KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Antropologi Hukum”Pada makalah ini kami banyak
mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak
.oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih
sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh
dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima
kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Taluk Kuantan, November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................ 2
1.3 Tujuan.............................................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1 Pengertian
Antropologi.................................................................................... 3
2.2 Antropologi
Dalam Konteks Pengetahuan Di Indonesia................................. 5
2.3 Pentas Antropologi di Indonesia...................................................................... 6
2.4 Peranan Ahli Antropologi Kesehatan terhadap
Penanganan
Masalah Kesehatan Masyarakat...................................................................... 9
2.5 Peranan Antropologi Dan Partisipasi
Masyarakat Dalam
Memamfaatkan Pelayanan Kesehatan Yang
Disediakan
Pemerintah...................................................................................................... 9
2.6 Peranan Antropologi Kesehatan Dalam
Pembangunan Masyarakat............ 10
BAB III PENUTUP.................................................................................................... 12
3.1 Kesimpulan.................................................................................................... 12
3.2
Saran............................................................................................................... 13
DAFTARPUSTAKA.................................................................................................. 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Antropologi secara etimologis berasal dari bahasa Yunani.
Kata Anthropos berarti mansia dan logos berarti ilmu pengetahuan. Jadi,
antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Oleh karena itu antropologi
didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai ilmu pengetahuna sebelumnya.
Pitirim Sorokim mengatakan bahwa Sosiologi adalah suatu ilmu
yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam
gejala-gejala sosial (gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum
dengan ekonomi) dengan gejala lainnya (nonsosial).
Berbeda dengan pendapat Rouceke dan Warren yang mengatakan bahwa
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan manusia dengan
kelompok-kelompok.
Nah berasarkan uraian di atas, maka Sosiologi adalah jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat sebagai ilmu. Ia berdiri sendiri karena telah memiliki unsur ilmu pengetahuan.
Nah berasarkan uraian di atas, maka Sosiologi adalah jelas merupakan ilmu sosial yang objeknya adalah masyarakat sebagai ilmu. Ia berdiri sendiri karena telah memiliki unsur ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu antropologi hukum dipelajari juga mengenai Peran,
Status atau kedudukan, Nilai, Norma dan juga Budaya atau kebudayaan. Kesemuanya
ini merupakan hal-hal yang sangat erat kaitannya dengan ilmu antropologi hukum.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Adapun
Rumusan Masalah dari Latar Belakang diatas adalah untuk mengetahui manfaat –
manfaat apa saja yang terkandung di dalam antropologi hukum.
- Apakah pengertian Peran/peranan.role dalam ilmu antropologi hukum?
- Apakah pengertian Status/kedudukan dalam ilmu antropologi hukum?
- Apakah pengertian Nilai dalam ilmu antropologi hukum?
- Apakah pengertian Norma dalam ilmu antropologi hukum?
- Apakah pengertian Budaya/Kebudayaan dalam ilmu antropologi hukum?
1.3 Maksud dan Tujuan
- Memberikan gambaran teori mengenai Peran, Status, Nilai, Norma, dan juga Budaya/kebudayaan dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai sasaran ilmu Sosiologi.
- Sebagai arahan agar saya sebagai mahasiswa dapat mengkorelasikan hubungan antara teori Peran, Status, Nilai, Norma dan Budaya/kebudayaan dengan kehidupan masyarakat di kehidupan yang nyata.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Antropologi
Antropologi
berasal dari kata Yunani άνθρωπος (baca: anthropos) yang berarti "manusia"
atau "orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi
mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Antropologi
memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu dan tiap
dimensi kemanusiannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan
antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada
perbandingan/ perbedaan budaya antar manusia. Walaupun begitu sisi ini banyak diperdebatkan
dan menjadi kontroversi sehingga metode antropologi sekarang seringkali
dilakukan pada pemusatan penelitan pada pendudukyang merupakan masyarakat
tunggal.
a. Definisi
Antropologi menurut para ahli
- William A. Havilan: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
- David Hunter:Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia.
- Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian
sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi
keanekaragaman fisik serta kebudayaan
(cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga
setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
b.
Sejarah
Seperti
halnya sosiologi,
antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam
perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi
menjadi empat fase sebagai berikut:
· Fase
Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Manusia
dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi. Sekitar abad
ke-15-16,
bangsa-bangsa di Eropa
mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika,
Amerika,
Asia,
hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya
mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku
yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian
mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala
sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri
fisik, kebudayaan, susunan masyarakat,
atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku
asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi
atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.
Bahan
etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada
permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku
luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul
usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
· Fase
Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah
disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi
masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara
perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap
bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif
yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis,
mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk
memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan
manusia.
· Fase
Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba
membangun koloni
di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka
membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari
bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa
Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial
negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian
menaklukannya.
Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan
etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan
kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
· Fase
Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada
fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku
bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh
kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di
Eropa, Perang Dunia II.
Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa
sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu
menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak
berujung.
Namun
pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme
bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan.
Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak
masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah
menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses
perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan
kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di
daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp.
2.2 Antropologi Dalam Konteks
Pengetahuan Di Indonesia
Secara umum masyarakat
Indonesia akan mengenal Pak Koen (Koentjaraningrat-red) sebagai Bapak
Antropologi Indonesia mengingat peran dan jasanya dalam mengembangkan ilmu
antropologi di Indonesia, hanya saja peran dan jasanya tersebut akan kita
pertanyakan kembali pada saat sekarang ini, relevankah pada saat sekarang ini
?.
Sejarah perkembangan
ilmu antropologi di Indonesia tidak lepas dari peran para sarjana Indonesia
yang mengecap pendidikan ilmu antropologi di daerah perkembangannya (Amerika
Serikat, Eropa, dan negara lainnya di luar Asia). Pengetahuan yang mereka gali
tentang antropologi pada masa awal perkembangannya menjadikan diri mereka
"the one and only" di negara Indonesia ini. Tulisan ini tidaklah untuk
menyudutkan mereka-mereka yang telah bersusah payah mengembangkan ilmu
antropologi di Indonesia namun untuk menyadarkan bahwa ilmu bukanlah milik
perorangan namun ilmu dilihat sebagai suatu kebebasan dalam berekspresi menurut
kaidah ilmu itu sendiri sehingga hal ini memungkinkan untuk menjadikan
seseorang memiliki pendapat sendiri terhadap suatu masalah dan tidak menjadikan
pendapat seorang menjadi rujukan akhir.
Dalam proses
perkembangannya ilmu antropologi di Indonesia secara umum mengerucut menjadi
ilmu yang menjadi penopang proses "pembangunan", hal ini menjadi
rancu ketika para mahasiswa diajarkan untuk berusaha berfikir bukan diajarkan
untuk bersandar pada pendapat yang telah ada tanpa adanya proses metodologis
terlebih dahulu. Perkembangan tersebut menjadi terhenti ketika para antropolog
berlomba-lomba untuk menjadi "agen pembangunan" dalam artian sebagai
makelar proyek pembangunan yang secara eksplisit merupakan penistaan terhadap
ilmu yang diperolehnya melalui serangkaian proses pendidikan, hal ini dapat dilihat
secara kasat mata dengan hilangnya mata pelajaran antropologi dalam kurikulum
sekolah menengah atas, apakah ini merupakan tindakan yang tidak disengaja
ataukah usaha untuk mengkerdilkan peran antropolog atau juga suatu usaha untuk
menjadikan ilmu antropologi sebagai suatu ilmu yang tidak tepat guna ?.
Pada bagian ini akan
ditutup dengan pernyataan bahwa sebagai cabang ilmu pengetahuan, antropologi
memiliki kebebasan bagi para penganutnya untuk menjadikan ilmu antropologi
sebagai pengetahuan untuk berfikir dan bertindak.
2.3 Pentas Antropologi di Indonesia
Di Indonesia ilmu
modern sangat terkait dengan "nilai guna". Di bawah rezim
pembangunan, ruang untuk berfilsafat sangat sempit. Kalau pengetahuan tidak
punya aplikasi langsung, dianggap tidak penting, malahan membingungkan atau
membahayakan masyarakat yang seharusnya "berpembangunan-ria"
Kewarganegaraan seseorang didefinisikan dengan penilaian sejauh mana
intelektualitas, maupun subyektivitas, bisa ditujukan pada pengabdian negara
dan modal. Demikian pula status antropologi yang berfungsi sebagai abdi-dalem
pemerintah dan jarang memberi kesempatan kepada pemikir tandingan.
Namun, kecenderungan
antropologi di Indonesia mendukungi status quo tidak bisa dibebankan hanya pada
dosa Orde Baru. Asal-usul antropologi, di Barat maupun di Indonesia, terkait
intim dengan sejarah kolonialisme. Para pejabat kompeni pada zaman dulu wajib
menulis laporan bukan hanya tentang daerah yang akan diambil atau sumber daya
alam yang akan dieksploitasi, tetapi tentang karakter masyarakat yang sedang
dijajah.
Catatan semacam ini
diberi nama etnologi, menawarkan penggambaran watak khas suatu masyarakat.
Informasi ini digunakan untuk mempermudah penguasaan kaum pribumi. Antropologi
menjadi sebuah teknologi utama guna menjalankan kontrol sosial serta
memungkinkan pola penjajahan dengan sistem indirect rule: penundukan
dilaksanakan melalui institusi lokal dan pemimpin setempat dengan kodifikasi
hegemoni lokal atas nama adat.
Penekanan pada katalog
perbedaan budaya memunculkan apa yang pernah diidentifikasikan oleh kritikus
sastra, Homi Bhabha, sebagai paradoks kolonialisme: yang dijajah disuruh
menjadi white but not quite, atau diajak berpartisipasi dalam struktur
penjajahan lewat perbedaan mereka. Dari satu sisi, keaslian masyarakat
dianggap, menurut "kebijakan etis" Belanda, sebagai sesuatu yang
harus dijaga untuk mencegah yang lemah dari pencemaran gelombang
"baratisasi". Tetapi, dari sisi lain, sistem ketidakadilan sosial
diperkuat dengan melestarikan kelemahan tersebut.
Dengan mengklasifikasikan
dan memelihara diferensiasi budaya, antropologi Belanda bukan hanya mengizinkan
kolonialisme berfungsi, tetapi menyelimuti kekuasaan dalam bungkus yang indah,
moral dan ilmiah. Setelah Pemerintah Belanda angkat kaki dari Tanah Air, Indonesia
memproklamasikan kemerdekaan lalu menyandang status sebagai negara yang sedang
berkembang. Namun, antropologi masih terus dibayangkan sebagai ilmu yang bisa
digunakan merapatkan kontrol sosial daripada ilmu yang benar-benar untuk
pembebasan. Melalui tangan Koentjaraningrat, salah seorang pendekar ilmu
kebudayaan Indonesia, antropologi Indonesia menjadi alat penting untuk proyek
nasionalisme.
Praktik-praktik
kultural yang sangat variatif dilihat menurut sebuah skala implisit yang
mengukur sejauh mana kehidupan seseorang cocok dengan sebuah "kultur
nasional" yang ideal. Antropologi diberi tugas menggali "mentalitas
budaya Indonesia" yang akan dijadikan modal sosial untuk menyokong
pembangunan. Mahasiswa antropologi dikirim ke daerah-daerah
"terpencil" untuk meneliti perilaku menabung, pola makan, sikap
terhadap kebersihan, urusan mengisi waktu luang, nilai anak, budaya berlalu
lintas, sampai pada konsep sehat dan sakit-informasi yang bisa dipakai untuk
"memerdayakan" yang "belum berbudaya".
Sedangkan di pusat
kekuasaan nasional di Jawa dan Bali, antropolog-antropolog dikerahkan
mengumpulkan informasi tentang "puncak-puncak kebudayaan" daerah yang
mampu mempromosikan keberadaban Indonesia. Meskipun antropologi di Barat dan
antropologi di Indonesia lahir dari colonial encounter yang sama, di zaman
pascakolonial mereka mengikuti jalur yang sangat berbeda. Di negara-negara
Barat, dewasa ini antropologi, di antara semua cabang ilmu sosial, mungkin
mempunyai status sosial yang paling marginal. Di antara semua ilmuwan sosial,
antropolog rata-rata digaji paling rendah, sama dengan para "ahli
marginalitas" lain di jurusan kajian perempuan, studi Afrika-Amerika, atau
pusat kajian lesbian dan gay.
Antropologi sering
dianggap sebagai disiplin yang "kurang ilmiah" sebab memakai metode
berbicara langsung dengan masyarakat, dan memberi perhatian terhadap orang yang
"tidak penting" di dunia ketiga atau kelompok pinggir dunia pertama.
Status antropologi adalah cermin dari dekatnya cabang ilmu ini dengan mereka yang
terpinggirkan akibat ketimpangan struktural yang terjadi pada masyarakat
industri-kapitalis dengan aneka ragam masalah, seperti diskriminasi ras,
ketaksetaraan gender, dan kemiskinan. Keakraban sang antropolog dengan
kehidupan ghetto di perkotaan, pecandu minuman keras, penyalah guna narkoba,
siasat hidup buruh, korban HIV, para migran, penghuni panti jompo, dan pengemis
telantar menggeser kedudukan pengetahuan ini semakin ke "garis tepi".
Namun, di Indonesia,
antropologi menempati posisi ganda. Meskipun antropologi dihargai sebagai ilmu
yang berguna untuk "pencerahan", sebagian besar antropolog Indonesia
melakoni hidup prihatin sebagai dosen atau pengajar dengan gaji yang serba pas-
pasan dibandingkan dengan para ahli kedokteran atau ilmu politik-atau tentu
saja politisi. Salah seorang teman dosen perguruan tinggi dengan tiga orang
anak, ditambah tuntunan kredit rumah dan biaya SPP, mengakui dengan jujur bahwa
jangankan mengajar, membaca buku kuliah saja tidak sempat karena sibuk mencari
uang tambahan sebagai calo jual-beli mobil.
Dengan kesal dia
mengeluh, "Karena masalah keuangan, beli buku anak- anak saya prioritaskan
lebih dulu daripada beli publikasi baru." Antropolog-antropolog di dunia
universitas juga menghadapi fasilitas minim dan ketiadaan perpustakaan yang
memadai sebagai denyut jantung kehidupan universitas. Di sinilah salah satu
dilema antropologi di Indonesia: punya posisi hegemonis karena memainkan
peranan sentral dalam pembangunan sebagai peracik resep modernitas, tetapi dari
sisi lain dianggap marginal karena bergumal dengan subkultur kehidupan mereka
yang tak beruntung.
Dengan pendidikan dan
harga diri yang begitu tinggi, banyak antropolog Indonesia sangat gampang
ditarik dari kampus untuk mengabdi pada kapital. Begitu Pemerintah Indonesia
berkeinginan menarik modal asing, antropolog menaruh minat pada jasa komersial.
Mereka mengambil proyek penelitian yang disponsori oleh sektor swasta seperti
perbankan, perusahan detergen, jaringan waralaba pramusaji, industri farmasi,
maupun biro iklan yang ingin mengerti bagaimana menjual mi instan kepada
suku-suku Papua yang lebih suka ketela dan sagu, atau bagaimana memasyarakatkan
kondom, IUD, padi unggul, dan pupuk kimia.
Di Bali, antropologi
juga bisa diuangkan lewat industri pariwisata. Kalau di zaman kolonial orang
asing datang ke Bali untuk transaksi rempah-rempah dan budak, di zaman modern
mereka datang membeli komoditas yang disebut kebudayaan dan para antropolog
bisa berfungsi sebagai juragannya. Di Bali, untuk menyambut kedatangan sang
pembawa devisa, berjamurlah sekolah pariwisata maupun perguruan tinggi yang
menawarkan kurikulum "kebudayaan" yang dibidani oleh insan-insan
akademis. Di sinilah terletak benang kusut diskursif antara pengetahuan,
takhta, dan uang.
2.4 Peranan Ahli Antropologi Kesehatan
terhadap Penanganan Masalah Kesehatan Masyarakat
Peranan antropologi
dalam menangani masalah kesehatan. Fokus program-program tersebut pada
penanganan kebiasaan buruk yang menyebabkan sakit, penanganan partisipasi
masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang disediakan pemerintah,
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dengan memperhatikan kualitas manusia
tenaga kesehatan dan penanganan dampak ekologi terhadap kesehatan manusia.
Seperti sudah diuraikan di atas bahwa antropologi kesehatan mengkaji biokultural
kesehatan manusia dan ini berarti penggunaan tenaga antropologi sangat
dibutuhkan dalam penanganan program-program kesehatan tersebut. Atau tenaga
kesehatan yang bekerja di Dinas Kesehatan Provinsi Papua yang tersebar
diberbagai kabupaten kota di Papua perlu memiliki pengetahuan antropologi
kesehatan dalam mengatasi masalah-masalah praktis yang mereka hadapi di
lapangan.
Penggunaan tenaga
antropologi kesehatan dalam program-program pembangunan kesehatan,.
keterlibatan tenaga antropologi kesehatan dipakai untuk riset-riset tertentu
saja, tetapi belum pernah digunakan dalam perencanaan pembangunan kesehatan,
keterlibatan sebagai konsultan dalam penanganan kegiatan program kesehatan di
Dinas Kesehatan.
Tetapi tenaga kesehatan
belajar antropologi pernah di programkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua
bekerjasama dengan Jurusan Antropologi Uncen pada tahun 1998. 15 orang tenaga
perawat dari 12 kabupaten dan 2 kota di Provinsi Papua belajar Antropologi di
Program studi Antropologi UNCEN. Saat ini mereka telah menyelesaikan pendidikan
antropologinya di Uncen, sayangnya sampai saat ini belum ada evaluasi bagaimana
penggunaan ilmu antropologi kesehatan dalam penanganan masalah kesehatan.
2.5 Peranan Antropologi Dan Partisipasi
Masyarakat Dalam Memamfaatkan Pelayanan
Kesehatan Yang Disediakan Pemerintah
Antropologi mempunyai
metode yang khas dan tidak dimiliki oleh ilmu-ilmu lain, yaitu Observasi
partisipasi. Metode ini yang sering menghebohkan dunia ilmu pengetahuan dengan
penemuan-penemuan baru yang sangat berguna dalam membangun suatu masyarakat.
Kadang-kadang di lingkungan dunia “praktis”, cara masuk untuk menumbuhkan
partisipasi masyarakat sangat lambat dan bahkan tidak berhasil karena
pendekatan yang digunakan keliru. Ilmu Antropologi memahami kebudyaan manusia
dan mengerti orientasi nilai dalam suatu
masyarakat yang menjadi acuan dalam hidupnya untuk melakukan sesuatu
(partisipasi dalam bahasa dunia “praktis”).
Dengan memahami
orientasi nilai ini, partisipasi sangat mudah dibangun dalam menjalankan program
pembangunan. Disinilah letak penggunaan ilmu antropologi dalam meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Oleh karena itu tenaga
antropologi sangat dibutuhkan dalam program pembangunan kesehatan di Papua. Sering
terjadi pada masyarakat sederhana lebih percaya pada pengobatan tradisional
dari pada pengobatan modern karena alasan nilai yang dipakai untuk melihat
sistem pelayanan yang dibangun oleh kedua pengobatan tersebut. Ahli antropologi
lebih memahami konsep ini daripada tenaga kesehatan. Konsep “Etik” dan Konsep
“Emik” lebih dikuasai oleh ahli antropologi daripada tenaga kesehatan. Oleh
karena itu ahli antropologi sangat dibutuhkan dalam merancang sistem pelayanan
kesehatan moderen yang bisa diterima masyarakat tradisional.
2.6 Peranan Antropologi Kesehatan Dalam
Pembangunan Masyarakat
Dalam bagian ini saya
akan menguraikan peranan Antropologi Kesehatan dalam menjalankan
program-program pembangunan yang direncanakan untuk memberikan perawatan
kesehatan yang lebih baik pada masyarakat. Ini berarti merupakan penerapan
masalah pengetahuan Antropologi Kesehatan dan konsekuensinya.
Fokus yang dibicarakan
dalam bagian ini adalah mengenai antropologi tentang kesehatan atau antropologi dalam kesehatan. Ini berarti membahas kesehatan dari perspektif
antropologi “sebagai ahli antropologi” dan membahas ahli antropologi sebagai
pekerja kesehatan.
Untuk menjadi seorang
ahli antropologi kesehatan, seseorang memerlukan dasar latihan antropologi yang
baik, pengalaman penelitian, naluri terhadap masalah, simpati terhadap orang
lain dan tentu saja dapat memasuki dunia kesehatan dan masyarakat kesehatan
yang bersedia menerima kehadiran para ahli antropologi itu.
Ahli antropologi
mempunyai banyak ladang di dalam lembaga kesehatan atau “masyarakat kesehatan”
sebagai tempat kajiannya seperti rumah sakit jiwa, rumahsakit umum, dokter
praktek, para pasien, sekolah-sekolah kedokteran, klinik-klinik, puskesmas dan
“masyarakat kesehatan” lainnya. Metode-metode penelitian yang sama seperti yang dipergunakan ahli antropologi
pada umumnya dalam penelitian tradisional dapat diterapkan kepada
lingkungan-lingkungan itu (“masyarakat kesehatan”).
