KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat
dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Hubungan
Politik Dengan Hukum”Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai
sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam
kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga
makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Taluk
Kuantan, Oktober 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................................ 2
1.3
Tujuan.............................................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1
hukum sebagai produk politik......................................................................... 3
2.2
relasi politik dan hukum indonesia................................................................. 4
BAB
III PENUTUP...................................................................................................... 8
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 8
DAFTARPUSTAKA.................................................................................................... 9
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hubungan
kausalitas antara antara politik dan hukum sebagai sub system kemasyarakatan
disebut-sebut hukum sebagai produk politik. Dari pendekatanm empirik hal itu
merupakan suatu aksioma yang tak dapat diitawar lagi. Tepai ada juga para yuris
yang lebih percaya dengan semacam mitos bahwa politiklah yang harus tunduk pada
aturan hukum. Inipun , sebagai das sollen, tak dapat disalahkan begitu saja.
Bahwa hukum adalah produk politik sehingga keadaan politik tetentua akan
melahirakan hukum dengan karakter tertentu pula. kritik umum yang terlontar
atas praktik hukum di Indonesia, terutama oleh kaum deterministik, meletakkan
hukum sebagai alat kekuasaan.
Fakta ini
tentunya bisa dipahami, jikalau kita mengungkapkan sejumlah pelanggaraan dalam
penyelenggaraan tata pemerintahan dan aktivitas sosial dengan mengatasnamakan
hukum. Perangkat hukum kita, sepanjang orde baru, memang tercabik-cabik oleh
kepentingan politik, yang pada akhirnya melahirkan ketidakpercayaan atas hukum.
Inilah tragedi panjang, yang hingga hari ini masih melanda kehidupan hukum di Indonesia.
Bagaimana gejala ini bisa dijelaskan. Strategi apa yang dapat dilakukan untuk
mengembalikan hukum untuk menuju kaadilan.
Asumsi
dasar dari pemikiran diatas adalah bahwa hukum merupakan produk politik
sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh
imbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan
kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum
dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling
berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen”
ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut
“das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh
konfigurasi politik yang melahirkannya. Pada era Soekarno, politik adalah
panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah
panglima pada jaman Soeharto.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apakah defenisi hukum sebagai produk politik ?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui apakah defenisi hukum sebagai produk
politik ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Hukum sebagai Produk Politik
Dikalangan
ahli hukum minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik
dan hukum. Kaum idealis yang lebih berdiri pada sudut das sollen mengatakan
bahwa hukum harus mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat,
termasuk kehidupan politiknya. Meletakkan hukum sebagai penentu arah perjalanan
masyarakat karena dengan itu fungsi hukum untuk menjamin ketertiban dan
melindungi kepentingan masyaraktanya akan menjadi lebih relevan.
Pengaruh
politik terhadap hukum dapat berlaku terhadap penegakkan hukumnya dan
karakteristik produk-produk serta proses pembuatannya. Bahwa keadaan politik
tertentu dapat mempengaruhi produk hukum, untuk kasus Indonesia, kita dapat
melihat contoh pada UU No. 1/1974 (tentang Perkawinan) dan UU No. 7/1989
(tentang Peradilan Agama). Meskipun kedua Undang-undang itu lahir pada era Orde
Baru, tetapi hubungan politik antara pemerintah dan umat Islam atau hubungan
antara Negara dan Agama yang melatarbelakangi keduanya berada dalam suasana
yang berbeda. UU No. 1/1974 lahir dalam keadaan politik konflik dan saling
curiga, sedangkan UU No. 7/1989 lahir ketika hubungan pemerintah dan umat Islam
sedang melakukan akomodasi (Mahfud :1999).
Satjipto
Rahardjo (1985 :71) mengatakan bahwa kalau kita melihat hubungan antara
subsistem politik dan subsistem hukum, tampak bahwa politik memiliki
konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi
yang lemah. Artinya banyak sekali praktik politik yang secara substansif
hal-hal diatas dimaksudkan untuk menegaskan bahwa di dalam kenyataan empiric
politik sanagat menentukan bekerjanya hukum. Dengan demikian menjadi jelas
bahwa pengakuan hukum disini sangat tergantung pada keadaan politiknya. Pertanyaannya
adalah, jika pengabdian hukum lebih cenderung pada kekuasaan, apakah tidak ada
ruang bagi ekspresi hukum untuk praktik demokrasi.
