinilai tidak sekadar “interpretasi teknis.”
2.3 Hukum Pemda
Proklamasi
kemerdekaan tanggal 17 agustus 1945 membawa semangat demokrasi yang cenderung
liberal sehingga masalah desentralisasi menjadi salah satu perhatian utama.
Pada periode 1945-1959, masalah desentralisasi berjalan secara eksperimental
dalam wujud lahirnya UU Pemerintahan Daerah (Pemda) sampai tiga kali, yaitu UU
No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, dan UU No. 1 Tahun 1957. Secara umum
hukum Pemda pada era 1945-1959 ini dapat dikualifikasi sebagai hukum yang
berkarakter sangat renponsif/populistik karena luasnya otonomi yang diberikan
kepada daerah. DPRD merupakan penanggung jawab utama dalam penyelenggaraan
desentralisasi, sedangkan tugas pembantuan lebih banyak ditangani oleh Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Pemilihan kepala daerah otonom juga sangat fair, yakni dilakukan melalui pemilihan
langsung oleh rakyat yang untuk tahap awal (sebelum ada UU tentan Pemilihan
Kepala Daerah) dipilih oleh DPRD. Begitu juag control pusat terhadap produk
Peraturan Daerah (Perda) hanya dibatasi pada hal-hal tertentu yakni pada
masalah-malasah yang menyangkut kepentingan umum.
Pemerintah
pada era demokrasi terpimpin memandang system otonomi atau desentralisasi yang
berlaku sejak zaman demokrasi liberal membahayakan keutuhan nasional karena
tendensi pada timbulnya gerakan-gerakan daerah yang disintegratif. Presiden
Soekarno segera mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 yang merombak secara
total dasar-dasar yang dipakai oleh UU No. 1 Tahun 1957. Penpres No. 6 Tahun
1959 menggeser dominasi asas desentralisasi kea rah sentralisasi atau
pengendalian daerah secara ketat oleh pusat. Meskipun penpres tersebut secara
“formal” masih menyebut asas otonomi nyata yang “seluas-luasnya”, namun asas
tersebut tidak dielaborasi sama sekali, malahan penpres itu memuat
ketentuan-ketentuan yang sangat tidak sesuai dengan prinsip desentralisasi.
Kepala daerah diangkat dan ditentukan sepenuhnya oleh pusat dengan kedudukan
sekaligus sebagai pengawas (atas nama pusat) atas jalannya pemerintahan di
daerah yang diberi wewenang untuk menangguhkan keputusan-keputusan DPRD.
Penpres ini kemudian digantikan oleh UU No. 18 Tahun 1965 yang lebih merupakan
penggantian “baju hukum” karena isinya
tidak mengandung perubahan yang berarti, bahkan dapat dikatakan bahwa UU No. 18
Tahun 1965 mengambil hamper seluruh isi Penpres No. 6 Tahun 1969 sebagai
materinya. Dengan demikian, produk hukum tentang Pemda pada periode ini
memiliki karakter yang sangat konservatif/ortodoks/elitis.
Era Orde
Baru (1966-1998) yang berusaha menggalang “persatuan dan kesatuan” melakukan
perubahan terhadap UU No. 18 Tahun 1965. Meskipun pada awal Orde Baru, MPRS
menetapkan asas otonomi nyata yang seluas-luasnya, tetapi ketetapan MPRS ini harus
diganti sebelum berlaku. Orde Baru memandang penetapan otonomi yang
seluas-luasnya bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan sehingga
harus diganti dengan asas otonomi nyata dan bertanggung jawab yang lebih
merupakan kewajiban bagi daerah. Asas otonomi nyata dan bertanggung jawab ini
dituangkan dalam Ketetapan MPR No. IV/MPR/1973 yang kemudian dijabarkan dengan
UU No. 5 Tahun 1974. Meskipun tidak seekstrem UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 6
Tahun 1974 ini dapat dikualifikasi sebagai produk hukum yang cenderung
berkarakter konservatif karena memberikan porsi kekuasaan kepada pusat secara
lebih dominan. Kepala daerah diangkat oleh pusat dari calon-calon yang diajukan
daerah berdasarkan hasil pemilihan DPRD tanpa terikat pada peringkat hasil
pemilihan DPRD itu. Calon-calon yang akan dipilih untuk diusulkan oleh DPRD itu
harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pusat. Hal ini merupakan konsekuensi
dari kedudukan kepala daerah sebagai organ daerah otonom sekaligus alat pusat
di daerah. Kepala daerah diletakkan pada posisi penguasa tunggal dalam bidang
pemerintahan di wilayahnya masing-masing yang menempel di atas daerah otonom.
