Senin, 05 Desember 2016

MAKALAH PERLADANGAN DAN PEKARANGAN



KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “ Perladangan dan Pekarangan “. Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
           





                                                                      Taluk Kuantan,    November 2015


Penyusun

DAFTAR ISI



Kata Pengantar........................................................................................................ i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................ 2
1.3 Tujuan Makalah............................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 3
BAB III PEMBAHASAN........................................................................................ 6
2.1 Defenisi Perladangan................................................................................... 6
2.2 Defenisi Pekarangan..................................................................................... 11
BAB IV PENUTUP................................................................................................. 16
3.1  Kesimpulan.................................................................................................. 16
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 17








BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Indonesia merupakan negara sangat luas dan merupakan negara maritim terluas di dunia, jumlah pulau Indonesia sebanyak 13.466 pulau dan luas lahan di Indonesia adalah 1.910.931,32 km2 yang terdiri dari yang terbentang dari sabang hingga merauke. Dari jumlah luasan tersebut yang menjadi lahan produktif bagi sektor pertanian adalah sekitar 7,75 juta hektar dari keseluruhan luas lahan di Indonesia. Jumlah ini tentu saja tidak cukup luas dibandigkan dengan luasan lahan produktif yang dimiliki dan juga jumlah penduduk yang mencapai 250 juta jiwa di tambaha lagi dengan peningkatan konversi lahan pertanian dari tahun ke tahun mencapai 80.000 hektar per tahunnya menjadi lahan yang non pertanian.
Jumlah produksi dari produk–produk pertanian semakin menurun, di karenakan alih fungsi lahan pertanian disatu sisi pertumbuhan penduduk terus meningkat, praktis hal ini akan berpengaruh terhadap jumlah permintaan pasar terhadap produk–produk pertanian. Beberapa upaya yang telah di lakukan oleh pemerintah adalah diantaranya dengan pembukaan lahan baru untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian, sebagai upaya mendukung terhadap program pemerintah, sebenarnya banyak lahan tidur yang tidak termanfaatkan di daerah kota seperti pemanfaatan lahan di pekarangan rumah termasuk diantara lahan tidur yang masih belum termanfaatkan di karenakan kehidupan dan mobilitas dari penduduk kota sangat tinggi sehingga penduduk kota masih kurang sadar untuk memanfaatkan lahan di pekarangan di bandingkan dengan penduduk desa di karenakan mobilitas penduduk desa tidak terlalu tinggi di bandingkan di kota.




1.2    Rumusan Masalah
1.     Apa defenisi perladangan ?
2.     Apa defenisi pekarangan ?

1.3    Tujuan Makalah
1.     Untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen pada mata kuliah agroekosistem.
2.     Untuk mengetahui defenisi perladangan cera luas.
3.     Untuk mengetahui defenisi dari pekarangan.
















