KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat
Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “ Perladangan dan Pekarangan “.
Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan
pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami
mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah
ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata
penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
semua pihak yang membaca…
Taluk Kuantan, November 2015
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar........................................................................................................ i
Daftar
Isi.................................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN........................................................................................ 1
1.1
Latar Belakang............................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................................ 2
1.3
Tujuan Makalah............................................................................................ 2
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 3
BAB
III PEMBAHASAN........................................................................................ 6
2.1
Defenisi Perladangan................................................................................... 6
2.2
Defenisi Pekarangan..................................................................................... 11
BAB
IV PENUTUP................................................................................................. 16
3.1 Kesimpulan.................................................................................................. 16
DAFTAR
PUSTAKA.............................................................................................. 17
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Indonesia
merupakan negara sangat luas dan merupakan negara maritim terluas di dunia,
jumlah pulau Indonesia sebanyak 13.466
pulau dan luas lahan di Indonesia adalah 1.910.931,32 km2
yang terdiri dari yang terbentang dari
sabang hingga merauke. Dari jumlah luasan tersebut yang menjadi lahan produktif
bagi sektor pertanian adalah sekitar 7,75 juta hektar dari keseluruhan
luas lahan di Indonesia. Jumlah ini tentu saja tidak cukup luas dibandigkan
dengan luasan lahan produktif yang dimiliki dan juga jumlah penduduk yang
mencapai 250 juta jiwa di tambaha lagi dengan peningkatan konversi lahan pertanian
dari tahun ke tahun mencapai 80.000 hektar per tahunnya menjadi lahan yang non
pertanian.
Jumlah
produksi dari produk–produk pertanian semakin menurun, di karenakan alih fungsi
lahan pertanian disatu sisi pertumbuhan penduduk terus meningkat, praktis hal
ini akan berpengaruh terhadap jumlah permintaan pasar terhadap produk–produk
pertanian. Beberapa upaya yang telah di lakukan oleh pemerintah adalah
diantaranya dengan pembukaan lahan baru untuk dimanfaatkan sebagai lahan
pertanian, sebagai upaya mendukung terhadap program pemerintah, sebenarnya
banyak lahan tidur yang tidak termanfaatkan di daerah kota seperti pemanfaatan
lahan di pekarangan rumah termasuk diantara lahan tidur yang masih belum
termanfaatkan di karenakan kehidupan dan mobilitas dari penduduk kota sangat
tinggi sehingga penduduk kota masih kurang sadar untuk memanfaatkan lahan di
pekarangan di bandingkan dengan penduduk desa di karenakan mobilitas penduduk
desa tidak terlalu tinggi di bandingkan di kota.
1.2
Rumusan
Masalah
1.
Apa defenisi perladangan ?
2.
Apa defenisi pekarangan ?
1.3
Tujuan
Makalah
1. Untuk
memenuhi tugas yang diberikan dosen pada mata kuliah agroekosistem.
2. Untuk
mengetahui defenisi perladangan cera luas.
3. Untuk
mengetahui defenisi dari pekarangan.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Perladangan masih merupakan cara
hidup penting bagi sebagian masyarakat miskin dan terpencil di pedesaan.
Transformasi perladangan sebagaimana yang terjadi di Sumatra, baik ke arah
positif atau negatif, terjadi juga di daerah lain. Kiranya, akan lebih bermakna
bilamana proses transisi pola perladangan secara gradual dan sistem
agroforestry yang terbentuk dalam proses evolusi tersebut dibiarkan berjalan
sesuai dengan harapan masyarakat lokal.
FAO (Food Agriculture Organisation) melihat peladang ini sebagai suatu
bencana International yang perlu segera mendapat perhatian. Hal ini terbukti
dengan diterbitkannya buku L ‘agriculture nomade pada tahun 1956 oleh G.