Pranata-pranata
kesehatan dalam arti yang luas adalah sejumlah lapangan penelitian yang sangat
produktif bagi para ahli
antropologi. Namun tidaklah cukup jika hanya pranata kesehatan saja yang
dipelajari. Para ahli antropologi harus dapat memasuki pranata itu. Meneliti pranata kesehatan dalam masyarakat
tradisional tidak memerlukan para tenaga kesehatan, tetapi meneliti “masyarakat
kesehatan” tidak cukup seorang ahli antropologi, tetapi ia harus diterima dalam
pranata masyarkat kesehatan dan membutuhkan bantuan tenaga profesional
kesehatan yang lain.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia. Oleh
karena itu antropologi didasarkan pada kemajuan yang telah dicapai ilmu
pengetahuan sebelumnya. Pengertian Antropologi dapat dilihat dari 2 sisi yaitu
Antropologi sebagai ilmu pengetahuan artinya bahwa Antropologi merupakan
kumpulan pengetahuan-pengetahuan tentang kajian masyarakat dan kebudayaan yang
disusun secara sistematis atas dasar pemikiran yang logis. Dan pengertian Antropologi yang
kedua adalah cara-cara berpikir untuk mengungkapkan realitassosial dan budaya
yang ada dalam masyarakat dengan prosedur dan teori yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah.
Setelah di kaji kita dapat mengemukakan hasilnya bahwa
manfaat di dalam antropologi hukum sangat luas.Antropologi hukum telah
memberikan kontribusi yang sangat besar bangi perkembangan ilmu hukum.Dan
kesimpulan yang dapat diambil adalah dimana pun kita ,kita tidak akan pernah
jauh dari hukum selama kita berada di Negara hukum.
Peranan adalah aspek dinamis dari kedudukan, yaitu seorang
yang melaksanakan hak-hak dan kewajibannya.Status adalah tempat atau posisi
seseorang dalam suatu kelompok sosial. Sedangkan kedudukan sosial (social
status) artinya tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan
dengan orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya, dan hak-hak
serta kewajiban-kewajibannya.
Namun untuk mempermudah dalam pengertiannya maka dalam kedua
istilah di atas akan dipergunakan dalam arti yang sama dan digambarkan dengan
istilah “kedudukan” (status) saja. Nilai (Nilai Sosial) adalah nilai yang
dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk oleh masyarakat. Norma adalah seluruh kaidah dan peraturan yang
diterapkan melalui lingkungan sosialnya. Budaya adalah hal-hal yang berkaitan
dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan merupakan keseluruhan pengertian,
nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial,
religius, dan lain-lain, tambahan lagi segala pernyataan intelektual dan
artistik yang menjadi ciri khas suatu masyarakat.
3.2 Saran
Seharusnya manusia sadar akan peranannya di dalam masyarakat
itu, menghargai nilai-nilai yang dipercaya oleh mayarakat, status sosial
seseorang di nilai dari ke aktifan orang itu di dalam masyarakat Norma
masyarakat yang di buat oleh masyarakat dan untuk masyarakat, seharusnya harus
di patuhi bukannya di langgar, namun ada kalanya norma itu dilanggar ketika
norma itu melanggar agama dll. Hargai orang lain, supaya kita dihargai oleh
rang lain karena tingkah laku kita mempengaruhi kedudukan sosial kita.
DAFTAR PUSTAKA
M.J.
Herskovits.2006. Antropologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada Ensiklopedi Indonesia, 16.45, 18 Februari 2009 http://www.id.wikipedia.org
Huky,
Wila. Drs. D. A. 1986. Antropologi. Surabaya: Usaha Nasional
Koentjaraningrat.
Prof. Dr. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto,
Soerjono. Prof. Dr. 1984. Antropologi Hukum. Jakarta: CV. Rajawali
Wignjodipuro,
Surojo. S.H. 1968. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta: Gunung
Agung.
ijin copy, gan...
BalasHapusThis blog is very helpful, I hope this blog can continue to grow even better.
BalasHapusYour writing must have many fans.
Keep giving the best and latest news, always success.
I need your help guys.
please help me share and click my personal blog and link, thanks
https://den168rtp.com/