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Perladangan masih merupakan cara hidup penting bagi sebagian masyarakat miskin dan terpencil di pedesaan. Transformasi perladangan sebagaimana yang terjadi di Sumatra, baik ke arah positif atau negatif, terjadi juga di daerah lain. Kiranya, akan lebih bermakna bilamana proses transisi pola perladangan secara gradual dan sistem agroforestry yang terbentuk dalam proses evolusi tersebut dibiarkan berjalan sesuai dengan harapan masyarakat lokal.
FAO (Food Agriculture Organisation) melihat peladang ini sebagai suatu bencana International yang perlu segera mendapat perhatian. Hal ini terbukti dengan diterbitkannya buku L ‘agriculture nomade pada tahun 1956 oleh G. Tondeur yang membicarakan masalah perladangan di Congo dan Afrika Barat, kemudian 1957 diterbitkan buku yang kedua, Hanunoo agriculture di daerah Philiphina oleh H.C. Conklin. FAO memberikan perhatian besar terhadapa persoalan ini dan telah mengambil inisiatif untuk menggalakkan studi tentang obyek ini melalui cabang kehutanan dan Industri Kehutannannya.
Tujuan FAO mengatasi perladangan adalah untuk mempropagandakan metode-metode pertanian-pertanian modern yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas produksi yang berguna dan hasil-hasil hewan yang dapat diperoleh dari tanah-tanah yang tersedia. Keperluan utama didaerah tropik basah adalah intensifikasi pertanian dan penambahan hasil persatuan luas. Peralihan dari pertanian tradisional ke pertanian yang telah berkembang dengan baik seringkali amat sukar untuk dicapai, dan penggunaan metode-metode yang intensif di dalam keadaan ini seringkali berakhir dengan kegagalan.
Teknik-teknik perladangan sama saja dimana-dimana yakni penebangan dan pembakaran vegetasi berkayu diikuti dengan penanaman selama satu, dua, atau tiga tahun, kemudian tanah ditinggalkan dan kembali menjadi hutan atau tutupan belukar selama periode yang panjang. Selain kesamaan ini, perladangan mempunyai perbedaan-perbedaan dalam hal tipe dan kehidupan daripada peladangnya sendiri. Kemudian para peladang sangat berbeda dari satu tempat ketempat lain dimana perladangan tersebut tidak selalu mengarah ke kehidupan nomadik.
Di Indonesia, banyak dijumpai perladangan berpindah-pindah karena merupakan kebiasaan yang sudah menjadi adat, sudah menjadi way of life dari penduduk yang bersangkutan. Pandangan ini didasarkan pada pengamatan mereka, bahwa perladangan berpindah-pindah itu dilakukan oleh orang berabad-abad lamanya tanpa sesuatu perubahan yang berarti.
Tetapi menurut Soedarwono, Dosen Fakultas Kehutanan UGM, penyebab adanya perladangan berpindah di Indonesia bukan karena adatnya sudah begitu. Perladangan berpindah, sesuatu bentuk pertanian yang resultante dari pengaruh alam lingkungan yang memaksa manusia bertindak menyesuaikan diri.
Lahan adalah suatu lingkungan fisik terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia, baik masa lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam Arsyad, 1989).
Penggunaan lahan (land use) dapat diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun spiritual (Arsyad, 1989, Talkurputra, et.al.1996).
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan ke dalam dua golongan besar,yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, lalang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000).
Hasil penelitian yang dilakukan Suharto (1994) tentang optimalisasi alokasi penggunaan lahan di DAS Solo Hulu, Jawa Tengah, ditinjau dari segi erosi,sedimentasi, dan debit menunjukkan erosi yang terbesar terjadi pada penggunan lahan tegalan buruk, Kemudian diikuti oleh lahan pekarangan, lahan tegalan baik, lahan hutan, dan yang paling rendah lahan sawah



















BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Defenisi Perladangan
A.    Pengertian Perladangan
Berladang merupakan kegiatan bercocok tanam oleh sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan tradisi budaya. ‘Perladangan bergilir’ atau biasa dikenal dengan ‘perladangan berpindah’, adalah istilah lain yang menggambarkan masa tanam dan masa bera yang berlangsung secara bergiliran. ‘Sistem tebas dan bakar’, mengacu pada konsep ladang bergilir, yang dalam proses penyiapan lahan diawali dengan cara ‘tebas dan bakar’. Namun demikian, cara ini seringkali dihubungkan dengan pengrusakan atau perambahan hutan karena dilakukan dalam skala luas oleh perkebunan besar atau petani pendatang.
Istilah seperti berladang, perladangan bergilir, sistem tebas bakar, mengacu pada deskripsi aktivitas perladangan. Secara teknis, istilah-istilah tersebut memiliki makna dan arti yang nyaris serupa, namun memberi langgam dan pola yang berbeda. Perubahan praktek perladangan baik secara bertahap maupun langsung dapat menjadi ‘solusi’ atau ‘masalah’, tergantung dari persepsi mana kita melihatnya. Seperti halnya dengan negara lain, dewasa ini, masalah ‘perladangan’ di Indonesia dipandang dari berbagai persepsi yang berbeda dan seringkali justru dianggap sebagai kegiatan yang melanggar hokum.
Perladangan berkembang menjadi tiga model, yaitu:
1.     ‘Agroforest’, dimana tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan bisa lebih tinggi daripada nilai tanaman pangan;
2.     Sistem pastura atau padang penggembalaan, dimana lahan didomestikasi untuk areal pakan ternak; atau
3.     Pertanian menetap sebagai bentuk intensifikasi pertanian. Misalnya penggunaan tanaman penutup tanah dari kelompok legum (kacang-kacangan) atau tanaman penyubur, penggunaan pupuk kandang yang dihasilkan dari padang penggembalaan, atau penggunaan pupuk kimia yang menggantikan fungsi masa bera sebagai unsur tambahan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Sejumlah penelitian mengenai ‘perladangan’ difokuskan hanya pada fase tanam dan kesuburan tanah. Fase tanam diartikan sebagai fase penurunan kesuburan tanah, sebaliknya fase bera merupakan fase pemulihan kesuburan tanah.
langkah awal untuk memahami dinamika tersebut.
Sistem pertanian primitive subsistence farming hanya terdapat pada daerah-daerah dengan penduduk yang masih jarang sekali. Oleh karena mayoritas pembukaan lading dilakukan dengan cara membakar, selain menimbulkan kebakaran hutan dan polusi asap, kegiatan ini akan merusak lapisan humus. Walaupun demikian, keutnungannya terdapat penambahan unsur potash dalam tanah. Tanah hutan biasanya dibuka 3 atau 2 minggu sebelum musim penghujan.
B.    Masalah Perladangan dan Akibat yang Ditimbulkan
Pedidikan masyarakat hutan yang tergolong rendah dan sulitnya mencari mata pencaharian menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah dibandingkan dengan menanam atau menebang pohon karena pohon membutuhkan jangka tumbuh yang cukup panjang dan penjualan kayu terbilang sulit karena harus mempunyai izin penebangan. Perladangan liar  ini dapat merusak hutan karena jangka waktu rotasi perladangan yang dari waktu ke waktu semakin kecil menyebabkan tidak optimalnya regenerasi hutan.
Para ahli menyarankan bahwa regenerasi hutan sebaiknya dilakukan dalam periode 20 tahun. Selama peride tersebut, kondisi tanah secara alamiah dapat diperbaiki. Dengan kondisi sudah diregenerasi, tanah tersebut dapat dimanfaatkan lagi setelah masa regenerasi. Akan tetapi, sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin cepat, kebutuhan akan lahan garapan pun semakin mendesak. Tidak heran jika saat ini, periode regenerasi hutan dipersingkat menjadi 6 hingga 8 tahun bahkan kurang dari itu. Selain konsekuensi penurunan produktivitas tanah, perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan atau degradasi lahan hutan. Definisi degradasi agak bersifat subjektif  memiliki arti yang  berbeda tergantung pada suatu kelompok masyarakat. 
Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian mengatakan bahwa hutan yang  terdegradasi adalah hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu  point/titik dimana penebangan kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang  menjadi tertunda atau terhambat semuanya.  Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi  ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi. Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah, meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat mudah terbakar di musim kemarau.
Masalah lainnya adalah masih banyak petani masih menerapkan sistem tebas bakar untuk membersihkan lahan di hutan meskipun pemerintah telah mencanangkan program ‘zero burning’ yaitu pembersihan lahan tanpa menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah studi yang dilakukan di Sumatera, dilaporkan bahwa keputusan petani untuk tetap melakukan proses pembakaran lahan disebabkan karena hal berikut:
1.      Merupakan cara yang paling efektif dan cepat dalam pembukaan lahan.
2.      Dapat menekan pertumbuhan gulma dan vegetasi liar lainnya, terutama pada siklus awal setelah penanaman tanaman pangan.
3.      Mengubah biomasa menjadi pupuk alami yang bermanfaat bagi tanaman dan tanah.
4.      Menggemburkan tanah, bibit tanaman menjadi cepat tumbuh.
5.      Merupakan cara yang efektif untuk membunuh hama dan pathogen.
Akibat sistem tebas bakar inilah maka terjadi ketidakseimbangan unsur hara karena hara mineral hilang selama masa pertanaman dan tidak dapat dipulihkan hanya dalam waktu yang singkat. Permasalahan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di negara berkembang juga semakin hangat diperdebatkan sejak masyarakat global paham akan emisi dan perubahan iklim global. Tidak dapat dipungkiri bahwa 20% emisi gas rumah kaca global terjadi karena pola penggunaan lahan dan perubahan yang terjadi di beberapa wilayah tropis. Para peladang dianggap  sebagai penyebab degradasi hutan. Muncul juga kehawatiran penerapan REDD dapat membatasi ruang gerak masyarakat terhadap sumber daya yang mereka miliki.