Tondeur yang membicarakan masalah perladangan di Congo dan Afrika Barat,
kemudian 1957 diterbitkan buku yang kedua, Hanunoo agriculture di daerah
Philiphina oleh H.C. Conklin. FAO memberikan perhatian besar terhadapa
persoalan ini dan telah mengambil inisiatif untuk menggalakkan studi tentang
obyek ini melalui cabang kehutanan dan Industri Kehutannannya.
Tujuan FAO mengatasi perladangan
adalah untuk mempropagandakan metode-metode pertanian-pertanian modern yang
diharapkan dapat memperbaiki kualitas produksi yang berguna dan hasil-hasil
hewan yang dapat diperoleh dari tanah-tanah yang tersedia. Keperluan utama
didaerah tropik basah adalah intensifikasi pertanian dan penambahan hasil
persatuan luas. Peralihan dari pertanian tradisional ke pertanian yang telah
berkembang dengan baik seringkali amat sukar untuk dicapai, dan penggunaan
metode-metode yang intensif di dalam keadaan ini seringkali berakhir dengan
kegagalan.
Teknik-teknik perladangan sama saja
dimana-dimana yakni penebangan dan pembakaran vegetasi berkayu diikuti dengan
penanaman selama satu, dua, atau tiga tahun, kemudian tanah ditinggalkan dan
kembali menjadi hutan atau tutupan belukar selama periode yang panjang. Selain
kesamaan ini, perladangan mempunyai perbedaan-perbedaan dalam hal tipe dan
kehidupan daripada peladangnya sendiri. Kemudian para peladang sangat berbeda
dari satu tempat ketempat lain dimana perladangan tersebut tidak selalu
mengarah ke kehidupan nomadik.
Di Indonesia, banyak dijumpai
perladangan berpindah-pindah karena merupakan kebiasaan yang sudah menjadi
adat, sudah menjadi way of life dari
penduduk yang bersangkutan. Pandangan ini didasarkan pada pengamatan mereka,
bahwa perladangan berpindah-pindah itu dilakukan oleh orang berabad-abad
lamanya tanpa sesuatu perubahan yang berarti.
Tetapi menurut Soedarwono, Dosen
Fakultas Kehutanan UGM, penyebab adanya perladangan berpindah di Indonesia
bukan karena adatnya sudah begitu. Perladangan berpindah, sesuatu bentuk
pertanian yang resultante dari pengaruh alam lingkungan yang memaksa manusia
bertindak menyesuaikan diri.
Lahan adalah suatu lingkungan fisik
terdiri atas tanah, iklim, relief, hidrologi, vegetasi, dan benda-benda yang
ada di atasnya yang selanjutnya semua faktor-faktor tersebut mempengaruhi
penggunaan lahan. Termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia, baik masa
lampau maupun sekarang (FAO. 1975, dalam Arsyad, 1989).
Penggunaan lahan (land use)
dapat diartikan sebagai campur tangan manusia terhadap lahan, baik secara
menetap maupun berkala untuk memenuhi kebutuhan hidup baik material maupun
spiritual (Arsyad, 1989, Talkurputra, et.al.1996).
Penggunaan lahan dapat dikelompokkan
ke dalam dua golongan besar,yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan
lahan bukan pertanian. Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar
ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang
diusahakan. Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan seperti sawah,
tegalan, kebun, kebun campuran, lalang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan
bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman),
industri, rekreasi dan sebagainya (Arsyad, 2000).
Hasil penelitian yang dilakukan
Suharto (1994) tentang optimalisasi alokasi penggunaan lahan di DAS Solo Hulu,
Jawa Tengah, ditinjau dari segi erosi,sedimentasi, dan debit menunjukkan erosi
yang terbesar terjadi pada penggunan lahan tegalan buruk, Kemudian diikuti oleh
lahan pekarangan, lahan tegalan baik, lahan hutan, dan yang paling rendah lahan
sawah
BAB
III
PEMBAHASAN
3.1 Defenisi
Perladangan
A. Pengertian Perladangan
Berladang merupakan kegiatan bercocok tanam oleh
sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat erat
kaitannya dengan tradisi budaya. ‘Perladangan bergilir’ atau biasa dikenal
dengan ‘perladangan berpindah’, adalah istilah lain yang menggambarkan masa
tanam dan masa bera yang berlangsung secara bergiliran. ‘Sistem tebas dan
bakar’, mengacu pada konsep ladang bergilir, yang dalam proses penyiapan lahan
diawali dengan cara ‘tebas dan bakar’. Namun demikian, cara ini seringkali
dihubungkan dengan pengrusakan atau perambahan hutan karena dilakukan dalam
skala luas oleh perkebunan besar atau petani pendatang.