Control pusat atas daerah masih melalui pengawasan preventif, pengawasan represif,
dan pengawasan umum. Dengan demikian,
desentralisasi menurut UU No. 5 Tahun 1974 sebenarnya lebih diwarnai oleh
sentralisasi sehingga produk hukum ini bukan produk yang berwatak renponsif.
2.4 Hukum Agraria
Setelah
proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, hukum-hukum agraria yang ditinggalkan
kolonialisme Belanda mendapat gugatan secara gencar agar diganti dengan hukum
agraria yang lebih renponsif. Pemerintah sendiri menempuh dua jalur untuk
memenuhi gugatan-gugatan itu, yaitu mengeluarkan peraturan perundang-undangan
secara parsial dalam bidang keagrariaan dan membentuk berbagai Panitia
Perancang Hukum Agraria Nasional. Peraturan perundang-undangan yang sifatnya
parsial itu dibuat untuk sementara sambil menunggu lahirnya hukum agraria
nasional yang materi-materinya berisi pencabutan terhadap bidang-bidang
tertentu dalam hukum agraria yang dirasa sangat tidak adil. Seperti pencabutan
hak konversi bagi pengusaha Eropa dengan UU No. 13 Tahun 1948, penghapusan
tanah partikelir dengan UU No. 1 Tahun 1958, perubahan Peraturan Persewaan
Tanah dengan UU Darurat No. 6 Tahun 1951 (yang kemudian diperbaharui dengan UU
No. 6 Tahun 1952) dan sebagainya. Semua produk hukum dalam bidang agraria yang
masih bersifat parsial mempunyai karakter yang lebih renponsif/populistik.
Sejak awal
kemerdekaan pemerintah juga telah mengambil langkah-langkah untuk membuat hukum
agraria nasional yang komprehensif melalui pembentukkan berbagai Panitia
Agraria. Mula-mula dibentuk Panitia Agraria Yogya (1948), kemudian disusul
dengan Panitia Agraria Jakarta (1951), dan Panitia Soewahjo (1956). Rangkuman
hasil-hasil kerja berbagai panitia itu diajukan oleh Menteri Agraria Soenarjo
kepada DPR sebagai RUU. Namun, RUU yang diajukan pada era demokrasi liberal ini
kemudian ditarik oleh pemerintah karena terjadi perubahan konstitusi berkenaan
dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. RUU tersebut setelah diperbaharui
atau disesuaikan dengan terma-terma yang ada dalam UUD 1945 dan konsepsi
demokrasi terpimpin diajukan lagi kepada DPR sebagai RUU pada tahun 1960 oleh
Menteri Agraria Sadjarwo untuk kemudian disahkan menjadi UU No. 5 Tahun 1960
yang lebih dikenal dengan sebutan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria). UUPA
menghapus semua watak yang melekat pada AW 1870 dan semua produk hukum yang
menyertainya, yaitu watak dualistic, feodalistik, dan ekploitatif. UUPA juga
memuat asas “fungsi social” bagi hak atas tanah serta prinsip pembatasan luas
maksimum dan minimum tanah yang dapat dimiliki secara adil. Domeinverklaring dinyatakan dicabut dan
diganti dengan asas “hak menguasai dari Negara” yang berorientasi pada upaya
mengusahakan kemakmuran rakyat yang sebesar-besarnya sesuai dengan amanat Pasal
33 UUD 1945. Dengan demikian, UUPA berkarakter sangan renponsif/populistik.
Kasus UUPA
menjadi satu-satunya produk hukum yang berkarakter responsive dalam penelitian
ini pada era demokrasi terpimpin yang otoriter. Hal ini bisa dijelaskan dari
empat hal, yaitu : Pertama, UUPA
berasal dari warisan (rancangan-rancangan) zaman demokrasi liberal yang
pengundangannya tertunda karena ada Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Kedua, UUPA memuat materi yang membalik
dasr-dasar kolonialisme yang sudah pasti sangat ditentang oleh semua pemimpin
Indonesia, baik pemimpin yang demokratis maupun yang otoriter. Ketiga, materi UUPA tidak menyangkut
distribusi kekuasaan sehingga pemberlakuannya tidak akan mengganggu sebuah
rezim otoriter sekalipun. Keempat,
UUPA tidak hanya memuat aspek public (hukum administrasi Negara), tetapi juga
memuat masalah-masalah privat (hukum perdata).
Pada era
Orde Baru tidak diperlukan lagi sebuah produk hukum agraria nasional karena
Indonesia sudah meiliki UUPA. Oleh sebab itu, hanya dikeluarkan beberapa
peraturan perundang-undangan dalam bidang keagrariaan yang sifatnya parsial.
Ada
tuntutan bagi Orde Baru untuk melakukan pembaharuan terhadap beberapa masalah
(parsial) dalam bidang agraria ini, seperti yang menyangkut UU Landreform (UU
No. 56/PRP//1960). Dapat juga dicatat bahwa proses pembangunan pada era Orde
Baru telah menyebabkan meningkatnya tuntutan atas penggunaan lembaga onteigning (pencabutan hak atas tanah),
seperti yang diatur dalam UU No. 20 Tahun 1961. Tetapi sikap pragmatis Orde
Baru telah melahirkan peraturan perundang-undangan parsial dalam bidang
agrarian ini yang dapat dikualifikasi cenderung berkarakter
konservatif/ortodoks. Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN) No. 15 Tahun 1975
tentang Prosedur Pembebasan Tanah untuk Keperluan Pembangunan, di samping
materinya secara hierarkis tidak proporsional karena memuat materi UU atau
mengatur cara lain dari apa yang diatur UU No. 20 Tahun 1961, tidak memberikan
alternative jika “musyawarah” untuk pembebasan tanah itu gagal, sehingga di
dalam praktik banyak menimbulkan masalah yang cenderung selalu memenangkan
pihak yang ingin membebaskan tanah.
Dalam pada
itu, Inpres No. 9 Tahun 1973 dapat juga dipandang sebagai produk peraturan
perundang-undangan yang lebih memenuhi keperluan praktis pemerintah untuk
melakukan pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan. Seharusnya materi kedua
peraturan perundang-undangan ini dapat dibuat lebih rinci dan diberi bentuk
hukum setingkat UU. Sedikit kemajuan terjadi pada tahun 1993, pemerintah
mengeluarkan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan
Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Kemajuan tersebut, misalnya terlihat pada
prosedur musyawarah yang lebih terbuka untuk menentukan ganti rugi. Terlihat
juga adanya jalan keluar jika penetapan ganti rugi ditolak pemilik hak atas
tanah, yakni dengan mengajukan keberatan dan minta penyelesaian gubernur. Jika
penetapan gubernur itu masih ditolak dapat ditempuh penyelesaian dengan
menggunakan UU No. 20 Tahun 1961, yaitu prosedur pencabutan hak (onteigning). Namun Karena substansinya
sangat penting, materi Keppres No. 55 Tahun 1993 seharusnya diberi baju hukum
dalam bentuk UU yang sekaligus diintegrasikan dengan UU No. 20 Tahun 1961.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hasil telaah atas kasus-kasus dalam
studi ini menunjukkan bahwa perkembangan karakter produk hukum senantiasa
dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya
konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter produk hukum
tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka
karakter produk hukum yang dilahirkannya cenderung responsive/populistik.
Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke sisi yang otoriter, maka
produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.
DAFTAR PUSTAKA
M.D., Mahfud, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2009.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono
Soekanto. Aneka Cara Pembedaan Hukum.
Bandung (Penerbit: Alumni) Tahun 1980.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono
Soekanto. Perundang – Undangan dan
Yurisprudensi. Bandung (Penerbit:PT. Citra Aditya Bakti) Tahun 1993.
Purbacaraka, Purnadi, Soerjono
Soekanto. Sendi – Sendi Ilmu Hukum dan
Tata Hukum. Bandung (Penerbit: Alumni) Tahun 1979.
Soekanto, Soerjono. Kegunaan Sosiologi Hukum Bagi Kalangan Hukum.
Bandung (Penerbit: Alumni) Tahun 1979
-----------. Pokok –
Pokok Sosiologi Hukum.Jakarta (Penerbit: CV. Rajawali) Tahun 1980.
Subekti. Pokok – Pokok Hukum Perdata. Jakarta (Penerbit: PT. Intermasa)
Tahun 1994.
baru belajar hukum, sangat membantu saya untuk lebih jauh tahu tentang hukum di indonesia
BalasHapus