Keterkaitan deforestasi, pembangunan dan kemiskinan sangat kompleks dan bersifat spesifik. Namun demikian, penggunaan api sebagai metoda pembersihan lahan disebut-sebut sebagai penyebab terjadin deforestasi. Meski demikian, pada kenyataannya perubahan penggunaan lahan tanpa menggunakan api dapat menyebabkan hilangnya persediaan karbon dalam jumlah besar. Larangan penggunaan api dapat berdampak serius pada kehidupan masyarakat. Selain itu perladangan berpindah dan kebakaran memiliki korelasi yang positif, karena musim berladang umumnya pada musim kemarau.  Hasil penelitian menunjukan bahwa pada setiap musim kemarau terjadi kebakaran dimana-mana karena dipicuh oleh aktivitas perladangan.
C.    Langkah-Langkah  Penanggulangan
Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah, meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat mudah terbakar di musim kemarau. Perladangan berpindah tanpa rotasi yang cukup dan melalui cara pembakaran lahan hutan akan mengakibatkan kerusakan keanekaragaman hayati serta sumberdaya tanah dan air (erosi, kesuburan tanah menurun, meningkatnya air permukaan, rusaknya habitat satwa, rusaknya habitat satwa, berubahnya ekosistem kawasan, pemadatan tanah), bencana lingkungan (banjir, longsor, kekeringan sumber air), perubahan iklim lokal (meningkatnya suhu, berkurangnya hujan, menurunnya kelembaban) serta pencemaran lingkungan.
   Bekas perladangan liar/areal terbuka ditandai dengan jenis-jenis vegetasi yang ada seperti alang-alang, sirih-sirihan, jenis Euphatorium dan Tremor. Salah satu salah bisa dilakukan untuk membuat lahan berpindah ini menjadi bisa layak kembali sebagai hutan adalah dengan merehabilitasi lahan tersebut dengan jenis pohon-pohon pionir setempat yang potensial untuk ditanam.
   Terdapat beberapa pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery) :
a.      Pendekatan pertama adalah restorasi (restoration) yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan kembali (recreate) ekosistem hutan aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau lahan tersebutsebelumnya.
b.     Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis eksotik. Dalam hal ini tidak ada upaya untuk menrecreate ekosistem asli. Tujuannya hanyamengembalikan hutan pada kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk adalah campuran termasuk jenis asli.
c.      Alternatif terakhir adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis eksotik untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan.
Dalam hal ini tidak ada sama sekali upaya perbaikan biodeversitas asli dari suatu areal yang terdegradasi. Akan tetapi, masih ada kegiatan ladang berpindah yang mendukung keseimbangan ekosistem. Salah satu contoh kegiatan sistem perladangan berpindah yang tidak merusak hutan adalah yang dilakukan oleh orang dayak di kalimantan memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak. Seperti pada sistem mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi panjang.
3.2  Pekarangan
A.    Pengertian Pekarangan
Menurut arti katanya, pekarangan berasal ari kata “karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto, 1976). Sedang secara luas, Terra (1948) memberikan batasan pengertian sebagai berikut:
“Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan kebanyakan saling berdekaan, dan besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau desa”.
Batasan pengertian ini, di dalam praktek masih terus dipergunakan sampai sekitar dua puluh tahun kemudian. Terbukti dari tulisan-tlisan Soeparma (1969), maupun Danoesastro (1973), masih juga menggunakan definisi tersebut. Baru setelah Soemarwoto (1975) yang melihatnya sebagai suatu ekosistem, berhasil memberikan definisi yang lebih lengkap dengan mengatakan bahwa:
Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika”. (Danoesastro, 1978).
B.    Dari Segi Sosial Budaya
Ditinjau dari segi sosial budaya, dewasa ini nampak ada kecenderungan bawa pekarangan dipandang tidak lebih jauh dari fungsi estetikanya saja. Pandangan seperti ini nampak pada beberapa anggota masyarakat pedesaan yang telah “maju”, terlebih pada masyarakat perkotaan. Yaitu, dengan memenuhi pekarangannya dengan tanaman hias dengan dikelilingi tembok atau pagar besi dengan gaya arsitektur “modern”.
Namun, bagi masyarakat pedesaan yang masih “murni”, justru masih banyak didapati pekarangan yang tidak berpagar sama sekali. Kalaupun berpagar, selalu ada bagian yang masih terbuka atau diberi pintu yang mudah dibuka oleh siapapun dengan maksud untuk tetap memberi keleluasaan bagi masyarakat umum untuk keluar masuk pekarangannya.
Nampaknya, bagi masyarakat desa, pekarangan juga mempunyai fungsi sebagai jalan umum antar tetangga, atar kampung, bahkan antar desa satu dengan yang lainnya.
Di samping itu, pada setiap pekarangan terdapat”pelataran” (Jawa) atau “buruan” (Sunda) yang dapat dipergunakan sebagai tempat bemain anak-anak sekampung. Adanya kolam tempat mandi atau sumur di dalam pekarangan, juga dapat  dipergunakan oleh orang-orang sekampung dengan bebas bahkan sekaligus merupakan tempat pertemuan mereka sebagai sarana komunikasi masa (Soemarwoto, 1978).
Jadi, bagi masyarakat desa yang asli, pekarangan bkanlah milik pribadi yang”eksklusif”, melainkan juga mempunai fungsi sosial budaya di mana anggota masyarakat (termasuk anak-anak) dapat bebas mempergunakannya untuk keperluan-keperluan yang bersifat sosial kebudayaan pula.
C.    Segi Ekonomi
Selain fungsi hubungan sosial budaya, pekarangan juga memiliki fungsi hubungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi masyarakat yang hidup di pedesaan. Dari hasil survey pemanfaatan pekarangan di Kalasan, disimpulkan oleh Danoesastro (1978), sedikitnya ada empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu (Tabel 1): sebagai sumber bahan makanan, sebagai penhasil tanaman perdagangan, sebagai penghasl tanaman rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber bebagai macam kayu-kayuan (untuk kayu nakar, bahan bangunan, maupun bahan kerajinan).
Daftar berbagai macam tanaman di pekarangan petani di kelurahan Sampel, dikelompokkan menurut fungsina (Kecamatan Kalasan).
No
Golongan Tanaman
Macam Tanamannya
I