Istilah seperti berladang, perladangan
bergilir, sistem tebas bakar, mengacu pada deskripsi aktivitas perladangan.
Secara teknis, istilah-istilah tersebut memiliki makna dan arti yang nyaris
serupa, namun memberi langgam dan pola yang berbeda. Perubahan praktek
perladangan baik secara bertahap maupun langsung dapat menjadi ‘solusi’ atau
‘masalah’, tergantung dari persepsi mana kita melihatnya. Seperti halnya dengan
negara lain, dewasa ini, masalah ‘perladangan’ di Indonesia dipandang dari
berbagai persepsi yang berbeda dan seringkali justru dianggap sebagai kegiatan
yang melanggar hokum.
Perladangan berkembang menjadi tiga model,
yaitu:
1. ‘Agroforest’, dimana
tanaman berkayu memiliki nilai yang sama bahkan bisa lebih tinggi daripada
nilai tanaman pangan;
2. Sistem pastura atau
padang penggembalaan, dimana lahan didomestikasi untuk areal pakan ternak; atau
3. Pertanian menetap
sebagai bentuk intensifikasi pertanian. Misalnya penggunaan tanaman penutup
tanah dari kelompok legum (kacang-kacangan) atau tanaman penyubur, penggunaan
pupuk kandang yang dihasilkan dari padang penggembalaan, atau penggunaan pupuk
kimia yang menggantikan fungsi masa bera sebagai unsur tambahan untuk mengembalikan
kesuburan tanah. Sejumlah penelitian mengenai ‘perladangan’ difokuskan hanya
pada fase tanam dan kesuburan tanah. Fase tanam diartikan sebagai fase
penurunan kesuburan tanah, sebaliknya fase bera merupakan fase pemulihan
kesuburan tanah.
langkah awal untuk memahami dinamika tersebut.
Sistem pertanian primitive
subsistence farming hanya terdapat pada daerah-daerah dengan penduduk yang
masih jarang sekali. Oleh karena mayoritas pembukaan lading dilakukan dengan
cara membakar, selain menimbulkan kebakaran hutan dan polusi asap, kegiatan ini
akan merusak lapisan humus. Walaupun demikian, keutnungannya terdapat
penambahan unsur potash dalam tanah. Tanah hutan biasanya dibuka 3 atau 2
minggu sebelum musim penghujan.
B. Masalah Perladangan dan Akibat yang
Ditimbulkan
Pedidikan
masyarakat hutan yang tergolong rendah dan sulitnya mencari mata pencaharian
menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah
dibandingkan dengan menanam atau menebang pohon karena pohon membutuhkan jangka
tumbuh yang cukup panjang dan penjualan kayu terbilang sulit karena harus
mempunyai izin penebangan. Perladangan liar
ini dapat merusak hutan karena jangka waktu rotasi perladangan yang dari
waktu ke waktu semakin kecil menyebabkan tidak optimalnya regenerasi hutan.
Para
ahli menyarankan bahwa regenerasi hutan sebaiknya dilakukan dalam periode 20
tahun. Selama peride tersebut, kondisi tanah secara alamiah dapat diperbaiki.