Bahwa ada
kaitan yang sangat erat antara demokrasi dan hukum tidaklah dapat dibantah.
Hubungan antara demokrasi dan hukum ibarat dua sisi sekeping mata uang logam :
dimana ada demokrasi disitu ada hukum. Dari sini dapat disimpulkan bahwa
kualitas demokrasi suatu negara akan menentukan kualitas hukumnya.
Negara-negara yang demokratis akan melahirkan hukum yang berwatak demokratis,
sedangkan negara yang otoriter atau non-demokratis akan lahir hukum yang
non-demokratis pula. Kesulitan yang muncul adalah bahwa sekarang ini tidak ada
satupun negara di dunia ini yang mengaku tidak demokratis.
Berbicara
tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum
bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud
adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan
nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. Dengan demikian idealnya hukum
dibuat dengan mempertimbangkan adanya kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai
keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut
kepatuhan dan adanya sangsi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan
ketertiban dan keadilan di masyarakat.
Hukum
sebagai salah satu kaidah yang dipositifkan secara resmi oleh penguasa negara
adalah sebuah produk dari kegiatan politik, yang dapat terbaca dari konteks dan
kepentingan yang melahirkan hukum itu dan bagaimana hukum tersebut dijalankan.
Berbeda dengan kaidah agama yang didasarkan pada ketaatan individu pada Tuhan
atau kaidah kesusilaan dan kesopanan yang didasarkan pada suara hati atau
dasar-dasar kepatutan dan kebiasaan, kaidah hukum dibuat untuk memberikan
sangsi secara langsung yang didasarkan pada tindakan nyata atas apa yang
disepakati/ditetapkan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan keputusan
politik.
Dengan
dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud
apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak
pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya
lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan
kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip
membangun supremasi hukum yang berkeadilan.
Dalam
konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan
masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang
fair dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan
dan praktek-praktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia
bahkan dapat dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya,
sekelompok orang bersenjata dapat bergerak bebas dan melakukan tindak kekerasan
tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat kepolisian, massa dapat mengadili
pencuri kelas teri dan membakarnya, sementara pengadilan membebaskan koruptor
kelas kakap. Dunia hukum Indonesia berada dalam kuasa “demoralisasi,
disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”.
a.
Hukum
dalam Subordinasi Politik
Adalah runtuhnya rezim otoriter Soeharto dan keinginan untuk
membangun kembali suatu tatanan masyarakat yang demokratis yang memunculkan
upaya-upaya peninjauan ulang, revisi dan amandemen terhadap segala bentuk
sistem dan perangkat hukum yang ada. Namun sejarah mencatat bahwa proses
lahirnya hukum memang tidak lepas dari sejarah kekuasaan atau politik itu
sendiri. Sejak masa Imperium Roma sampai dengan Hitler, Sejak masa Sriwijaya
hingga Megawati Sokarnoputri.
Dalam sejarah Indonesia, Orde Baru sebenarnya sekadar
menyempurnakan apa yang dikenal dengan “The Ducth Law of The Sea”, suatu
upaya kolonial Belanda untuk mengintervensi hukum adat yang berlaku di
nusantara. Prinsipnya hukum tersebut dugunakan sebagai instrumen kepentingan
penjajah di wilayah jajahannya dimana VOC misalnya mendiskriminasikan pribumi
sebagai warga kelas dua.
Ada lima langkah yang dilakukan Orde Baru untuk
“menyempurnakan” hukum sebagai alat untuk menjinakkan masyarakat: Pertama,
melakukan kooptasi terhadap lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk Mahkamah
Agung (MA) sehingga menyebabkan MA kehilangan fungsi pro justitia-nya. Kedua,
memusnahkan pranata sosial, misalnya peradilan adat atau kearifan lokal yang
selama bertahun-tahun menjadi mekanisme penjaga keseimbangan dalam lingkungan
adat tertentu. Ketiga, kanalisasi semua pertarungan dan konflik yang
terjadi di masyarakat pada peradilan yang disediakan negara sehingga negara
dapat mengontrol konteks, peristiwa dan putusan yang akan ditetapkan. Keempat,
membentuk instrumen-instrumen quasi untuk menyelesaikan masalah
masyarakat. Pengadilan, DPR dan lembaga tinggi negara lainnya dibentuk
seakan-akan bekerja untuk keadilan, namun ternyata hanya pura-pura, tidak beres
dan tidak jelas. Dan kelima, persoalannya bukan hanya imparsialitas dan
independensi, namun juga masuknya praktek-praktek kolusi, korupsi dan
nepotisme.
Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara
menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan
ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Law enforcement menjadi
kehilangan ruang, sehingga Ronald Katz kemudian menyebutkan bahwa apa yang
terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak
berguna.
b.
Hukum
yang Lumpuh dan Dilumpuhkan
Dalam pandangan Lord Acton, upaya perbaikan hukum secara
menyeluruh menyangkut perubahan pada the content of the law, the structure
of the law, dan the culture of the law. Persoalannya, di Indonesia
perubahan yang dilakukan semata-mata baru pada the content of the law,
seperti dengan membuat sebanyak mungkin undang-undang dan peraturan untuk
mengatasi persoalan di masyarakat, itu pun seringkali tidak didasarkan pada
pembacaan yang sungguh-sungguh atas kebutuhan masyarakat akan undang-undang dan
peraturan serta tidak dirumuskan secara partisipatoris (kasus upaya pemaksaan
pengesahan undang-undang Penanggulangan Keadaan Bahaya misalnya).
The structure of the law-nya masih dihuni oleh
pejabat-pejabat yang bermasalah dan berperan aktif dalam rangkaian keputusan
atau praktek hukum yang menyimpang. Apalagi the culture of the law-nya,
budaya sogok dan suap jauh lebih menonjol ketimbang profesionalisme sebagai
aparatur penegak hukum.
Kondisi hukum yang lumpuh ini semakin diperparah dengan
ketiadaan keseriusan pemerintah untuk mengedepankan agenda law erforcement
dan hambatan-hambatan politis lainnya. Desakan untuk melakukan pembersihan
secara radikal terhadap institusi hukum (Kejaksaan Agung, Kepolisian, Mahkamah
Agung) serta pencabutan keputusan-keputusan yang melanggar prinsip-prinsip
keadilan (TAP MPRS No XXV dan UU Subversif) yang pernah dirintis Abdurahman
Wahid, tidak lagi berlanjut seiring dengan jatuhnya Wahid. Upaya Gus Dur justru
dihambat dengan berbagai cara, termasuk dengan penggulingan dirinya.
Artinya, dalam kondisi dimana proses pemulihan hukum dari
kelumpuhan tengah berlangsung, upaya-upaya untuk mempertahankan kelumpuhannya
juga gencar dilakukan berbagai pihak. Dalam konteks transisional, semua upaya
tersebut dilakukan tidak lain untuk mempertahankan ketidakpastian hukum demi
membebaskan pihak-pihak yang bermasalah sekaligus tetap mempertahankan previledge
yang hanya dapat dipetik dalam situasi ketidakpastian (pengadilan mantan
presiden Soeharto misalnya.
Ada proses demoralisasi yang panjang dalam dunia hukum kita.
Juga ada masalah sistem yang mendukung munculnya demoralisasi tersebut. Sistem
peradilan kolonial yang kita gunakan secara tambal sulam tidak direvisi total
pada tataran prinsipil untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan peradilan yang
berkeadilan namun lebih merupakan alat kontrol yang represif. Sehingga barang
siapa yang ingin selamat dari jerat hukum, dia akan melakukan upaya-upaya
kolusi yang mendorong suburnya demoralisasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam
realitas empiris hukum lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang
melatarbelakanginya. Kalimat-kalimat yang ada dalam aturan hukum tidak lain
merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan.
Dalam kenyataan terlihat bahwa politik sangat menentukan bekerjanya hukum.Namun
melihat ketidakjelasan politik hukum pada di era transisi ini, munculnya elemen
kritis di kalangan masyarakat sipil, pemerintahan yang efektif dan kuat, serta
lembaga pengadilan yang mampu menguji peraturan di dalam bingkai UUD 1945
menjadi sebuah keniscayaan.
Dengan
dasar di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keadilan akan dapat terwujud
apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak
pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya
lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan
kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang
dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip-prinsip
membangun supremasi hukum yang berkeadilan.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahfud MD,
Moh.1993. Perkembangan Politik Hukum, disertasi doctor dalam Ilmu Hukum
di Universitas Gadjah Mada : Yogyakarta
Moh.
Mahfud MD.1999, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia. Gama Media :
Yogyakarta.
Rahardjo,
Satjipto,1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancangan antar disiplin dalam
Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Sinar Baru.
Artikelnya bagus dan menjelaskan secara rinci mengenai sejumlah aspek Hukum
BalasHapus