Sumber bahan makanan tambahan :
1.    Tanaman sayuran
2.    Buah-buahan
3.    Lain-lain

Ubikayu, ganyong, uwi, gembolo, tales,garut dll.
Mlinjo, koro, nangka, pete.
Pepaya, salak, mangga, jeruk, duku, jambu, pakel, mundu, dll.
II
Tanaman perdagangan
Kelapa, Cengkeh, Rambutan.
III
Rempah-rempah, obat-obatan.
Jahe, Laos, Kunir, Kencur, dll.
IV
Kayu-kayuan:
1.    Kayu bakar
2.    Bahan bangunan
3.    Bahan kerajinan

Munggur, Mahoni, Lmtoro.
Jati, Sono, Bambu, Wadang.
Bambu, Pandan, Dll.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebutlah, maka sampai pada kesimpulan bahwa bagi masyarakat pedesaan, pekarangan dapat dipandang sebagai “lumbung hidup” yang tiap tahun diperlukan untuk mengatasi paceklik, dan sekaligus juga merupakan “terugval basis” atau pangkalan induk yang sewaktu-waktu dapat dimabil manfaatnya apabila usahatani di sawah atau tegalan mengalami bencana atau kegagalan akibat serangan hama/penyakit, banjir, kekeringan dan bencana alam yang lain.
D.    Fungsi Hubungan Biofisika
Pada pandangan pertama, bagi orang “kota” yang baru pertama kali turun masuk desa, akan nampak olehnya sistem pekarangan yang ditanami secara acak-acakan dengan segala macam jenis tanaman dan sering pula menimbukan kesan “menjijikkan” karena adanya kotoran hewan ternak di sana sini. Namun, dalam penelitian menunjukkan, bahwa keadaan serupa itu adalah merupakan manifestasi kemanunggalan manusia dengan lingkungannya sebagaimana yang telah diajarkan nenek moyangnya.
Di daerah Sunda misalnya, tetapi terdapat pandangan ang oleh Hidding (1935) disebutkan:
“Manusia adalah bagian dalam dan dari satu kesatuan yang besar .Semua mempunai tempatna sendiri dari tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri.
   Dalam teori kebatinan Jawa, disebutkan bahwa sesuatu yang ada dan yang hidup pada pokoknya satu dan tunggal. Bahkan, justru pola pengusahaan pekarangan seperti itulah ternyata, yang secara alamiah diakui sebagi persyaratan demi berlangsungnya proses daur ulang (recycling) secara natural (alami) yang paling efektif dan efisien, sehingga pada kehidupan masyarakat desa tidak mengenal zat buangan.
Apa yang menjadi zat buangan dari suatu proses, merupakan sumberdaya yang dipergunakan dalam proses berikutnya yang lain. Sebagai contoh, segala macam sampah dan kotoran ternak dikumpulkan menjadi kompos untuk  pupuk tanaman. Sisa dapur, sisa-sisa makanan, kotoran manusia dan ternak dibuang ke kolam untuk dimakan ikan. Ikan dan hasil tanaman (daun, bunga, atau buahnya) dimakan manusia, kotoran manusia dan sampah dibuang ke kolam atau untuk kompos, demikian seterusnya tanpa berhenti dan berulang-ulang.
Dengan demikian kalaupun dalam proses kemajuan peradaban manusia ada sesuatu yang perlu diperbaki seperti: pembuatan jamban
 Keluarga di atas kolam, sistem daur ulang yang tidak baik dan efisiensi harus tetap terjaga kelangsungannya.
E.     Dampak Modernisasi Yang Memprihatinkan
Tetapi sayang, berbaai fungsi dari pekarangan yang begitu kompleks dan mencakup banyak segi kehidupan manusia serta pelestarian lingkungan itu kan mengalami “erosi” yang memprihatinkan karena sering hanya dijadikan korban untuk memenuhi alasan “modernisasi”.
Proyek-proyek pembangunan industri dan prasarana lain di desa pinggiran sering kurang memperhitungkan bahwa, pembangunan kompleks perumahan karyawannya yang terlampau mewah dibandingkan dengan perumahan penhuni asli dan yang dipagar keliling rapat serta mewah pula itu merupakan isolasi bagi masyarakat penatang dengan lingkungannya yang bisa menimbulkan ketegangan sosial dan kriminalitas.
Lebih-lebih jika pembangunan itu sendiri membutuhkan tanah urug yang harus diambilkan dari tanah lapisan aas (top soil) pekarangan penduduk di sekitarnya. Penduduk asli tidak saja menjadi kehilangan “lumbung hidup” atau “pangkalan induknya” karena pekarangan dan tegalannya tidak produktif lagi, tetapi sekalgus kualitas lingkungannya menjadi rusak karena daur ualng idak lagi berlangsung lancar.
Pengaruh pembangunan yang kurang bijak, modernisasi perumahan yang mengganti  tanaman pekarangan menjadi tanaman hias dan agar hidup yang berubah menjadi tembol atau tulang besi, sebenarnya sangat disayangkan. Modernisasi memang harus tumbuh, tetapi bkan dengan merusak lingkungan hidup. Peningkatan kesejahteraan lahiriah memang salah satu tuntutan hidup, tetapi bukan dengan menciptakan masayarakat eksklusif yang mengisolir diri. Kurangnya halaman tempat bermain bagi anak-anak mungkin saja dapat dialihkan, tetapi keakraban anak-anak sekampung yang merenggang akan dapat berbalik menjadi iri dengki, dan dendam yang tersembuni. Itulah masalahnya.