Dengan kondisi sudah diregenerasi, tanah tersebut dapat dimanfaatkan lagi
setelah masa regenerasi. Akan tetapi, sejalan dengan laju pertumbuhan penduduk
yang semakin cepat, kebutuhan akan lahan garapan pun semakin mendesak. Tidak
heran jika saat ini, periode regenerasi hutan dipersingkat menjadi 6 hingga 8
tahun bahkan kurang dari itu. Selain konsekuensi penurunan produktivitas tanah,
perladangan liar juga mengakibatkan menurunnya luas hutan atau degradasi lahan
hutan. Definisi degradasi agak bersifat subjektif memiliki arti yang berbeda tergantung pada suatu kelompok
masyarakat.
Rimbawan
memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian mengatakan
bahwa hutan yang terdegradasi adalah
hutan yang telah mengalami kerusakan sampai pada suatu point/titik dimana penebangan kayu maupun non
kayu pada periode yang akan datang
menjadi tertunda atau terhambat semuanya. Sedangkan sebagian lainnya mendefinisikan
hutan yang terdegradasi sebagai suatu keadaan dimana fungsi ekologis, ekonomis dan sosial hutan tidak terpenuhi.
Berkurangnya areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah,
meluasnya populasi alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat
mudah terbakar di musim kemarau.
Masalah
lainnya adalah masih banyak petani masih menerapkan sistem tebas bakar untuk
membersihkan lahan di hutan meskipun pemerintah telah mencanangkan program ‘zero burning’ yaitu pembersihan lahan
tanpa menggunakan api atau pembakaran. Dari sebuah studi yang dilakukan di
Sumatera, dilaporkan bahwa keputusan petani untuk tetap melakukan proses
pembakaran lahan disebabkan karena hal berikut:
1. Merupakan cara yang paling efektif
dan cepat dalam pembukaan lahan.
2. Dapat menekan pertumbuhan gulma dan
vegetasi liar lainnya, terutama pada siklus awal setelah penanaman tanaman
pangan.
3. Mengubah biomasa menjadi pupuk alami
yang bermanfaat bagi tanaman dan tanah.
4. Menggemburkan tanah, bibit tanaman
menjadi cepat tumbuh.
5. Merupakan cara yang efektif untuk
membunuh hama dan pathogen.
Akibat sistem tebas bakar inilah maka terjadi
ketidakseimbangan unsur hara karena hara mineral hilang selama masa pertanaman
dan tidak dapat dipulihkan hanya dalam waktu yang singkat. Permasalahan
mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di negara berkembang
juga semakin hangat diperdebatkan sejak masyarakat global paham akan emisi dan
perubahan iklim global. Tidak dapat dipungkiri bahwa 20% emisi gas rumah kaca
global terjadi karena pola penggunaan lahan dan perubahan yang terjadi di
beberapa wilayah tropis. Para peladang dianggap
sebagai penyebab degradasi hutan. Muncul juga kehawatiran penerapan REDD
dapat membatasi ruang gerak masyarakat terhadap sumber daya yang mereka miliki.
Keterkaitan deforestasi, pembangunan dan kemiskinan sangat
kompleks dan bersifat spesifik. Namun demikian, penggunaan api sebagai metoda
pembersihan lahan disebut-sebut sebagai penyebab terjadin deforestasi. Meski
demikian, pada kenyataannya perubahan penggunaan lahan tanpa menggunakan api
dapat menyebabkan hilangnya persediaan karbon dalam jumlah besar. Larangan
penggunaan api dapat berdampak serius pada kehidupan masyarakat. Selain itu
perladangan berpindah dan kebakaran memiliki korelasi yang positif, karena
musim berladang umumnya pada musim kemarau. Hasil penelitian menunjukan
bahwa pada setiap musim kemarau terjadi kebakaran dimana-mana karena dipicuh
oleh aktivitas perladangan.
C. Langkah-Langkah Penanggulangan
Berkurangnya
areal hutan diikuti pula dengan semakin gersangnya tanah, meluasnya populasi
alang-alang, serta jenis rumput-rumputan lainnya yang sangat mudah terbakar di
musim kemarau. Perladangan berpindah tanpa rotasi yang cukup dan melalui cara
pembakaran lahan hutan akan mengakibatkan kerusakan keanekaragaman hayati serta
sumberdaya tanah dan air (erosi, kesuburan tanah menurun, meningkatnya air
permukaan, rusaknya habitat satwa, rusaknya habitat satwa, berubahnya ekosistem
kawasan, pemadatan tanah), bencana lingkungan (banjir, longsor, kekeringan
sumber air), perubahan iklim lokal (meningkatnya suhu, berkurangnya hujan,
menurunnya kelembaban) serta pencemaran lingkungan.
Bekas perladangan liar/areal terbuka ditandai
dengan jenis-jenis vegetasi yang ada seperti alang-alang, sirih-sirihan, jenis
Euphatorium dan Tremor. Salah satu salah bisa dilakukan untuk membuat lahan
berpindah ini menjadi bisa layak kembali sebagai hutan adalah dengan
merehabilitasi lahan tersebut dengan jenis pohon-pohon pionir setempat yang
potensial untuk ditanam.
Terdapat beberapa pendekatan untuk mengatasi
degradasi dan mempercepat proses pemulihan ekosistem (recovery) :
a.
Pendekatan pertama adalah restorasi (restoration) yang didefinisikan sebagai upaya untuk memulihkan
kembali (recreate) ekosistem hutan
aslinya melalui penanaman dengan jenis tanaman asli yang ada pada kawasan atau
lahan tersebutsebelumnya.
b.
Pendekatan kedua melalui rehabilitasi yang diartikan sebagai
penanaman hutan dengan jenis asli dan jenis eksotik. Dalam hal ini tidak ada
upaya untuk menrecreate ekosistem asli. Tujuannya hanyamengembalikan hutan pada
kondisi stabil dan produktif. Oleh karena itu ekosistem hutan yang terbentuk
adalah campuran termasuk jenis asli.
c.
Alternatif terakhir adalah reklamasi yang berarti penggunaan
jenis-jenis eksotik untuk menstabilkan dan meningkatkan produktivitas ekosistem
hutan.
Dalam hal ini tidak
ada sama sekali upaya perbaikan biodeversitas asli dari suatu areal yang
terdegradasi. Akan tetapi, masih ada kegiatan ladang berpindah yang mendukung
keseimbangan ekosistem. Salah satu contoh kegiatan sistem perladangan berpindah
yang tidak merusak hutan adalah yang dilakukan oleh orang dayak di kalimantan
memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan
dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak. Seperti pada sistem
mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi panjang.
3.2 Pekarangan
A. Pengertian
Pekarangan
Menurut arti katanya, pekarangan berasal ari kata
“karang” yang berarti halaman rumah (Poerwodarminto, 1976). Sedang secara luas,
Terra (1948) memberikan batasan pengertian sebagai berikut:
“Pekarangan
adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan berpagar keliling, dan biasanya
ditanami padat dengan beraneka macam tanaman semusim maupun tanaman tahunan
untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk diperdangkan. Pekarangan
kebanyakan saling berdekaan, dan besama-sama
membentuk kampung, dukuh, atau desa”.
Batasan pengertian ini, di dalam praktek masih terus
dipergunakan sampai sekitar dua puluh tahun kemudian. Terbukti dari
tulisan-tlisan Soeparma (1969), maupun Danoesastro (1973), masih juga
menggunakan definisi tersebut. Baru setelah Soemarwoto (1975) yang melihatnya
sebagai suatu ekosistem, berhasil memberikan definisi yang lebih lengkap dengan
mengatakan bahwa:
“Pekarangan adalah
sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas
batas-batasannya, ditanami dengan satu atau berbagai jenis tanaman dan masih
mempunyai hubungan pemilikan dan/atau fungsional dengan rumah yang
bersangkutan. Hubungan fungsional yang dimaksudkan di sini adalah meliputi
hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi, serta hubungan biofisika”.
(Danoesastro, 1978).
B.
Dari Segi Sosial Budaya
Ditinjau dari segi sosial budaya, dewasa ini nampak ada
kecenderungan bawa pekarangan dipandang tidak lebih jauh dari fungsi
estetikanya saja. Pandangan seperti ini nampak pada beberapa anggota masyarakat
pedesaan yang telah
“maju”, terlebih pada masyarakat perkotaan. Yaitu, dengan memenuhi pekarangannya
dengan tanaman hias dengan dikelilingi tembok atau pagar besi dengan gaya
arsitektur “modern”.
Namun, bagi masyarakat pedesaan yang masih “murni”,
justru masih banyak didapati pekarangan yang tidak berpagar sama sekali.
Kalaupun berpagar, selalu ada bagian yang masih terbuka atau diberi pintu yang mudah dibuka oleh siapapun dengan maksud untuk
tetap memberi keleluasaan bagi masyarakat umum untuk keluar masuk
pekarangannya.
Nampaknya, bagi masyarakat desa, pekarangan juga
mempunyai fungsi sebagai jalan umum antar tetangga, atar kampung, bahkan antar desa satu dengan yang lainnya.
Di samping itu, pada setiap pekarangan
terdapat”pelataran” (Jawa) atau “buruan” (Sunda) yang dapat dipergunakan
sebagai tempat bemain anak-anak sekampung. Adanya kolam tempat mandi atau sumur
di dalam pekarangan, juga dapat
dipergunakan oleh orang-orang sekampung dengan bebas bahkan sekaligus
merupakan tempat pertemuan mereka sebagai sarana komunikasi masa (Soemarwoto,
1978).
Jadi, bagi masyarakat desa yang asli, pekarangan bkanlah
milik pribadi yang”eksklusif”, melainkan juga mempunai fungsi sosial budaya di
mana anggota masyarakat (termasuk anak-anak) dapat bebas mempergunakannya untuk
keperluan-keperluan yang bersifat sosial kebudayaan pula.
C.
Segi Ekonomi
Selain fungsi hubungan sosial budaya, pekarangan juga memiliki fungsi
hubungan ekonomi yang tidak kecil artinya bagi masyarakat yang hidup di
pedesaan.
Dari hasil survey pemanfaatan
pekarangan di Kalasan, disimpulkan oleh Danoesastro (1978), sedikitnya ada
empat fungsi pokok yang dipunyai pekarangan, yaitu (Tabel 1): sebagai sumber
bahan makanan, sebagai penhasil tanaman perdagangan, sebagai penghasl tanaman
rempah-rempah atau obat-obatan, dan juga sumber bebagai macam kayu-kayuan
(untuk kayu nakar, bahan bangunan, maupun bahan kerajinan).
Daftar berbagai macam tanaman di pekarangan petani di
kelurahan Sampel, dikelompokkan menurut fungsina (Kecamatan Kalasan).
No
|
Golongan Tanaman
|
Macam Tanamannya
|
I
|
Sumber bahan makanan tambahan :
1.
Tanaman sayuran
2.
Buah-buahan
3.
Lain-lain
|
Ubikayu, ganyong, uwi, gembolo, tales,garut dll.
Mlinjo, koro, nangka, pete.
Pepaya, salak, mangga, jeruk, duku, jambu, pakel,
mundu, dll.
|
II
|
Tanaman perdagangan
|
Kelapa, Cengkeh, Rambutan.
|
III
|
Rempah-rempah, obat-obatan.
|
Jahe, Laos, Kunir, Kencur,
dll.
|
IV
|
Kayu-kayuan:
1.
Kayu bakar
2.
Bahan bangunan
3.
Bahan kerajinan
|
Munggur, Mahoni, Lmtoro.
Jati, Sono, Bambu, Wadang.
Bambu, Pandan, Dll.
|
Berdasarkan kenyataan-kenyataan tersebutlah, maka sampai
pada kesimpulan bahwa bagi masyarakat pedesaan, pekarangan dapat dipandang
sebagai “lumbung hidup” yang tiap tahun diperlukan untuk mengatasi paceklik,
dan sekaligus juga merupakan “terugval basis” atau pangkalan induk yang
sewaktu-waktu dapat dimabil manfaatnya apabila usahatani di sawah atau tegalan
mengalami bencana atau kegagalan akibat serangan hama/penyakit, banjir,
kekeringan dan bencana alam yang lain.
D. Fungsi Hubungan Biofisika
Pada pandangan pertama, bagi orang “kota” yang baru
pertama kali turun masuk desa, akan nampak olehnya sistem pekarangan yang
ditanami secara acak-acakan dengan segala macam jenis tanaman dan sering pula
menimbukan kesan “menjijikkan” karena adanya kotoran hewan ternak di sana sini.
Namun, dalam penelitian menunjukkan, bahwa keadaan serupa itu adalah merupakan
manifestasi kemanunggalan manusia dengan lingkungannya sebagaimana yang telah
diajarkan nenek moyangnya.
Di daerah Sunda misalnya, tetapi terdapat pandangan ang
oleh Hidding (1935) disebutkan:
“Manusia
adalah bagian dalam dan dari satu kesatuan yang besar .Semua
mempunai tempatna sendiri dari tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri.
Dalam teori
kebatinan Jawa, disebutkan bahwa sesuatu yang ada dan yang hidup pada pokoknya
satu dan tunggal. Bahkan, justru pola pengusahaan pekarangan seperti itulah
ternyata, yang secara alamiah diakui sebagi persyaratan demi berlangsungnya
proses daur ulang (recycling) secara natural (alami) yang paling efektif dan
efisien, sehingga pada kehidupan masyarakat desa tidak mengenal zat buangan.
Apa yang menjadi zat buangan dari suatu proses, merupakan
sumberdaya yang dipergunakan dalam proses berikutnya yang lain. Sebagai contoh,
segala macam sampah dan kotoran ternak dikumpulkan menjadi kompos untuk pupuk tanaman. Sisa dapur, sisa-sisa makanan,
kotoran manusia dan ternak dibuang ke kolam untuk dimakan ikan. Ikan dan hasil
tanaman (daun, bunga, atau buahnya) dimakan manusia, kotoran manusia dan sampah
dibuang ke kolam atau untuk kompos, demikian seterusnya tanpa berhenti dan
berulang-ulang.
Dengan demikian kalaupun dalam proses kemajuan peradaban
manusia ada sesuatu yang perlu diperbaki seperti: pembuatan jamban
Keluarga di atas
kolam, sistem daur ulang yang tidak baik dan efisiensi harus tetap terjaga
kelangsungannya.
E. Dampak Modernisasi Yang Memprihatinkan
Tetapi sayang, berbaai fungsi dari pekarangan yang begitu
kompleks dan mencakup banyak segi kehidupan manusia serta pelestarian
lingkungan itu kan mengalami “erosi” yang memprihatinkan karena sering hanya
dijadikan korban untuk memenuhi alasan “modernisasi”.
Proyek-proyek pembangunan industri dan prasarana lain di
desa pinggiran sering kurang memperhitungkan bahwa, pembangunan kompleks
perumahan karyawannya yang terlampau mewah dibandingkan dengan perumahan
penhuni asli dan yang dipagar keliling rapat serta mewah pula itu merupakan isolasi
bagi masyarakat penatang dengan lingkungannya yang bisa menimbulkan ketegangan
sosial dan kriminalitas.
Lebih-lebih jika pembangunan itu sendiri membutuhkan
tanah urug yang harus diambilkan dari tanah lapisan aas (top soil) pekarangan
penduduk di sekitarnya. Penduduk asli tidak saja menjadi kehilangan “lumbung
hidup” atau “pangkalan induknya” karena pekarangan dan tegalannya tidak
produktif lagi, tetapi sekalgus kualitas lingkungannya menjadi rusak karena
daur ualng idak lagi berlangsung lancar.
Pengaruh pembangunan yang kurang bijak, modernisasi
perumahan yang mengganti tanaman
pekarangan menjadi tanaman hias dan agar hidup yang berubah menjadi tembol atau
tulang besi, sebenarnya sangat disayangkan. Modernisasi memang harus tumbuh,
tetapi bkan dengan merusak lingkungan hidup. Peningkatan kesejahteraan lahiriah
memang salah satu tuntutan hidup, tetapi bukan dengan menciptakan masayarakat
eksklusif yang mengisolir diri. Kurangnya halaman tempat bermain bagi anak-anak
mungkin saja dapat dialihkan, tetapi keakraban anak-anak sekampung yang
merenggang akan dapat berbalik menjadi iri dengki, dan dendam yang tersembuni.
Itulah masalahnya.
BAB
IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berladang merupakan
kegiatan bercocok tanam oleh sekelompok masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, hal ini sangat erat kaitannya dengan
tradisi budaya. Pedidikan
masyarakat hutan yang tergolong rendah dan sulitnya mencari mata pencaharian
menyebabkan mereka memilih membuka ladang yang biayanya cukup murah dibandingkan dengan menanam atau menebang
pohon karena pohon membutuhkan jangka tumbuh yang cukup panjang dan penjualan
kayu terbilang sulit karena harus mempunyai izin penebangan. Terdapat beberapa pendekatan untuk mengatasi degradasi
dan mempercepat proses pemulihan ekosistem: Pendekatan pertama adalah restorasi,
Pendekatan kedua melalui rehabilitasi dan Alternatif terakhir adalah reklamasi
yang berarti penggunaan jenis-jenis eksotik untuk menstabilkan dan meningkatkan
produktivitas ekosistem hutan.
Pekarangan adalah tanah di sekitar perumahan, kebanyakan
berpagar keliling, dan biasanya ditanami padat dengan beraneka macam tanaman
semusim maupun tanaman tahunan untuk keperluan sendiri sehari-hari dan untuk
diperdangkan. Pekarangan kebanyakan saling berdekaan, dan besama-sama membentuk kampung, dukuh, atau desa”. Setelah
itu Soemarwoto (1975) berhasil
memberikan definisi yang lebih lengkap dengan mengatakan bahwa:
Pekarangan adalah sebidang tanah darat yang terletak
langsung di sekitar rumah tinggal dan jelas batas-batasannya, ditanami dengan
satu atau berbagai jenis tanaman dan masih mempunyai hubungan pemilikan
dan/atau fungsional dengan rumah yang bersangkutan. Hubungan fungsional yang
dimaksudkan di sini adalah meliputi hubungan sosial budaya, hubungan ekonomi,
serta hubungan biofisika.
DAFTAR PUSTAKA
Godam64. 2009. Definisi/Pengertian
Pertanian, Bentuk & Hasil Pertanian Petani - Ilmu Geografi. 2 April 2009.
Santoso, Urip. Dampak Perladangan
Berpindah Bagi Kerusakan Ekosistem Hutan.
http://uripsantoso.wordpress.com/2010/10/13/dampak-perladangan-berpindah-bagi-kerusakan-ekosistem-hutan/#more-1980.
Danoesastro, Haryono : “Tanaman Pekarangan dalam Usaha Meningkatkan Ketahanan Rakat Pedesaan”.
Agro – Ekonomi. Hidding, K.A.H. : Gebruiken
en Godsdients der Soendaneezen G. Kolff & Co. Hal. 24. Batavia. 1975.
Soemarwotto, O : “Pegaruh Lingkungan Proyek Pembangunan”. Prisma,
N.3 Juli 1975.
Terra, G.J.A. :
Tuinbouw : Van Hall en C. Van de. Koppel : De Landbouw in de indische
archpel.IIA, 1949. Terjemahan Haryono Danoesastro.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar