Senin, 05 Desember 2016

MAKALAH “ Kebijakan Pemerintah INDONESIA Pasca Keluar Dari RSPO



KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Kebijakan Pemerintah Pasca Keluar Dari RSPO “. Pada makalah ini Penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
           





                                                            





         Taluk Kuantan,      Januari 2015


           Penulis

DAFTAR ISI


Kata Pengantar............................................................................................................. i
Daftar Isi...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang.................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................. 2
1.3 Tujuan............................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1 Peranan Industri Minyak Sawit Dalam Perekonomian Indonesia.................... 3
2.2 (RSPO) Dan Apa Alasan Indonesia Keluar...................................................... 4
2.3 Kebijakan Pemerintah Indonesia Pasca Keluar Dari RSPO............................. 6
2.4 Penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)....................................... 7
2.5 ISPO Sebagai Wujud Rezim Pemerintahan Indonesia Untuk Mewujudkan Sawit   
Lestari..................................................................................................................... 10
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 12
3.1  Kesimpulan...................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................... 13













BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Kebijakan pemerintah Indonesia pasca memilih keluar dari Roundtable and Sustainable Palm Oil (RSPO). Indonesia merupakan produsen crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan produksi mencapai 19,8 ton pada tahun 2010. Pada tahun 2009, kontribusi devisa dari CPO dan produk kelapa sawit lainnya adalah USD 12.3 milyar. Sejak tahun 2006, Indonesia juga telah menggeser Malaysia sebagai produsen CPO terbesar di dunia. Industri CPO Indonesia memiliki prospek yang sangat baik di tahun-tahun mendatang, industri ini juga menghadapi tantangan yang tidak mudah dilalui Terlebih lagi ketika Indonesia tergabung kedalam sebuah Lembaga swadaya asing seperti RSPO (Roundtable and Sustainable Palm Oil)3. RSPO merupakan asosiasi nirlaba yang menyatukan para pemangku kepentingan dari tujuh sektor industri minyak sawit.
Roundtable and Sustainable Palm Oil (RSPO) mempromosikan praktik produksi minyak sawit bekelanjutan yang membantu mengurangi deforestasi, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menghargai kehidupan masyarakat pedesaan di negara penghasil minyak sawit. RSPO menjamin bahwa tidak ada hutan primer baru atau kawasan bernilai konservasi tinggi lainnya yang dikorbankan untuk perkebunan kelapa sawit, bahwa perkebunan menerapkan praktik terbaik yang berterima, dan bahwa hak-hak dasar dan kondisi hidup jutaan pekerja perkebunan, petani kecil, dan masyarakat asli dihargai sepenuhnya.
Tetapi pada kenyataannya, segala tujuan RSPO yang tertuang dalam visi dan misi dibentuknya RSPO dirasa sebagian anggotanya tidak tersalurkan kepada mereka yang mempunyai usaha dibidang kelapa sawit. Maka, atas dasar inilah Indonesia sebagai salah satu produsen CPO terbesar dunia mengeluarkan sebuah kebijakan dengan tujuan untuk melindungi para petani, pengolah, dan perusahaan sawit serta guna melindungi produksi dalam negeri untuk memutuskan keluar dari anggota RSPO.

1.2    Rumusan Masalah
1.     Apa peranan industri minyak sawit dalam perekonomian Indonesia
2.     Apa defenisi (RSPO) dan apa alasan Indonesia keluar
3.     Bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia pasca keluar dari RSPO
4.     Seperti apa penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
5.     Bagaimanakah ISPO sebagai wujud rezim pemerintahan Indonesia untuk mewujudkan sawit lestari

1.3    Tujuan
1.     Untuk mengetahui apa peranan industri minyak sawit dalam perekonomian Indonesia
2.     Untuk mengetahui apa defenisi (RSPO) dan apa alasan Indonesia keluar
3.     Untuk mengetahui bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia pasca keluar dari RSPO
4.     Untuk mengetahui seperti apa penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
5.     Untuk mengetahui bagaimanakah ISPO sebagai wujud rezim pemerintahan Indonesia untuk mewujudkan sawit lestari














 BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Peranan Industri Minyak Sawit dalam Perekonomian Indonesia
Perkebunan kelapa sawit sebagai bagian dari pertanian tanaman telah lama dikenal memiliki multifungsi (multifunctionality of agriculture) yakni secara ekonomi, social, dan ekologis. Berkembangnya perkebunan kelapa sawit berarti juga menambah manfaat ekonomi social dan ekologis bagi masyarakat. Pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang esensial dalam pembangunan. Pertumbuhan ekonomi baik sektoral,  daerah, industri, maupun pada tingkat perusahaan berarti pertumbuhan produksi barang/jasa, pertumbuhan pendapatan, pertumbuhan kesempatan kerja dan pertumbuhan penggunaan input. Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat mutlak bagi peningkatan pendapatan, pengurangan pengangguran dan pengentasan kemiskinan.
Sektor penyedia input utama dari perkebunan kelapa sawit adalah surplus usaha tahun sebelumnya dan modal sendiri (reinvestasi), pupuk, kimia, pestisida, tenaga kerja, sektor keuangan dan sektor lain. Komoditas pertanian masih penyumbang terbesar dalam ekspor non migas Indonesia. Pangsa ekspor pertanian dalam total ekspor non migas masih cukup besar yakni 48 persen tahun 2005 dan 36 persen tahun 2013. Bahkan dari ekspor sektor manufaktur non migas, sebagian besar masih bebasis sumberdaya alam (SDA). Sekitar 20 persen (tahun 2005) dan 19 persen (tahun 2013) dari total ekspor non migas berapa ekspor produk manukfatur sumber daya alam. Sementara produk manukfatur berbasis non sumber daya alam pangsanya kecil dan menurun. Peranan ekspor CPO dan turunannya Dalam ekspor netto non migas makin penting dan bahkan menjadi katup pengaman.





2.2  (RSPO) dan Alasan Indonesia Keluar
Roundtable on Sustainable Palm Oil didirikan pada tahun 2004 sebagai respon untuk menanggapi masalah-masalah sosial dan lingkungan di negara- negara produsen. Inisiatif yang bersifat sukarela ini diprakarsai oleh pihak industri dan masyarakat sipil dan bertujuan untuk mempromosikan produksi dan penggunaan minyak sawit berkelanjutan. Untuk menjamin hal tersebut, telah disusun serangkaian kriteria yang mempunyai jangkauan luas. Semua perusahaan-perusahaan anggota RSPO harus menerapkan kriteria-kriteria tersebut yang kepatuhannya dipantau secara Di satu sisi, RSPO bisa dilihat sebagai suatu pendekatan yang melakukan banyak perbaikan, tetapi di sisi lain – jika mengingat banyaknya masalah yang dihadapi RSPO dalam menegakkan standarnya- maka mungkin akan lebih baik, jika RSPO juga mencari alternatif lain dalam upaya melawan pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum lingkungan hidup.
Pada bulan Januari 2014, RSPO memiliki 1.439 anggota, diantaranya 911 sebagai anggota biasa, 427 disebut sebagai anggota rantai pasokan dan 101 sebagai anggota afilias. Selain perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di bidang industri makanan seperti Unilever, Ferrero, P & G dan Nestle, terdapat juga anggota-anggota dari LSM seperti WWF, Solidaridad dan Oxfam. Namun jumlah mereka hanya sebagian kecil dari jumlah total keanggotaan Para anggota RSPO berasal dari berbagai negara di seluruh dunia. Dari Jerman bergabung 190 anggota yang merupakan jumlah tertinggi untuk satu negara. Perusahaan Jerman menempati posisi pertama dalam pemerolehan lisensi untuk menggunakan segel RSPO, saat ini terdapat 20 perusahaan Jerman yang telah mendapatkan lisensi tersebut dan dengan demikian mereka diperbolehkan mempergunakan segel tersebut.
Meskipun peraturan dan persyaratan yang dibuat RSPO dalam beberapa bidang sudah sangat luas jangkauannya, namun dalam pelaksanaannya masih menunjukkan banyak kelemahan. Berbagai sistem rantai suplai yang ada, terutama sistem Book & Claim, tidak memberikan dukungan yang positif dalam upaya peralihan ke system lain yang lebih ketat seperti Segregation. Selain itu, kriteria-kriteria dan indikator RSPO yang diuji pada perkebunan dan penggiling bersertifikat, dalam beberapa bagiannya harus lebih diperketat lagi, guna memenuhi tujuan dan tuntutan RSPO. Pemeriksaan sertifikasi yang dilakukan oleh organisasi-organisasi independen sangat tidak seragam dan menunjukkan titik-titik lemah. Sejumlah laporan dan studi dari berbagai organisasi non-pemerintah baik lokal maupun internasional membuktikan contoh-contoh pelanggaran yang serius terhadap kriteria- kriteria RSPO yang dilakukan oleh perusahaan yang telah berkomitmen untuk mematuhi kriteria-kriteria tersebut. Selain itu juga terdapat banyak masalah dalam pelaksanaan prosedur pengaduan.
Sebagai sebuah rezim internasional RSPO dianggap memiliki banyak nilai merah, nilai merah tersebut diantaranya adalah :
a.      Ketimpangan kekuatan di RSPO tidak menjadi pertimbangan. Meja RSPO dibayangkan flat, sehingga diasumsikan diskusi berlangsung fair yang dilakukan oleh semua stakeholder minyak sawit. Pada kenyataannya tidaklah demikian.
b.     LSM lingkungan dan social yang terlibat di RSPO terlalu “environmentalist minded” (masalah lingkungan hanya persoalan kaum aktivis lingkungan hidup, tidak dipandang sebagai masalah yang justru sangat erat dengan persoalan ketidakadilan social, akibatnya kampanye orang utan, gajah, harimau dan hewan lainnya lebih mengemuka daripada kampanye terhadap kemiskinan dan kelaparan yang dialami masyarakat local dan buruh perkebunan sawit itu sendiri).
c.      Tujuh kali RTM (Roundtable Meetings) masih seputar penguatan lembaga, penerimaan dan pengesahan anggota baru, penetapan prinsip, kriteria dan indicator, serta sertifikasi. Sementara percepatan penghancuran hutan terus terjadi dilapangan. Belum ada contoh yang bisa ditunjukkan selain hanya bermain kepada kesepakatan-kesepakatan tanpa implementasi
d.     Isu baru yang melibatkan petani kecil di RSPO merupakan topik krusial. Belum ada definisi dan ukuran yang jelas tentang petani kecil perkebunan sawit. Sementara, perlibatan mereka dalam diskusi, lobi-lobi dan negoisasi yang memerlukan expertise adalah seperti mimpi, baik dari segi kapasitas sumber daya dan pembiayaannya.
2.3  Kebijakan Pemerintah Indonesia Pasca Keluar dari RSPO
Pasca memutuskan untuk keluar dari RSPO banyak bermunculan isu negative mengenai kelapa sawit Indonesia yang disebut sebagai kelapa sawit tidak ramah lingkungan dan berhembus isu bahwa Indonesia merupakan salah satu yang paling terbanyak menyumbang kerusakan lingkungan akibat produksi perkebunan sawit Indonesia. Isu negatif yang kerap dihembuskan oleh Negara-negara maju pada pengembangan kelapa sawit Indonesia juga masih belum jelas, apakah memang benar-benar untuk melindungi dunia dari ancaman perubahan iklim atau sekedar untuk mempertahankan kepentingan negara-negara maju tersebut.
Tetapi yang sering menjadi pertanyaan besar dari para pemangku kepentingan industry kelapa sawit nasional adalah adanya komitmen dari pemimpin Indonesia yang berjanji akan mengurangi laju pemanasan global dengan cara mengurangi kadar emisi karbon hingga 26 per sen, padahal tidakada negara lain yang mau berjanji mengurangi emisi karbon setinggi Indonesia Penerapan konsensus moratorium ini juga sangat berpotensi untuk menimbulkan efek domino diantaranya mematikan perkembangan kemitraan perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan para petani dalam pengembangan program inti plasma.
Bila sampai hal itu terjadi maka otomatis kesempatan masyarakat untuk memperluas penanaman pohon kelapa sawit mungkin tertutup. Oleh karena itu, jalan tengah yang diambil adalah pemerintah seyogyanya semakin intensif mengkampanyekan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO), sebagai sebuah aturan yang perlu ditegakkan, yang dapat menepis tekanan kampanye negatif. Pemerintah juga harus menyediakan program penyuluhan dan pendampingan implementasi ISPO untuk para petani kelapa sawit, terutama para petani mandiri. Selain itu, pemerintah juga harus mulai melancarkan strategi kebijakan pengembangan industri nasional berbasis kelapa sawit. Caranya dengan mempercepat peningkatan kapasitas sumber daya manusia, terutama para petani plasma dan petani mandiri, serta mengembangkan kewirausahaan berbasis rantaipasok dan rantai nilai kelapa sawit.
Para pemangku kepentingan industri kelapa sawit nasional juga harus mampu mendorong pertumbuhan produktivitas ekonomi non budidaya di pedesaan, tetapi tetap terkait dengan industri kelapa sawit. Hal ini penting untuk memperbaiki pengelolaan sumber daya alam dengan melaksanakan panduan ISPO. Selain itu juga perlu dibangun kapasitas keahlian manajerial teknis dan jasa di semua level dan memperhatikan kepentingan para petani plasma kelapa sawit. Cara budidaya kelapa sawit ramah lingkungan yang dilakukan oleh para petani seyogyanya ditingkatkan, apalagi perkebunan kelapa sawit Indonesia tidak hanya didominasi satu golongan saja yakni pihak swasta saja, karena para petani sawit mandiri pun mempunyai porsi besar dalam pengembangan industry sawit nasional.
Bila semua isu positif dalam budidaya dan pengelolaan sistem budidaya perkebunan kelapa sawit dapat diinformasikan ke seluruh pelosok dunia, maka gelombang isu negatif akan dapat ditepis, dan semua pihak dapat merasakan manfaatnya dari hasil perkebunan kelapa sawit nasional. Komoditas kelapa sawit telah terbukti memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian Indonesia, serta menjadi sektor yang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat, sehingga koordinasi kinerja, termasuk kampanye positif harus dilakukan secara sinergis, terkoordinasi dengan baik dan dilakukan secara berkelanjutan16.
Kementerian Pertanian melakukan kampanye greenvproduct (produk ramah lingkungan) kelapa sawit ke Eropa yaitu Spanyol dan Perancis untuk mengantisipasi isu negatif tentang komoditas sawit terkait dengan masalah lingkungan. Kementerian Pertanian sekaligus mensosialisasikan Misi kegiatan “palm oil campaign” tersebut dalam rangka menginformasikan kebijakan Kementan dalam mengembangkan industri kelapa sawit nasional dengan memperhatikan prinsip keberlanjutan (sustainability).

2.4  Penerapan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO)
Mengingat bahwa kelapa sawit merupakan salah satu andalan komoditi pertanian di Indonesia yang memiliki peran strategis dalam perekonomian nasional, maka Pemerintah Indonesia menciptakan sendiri regulasi nasional pengembangan kelapa sawit berkelanjutan yaitu Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT/140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO) dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan (sustainable) yang disesuaikan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan adanya pengaturan ISPO, diharapkan agar seluruh pelaku usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu meningkatkan kepedulian atas pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia. Sebelum Pemerintah Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai ISPO, pasar Internasional telah lebih dahulu menilik mengenai ketentuan memproduksi kelapa sawit berkelanjutan yang diramu dalam bentuk RSPO.18 Perbedaan RSPO dan ISPO ini terletak pada sifat pengaturannya, untuk ISPO bersifat mandatory (kewajiban) sedangkan RSPO bersifat voluntary (sukarela).
Sifat mandatory ISPO diamanatkan oleh Peraturan Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 3, yang menyatakan bahwa : “Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan ini”. Sanksi apabila Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit tidak melakukan implementasi ISPO adalah akan dikenakannya sanksi penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV.
Apabila perusahaan perkebunan kelapa sawit mengalami penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV, maka akan diberikan peringatan sebanyak 3 (tiga) kali dengan selang waktu 4 (empat) bulan sebelum Izin Usaha Perkebunan (IUP) dicabut.20 Peringatan itu adalah untuk memperbaiki seluruh aspek yang disebutkan di atas. Selain itu juga, perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut tidak dapat mengekspor CPO-nya ke luar negeri.
Dalam pelaksanaannya ISPO berlandaskan pada Pasal 3 ayat (4) UUD 1945 Amandemen ke-4, yang menyatakan bahwa : “Perekonomian nasional diselenggarakan atas demokrasi ekonomi, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi nasional”. Prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan maksudnya adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.
Dengan adanya ketetapan ISPO, bertujuan untuk meningkatkan kepedulian akan pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan serta meningkatkan daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia. Karena ISPO didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka ketentuan ini merupakan mandatory (kewajiban) yang harus dilaksanakan bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia. Perusahaan perkebunan sawit yang dapat mengajukan permohonan sertifikasi ISPO harus memenuhi beberapa persyaratan. Misalnya, sudah mendapat penilaian sebagai kebun kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Penilaian ini sesuai dengan Permentan No. 7 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
Indonesian Sustainable Palm Oil berbeda dengan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), ISPO disusun berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia dan berbagai terkait. Misalnya Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Badan Pertanahan Nasional. Karena itu seluruh ketentuan di dalam ISPO harus ditaati karena masing- masing ketentuan tersebut ada sanksinya”. Tujuan dari sertifikasi ISPO ini menurut Kementerian Pertanian adalah untuk mendorong usaha perkebunan kelapa sawit memenuhi kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan, melindungi, mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan tuntutan pasar.
Sertifkasi ISPO ini mendorong pertumbuhan investasi dan pengembangan Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk mengimplementasikan pengembangan usaha dan manajemennya ke arah sistem yang berkelanjutan dan berkesinambungan dalam jangka panjang. Hal ini terlihat dari tujuan dan sasaran pembentukan ISPO dalam menciptakan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, yang berarti adalah kewajiban Perusahaan untuk memperhatikan aspek-aspek hukum, sosial, manajemen dan lingkungan yang secara paralel akan sangat berpengaruh terhadap investasi dan produktifitas Perusahaan.
Apabila Perusahaan perkebunan telah menerapkan prinsip dan kriteria ISPO ini dengan baik, maka pasar dunia akan melirik Indonesia sebagai penghasil CPO yang mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan pembangunan berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, secara langsung pertumbuhan investasi di Indonesia akan semakin baik dan kondusif dalam bidang bisnis kelapa sawit.

2.5  ISPO Sebagai Wujud Rezim Pemerintahan Indonesia Untuk Mewujudkan Sawit Lestari
Indonesian Sustainable Palm Oil intinya menerapkan seluruh paket ketentuan terkait yang berlaku di Indonesia , untuk dipatuhi penerapannya dalam pengembangan kelapa sawit. Oleh sebab itu kepatuhan penerapannya bersifat mandatory, artinya wajib, sehingga akan dilakukan penindakan bagi yang melanggar. Sedangkan penerapan Rountable Sustainable Palm Oil (RSPO) atau lainnya bersifat voluntary, artinya tidak mengikat. Penerapan ISPO ini cukup strategis, dalam arti memberikan kejelasan dan ketegasan Prinsip dan Kriteria yang harus dianut pada pelaksanaan pengembangan kelapa sawit di Indonesia, sekaligus menjadi landasan untuk penegakan hukum bagi yang tidak mentaatinya.
Sebagai sebuah negara salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, sudah sepatutnya Indonesia memiliki peraturan perundangan undangan dan kebijakan mengenai kelapa sawit. Tentu saja kebijakan yang harus ada adalah kebijakan yang hanya fokus pada satu sector perkebunan saja, seperti contohnya hanya berpusat pada sector kelapa sawit saja. Didasari pada tuntutan yang harus membuat pihak pemerintahan dan stakeholder kelapa sawit untuk lebih peduli dan memprioritaskan perkebunan kelapa sawit untuk diterbitkan suatu bentuk prinsip dan kriteria maupun kebijakan kelapa sawit secara lestari atau secara ramah lingkungan.
Untuk memenuhi tuntutan pembangunan berkelanjutan, Kementrian Pertanian menyiapkan Sistem Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Berkelanjutan. Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan “guidance” pembangunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan pada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Sehingga ketentuan ini bersifat mandatory atau kewajiban yang harus dilaksanakan bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia. Dengan demikian, ISPO adalah bukti kepatuhan pelaku usaha perkebunan untuk melakukan usaha sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia. Disamping itu juga sebagai komitmen pelaku usaha perkebunan untuk menerapkan pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.
Dengan bertujuan untuk meningkatkan produksi dan level produk hasil olahan kelapa sawit Indonesia, juga tuntutan global untuk menggunakan sertifikasi pada perkebunan kelapa sawit, atas dasar-dasar itulah pemerintah duduk dan membahas mengenai pembentukan sebuah sertifikasi terbaik untuk kelapa sawit Indonesia. ISPO adalah sebuah kebijakan baru bentukan dari pemerintahan Indonesia dalam menghadapi tuntutan global pada produk produk kelapa sawit tersebut. Disusun dalam sebuah pertemuan Road Map Pembangunan Kelapa Sawit dan Road Map Industri Pengolahan Minyak Sawit.
Pemerintah berharap dengan hadirnya ISPO ini sebagai sebuah bentuk baru perundang undangan mengenai kelapa sawit, diharapakan setiap pengusaha maupun stakeholder dalam sektor tersebut menyambut baik dengan hadirnya ISPO tersebut. Pemerintah Indonesia sendiri juga menegaskan bahwa kebijakan internasional seperti halnya RSPO, tetap diijinkan untuk terus dilaksanakan tetapi hanya bersifat tidak wajib atau mandatory . Untuk itulah, para pengusaha dan pemilik perkebunan kelapa sawit Indonesia di wajibkan untuk memiliki dan mengantongi sertifikasi dari ISPO ini, maksimal sebelum tahun 2014 berakhir.


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Industri minyak sawit memiliki multi fungsi (multifunctionality) yang memberi manfaat ganda bagi perekonomian Indonesia maupun dunia secara keseluruhan. Manfaat ganda yang dimaksud berupa manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan. Manfaat dari segi ekonomi yang dimaksud bahwa industri minyak sawit menghasilkan berbagai produk bahan pangan, bahan energi dan bahan baku industri,yang dibutuhkan baik bagi Indonesia maupun masyarakat dunia. Untuk meningkatkan daya saing ekspor sawit Indonesia, pemerintah membuat sebuah kebijakan dengan memberlakukan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) kepada perusahaan-perusahaan sawit di Indonesia. Pemerintah Indonesia mengharapkan seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit mau bekerja sama untuk menjadikan sawit Indonesia menjadi sawit yang ramah lingkungan (sustainable) dengan cara mendapatkan sertifikasi ISPO.
Sertifikasi ISPO ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan investasi dan pengembangan Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk mengimplementasikan pengembangan usaha dan manajemennya ke arah sistem yang berkelanjutan dan berkesinambungan dalam jangka panjang. Hal ini terlihat dari tujuan dan sasaran pembentukan ISPO dalam menciptakan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan, yang berarti adalah kewajiban Perusahaan untuk memperhatikan aspek-aspek hukum, sosial, manajemen dan lingkungan yang secara paralel akan sangat berpengaruh terhadap investasi dan produktifitas Perusahaan. Apabila Perusahaan perkebunan telah menerapkan prinsip dan kriteria ISPO ini dengan baik, maka pasar dunia akan melirik Indonesia sebagai penghasil CPO yang mengedepankan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dan pembangunan berwawasan lingkungan. Oleh karena itu, secara langsung pertumbuhan investasi di Indonesia akan semakin baik dan kondusif dalam bidang bisnis kelapa sawit.
DAFTAR PUSTAKA


Indonesian Oil Palm Research Institute. (2006). Tinjauan Ekonomi Kelapa Sawit. Medan. Principle and criteria of ISPO , diakses dari www.ispo.id pada tanggal 03 Jan 2015
Harian Riau Pos, “Perusahaan Sawit Wajib Miliki Sertifikat ISPO”, diterbitkan Senin, 03 Desember 2012
Lembaga Riset Perkebunan Indonesia,  “Menimbang Relevansi Sertifikasi RSPO”, Jurnal Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Volume 31, Nomor 6, 2009, hal. 10.
Legitimasi RSPO diuji: belajar dari 3 kasus”,dalam bakumsu.or.id/news/index.php (accessed 16 december 2014)
Rani, faisyal & Tegar Islami. Jurnal Transnasional Universitas Riau: Kebijakan Pemerintah Indonesial Dalam melindungi sumber daya genetic pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. 2014. Vol. 6. No.1 . Juli. Hal 1611
Barlow, C. Zahara z. and R. Gondowarsito, 2003: Indonesian Palm Oil Industry: Oil Palm Industry Economic Journal Vol: 3(1): P 8-15.
ADB, 2004: Agriculture and Rural Development Strategy Study. Asian Development Bank and Ministry Agriculture of Indonesia.





1 komentar:

  1. RSPO sangat baik untuk mengembangkan dunia usaha terutama di bidang persawitan,dgn harapan agar dampaknya bisa kesemua lapisan petani sawit ,terutama harga TBS bisa meningkat jangan cuma pelaku bisnis yg menikmati.

    BalasHapus