BAB IV
PENUTUP

4.1  Kesimpulan
Berladang merupakan kegiatan bercocok tanam oleh sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan  hidupnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan tradisi budaya. Pedidikan masyarakat hutan yang tergolong rendah dan sulitnya mencari mata pencaharian menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah  dibandingkan dengan menanam atau menebang pohon karena pohon membutuhkan jangka tumbuh yang cukup panjang dan penjualan kayu terbilang sulit karena harus mempunyai izin penebangan. Terdapat beberapa pendekatan untuk mengatasi degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem: Pendekatan pertama adalah restorasi, Pendekatan kedua melalui rehabilitasi dan Alternatif terakhir adalah reklamasi yang berarti penggunaan jenis-jenis eksotik untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem hutan.
Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan kebanyakan saling berdekaan, dan besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau desa”. Setelah itu Soemarwoto (1975) berhasil memberikan definisi yang lebih lengkap dengan mengatakan bahwa:
Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika.

DAFTAR PUSTAKA

Godam64. 2009. Definisi/Pengertian Pertanian, Bentuk & Hasil Pertanian Petani - Ilmu Geografi. 2 April 2009.
Santoso, Urip. Dampak Perladangan Berpindah Bagi Kerusakan Ekosistem Hutan. http://uripsantoso.wordpress.com/2010/10/13/dampak-perladangan-berpindah-bagi-kerusakan-ekosistem-hutan/#more-1980.
Danoesastro, Haryono : “Tanaman Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Rakat Pedesaan”. Agro – Ekonomi. Hidding, K.A.H. : Gebruiken en Godsdients der Soendaneezen G. Kolff & Co. Hal. 24. Batavia. 1975.
Soemarwotto, O  : “Pegaruh Lingkungan Proyek Pembangunan”. Prisma, N.3 Juli 1975.
Terra, G.J.A. : Tuinbouw : Van Hall en C. Van de. Koppel : De Landbouw in de indische archpel.IIA, 1949. Terjemahan Haryono Danoesastro.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar