KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “ Kebijakan Pemerintah Di Bidang Perkelapasawitan “. Pada
makalah ini Penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan
pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh
dari sempurna, untuk itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata Penulis mengucapkan
terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang
membaca…
Taluk Kuantan, Januari 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang......................................................................................... ........ 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................................. 3
1.3
Tujuan............................................................................................................... 3
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 4
2.1
Pengertian ISPO................................................................................................ 4
2.2
Kebijakan Di Bidang Perkelapasawitan........................................................... 5
2.2
Penilaian
Usaha Perkebunan............................................................................. 8
2.2
Penerapan ISPO Bagi
Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit.......................... 10
BAB
III PENUTUP...................................................................................................... 13
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 13
DAFTAR
PUSTAKA................................................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Kelapa
sawit merupakan komoditi ekspor andalan dari sub sektor perkebunan yang telah
berkontribusi secara signifikan terhadap penerimaan devisa negara khususnya
dari sektor non migas. Sejak tahun 2006 Indonesia telah menjadi negara produsen
sawit terbesar di dunia dengan produksi mencapai 16,4 Juta Ton, dimana 12,1
Juta Ton diekspor dalam bentuk CPO. Pada tahun 2010 total luas areal kelapa
sawit telah mencapai 8,1 Juta Ha dengan produksi CPO mencapai 19,7 Juta Ton dan
ekspor sebesar 16,3 Juta Ton dengan nilai ekspor setara USD13,4 Juta.
Negara tujuan utama ekspor CPO masih diduduki oleh India,
yaitu 5,3 Juta Ton (32,5%) diikuti China 2,2 Juta Ton (13,3%) dan sisanya
adalah Belanda, Italia, Bangladesh dan negara-negara lainnya. Kontribusi minyak
sawit Indonesia dalam memasok minyak sayur ke pasar dunia cukup besar, yaitu
15,1% sedangkan pangsa produksi minyak sawit Indonesia terhadap produksi minyak
dunia sekitar 47,5%. Diperkirakan produksi minyak sawit Indonesia akan terus
meningkat sampai dengan tahun 2020, hingga mencapai sekitar 40 Juta Ton.
Kampanye
Negatif terhadap sawit (isu deforestasi, degradasi hutan, rusaknya
hábitat dan terbunuhnya satwa liar yang dilindungi, meningkatnya emisi Gas
Rumah Kaca (GRK), dan seterusnya ) dalam beberapa tahun terkahir sangat marak, tidak hayanya
dilakukan oleh LSM, tetapi juga ditingkat Negara dengan menerapkan hambatan
nontarif terhadap minyak sawit. Hal ini terjadi karena adanya kehawatiran
minyak nabati yang diproduksi oleh Negara tersebut kalah bersaing dengan minyak
sawit.
Badan
Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (Environmental Protection Agency/EPA)
awal tahun ini menerapkan Notice of Data Availability (NODA). Dalam Ketentuan
tersebut EPA menerapkan standar emisi CPO untuk Biodisel sebesar 20%. Sedangkan
emisi CPO Indonesia dinilai baru 17 % sehingga belum memenuhi standar emisi
negara tersebut. Pemerintah AS memberikan kesempatan kepada Indonesia sebagai
eksportir CPO terbesar dunia untuk memberikan penjelasan (notifikasi) hingga 28
Maret 2012. Selain AS, Uni Eropa sudah lebih dulu menerapkan standar emisi
untuk CPO sebesar 35 %, sedangkan CPO Indonesia dinilai baru mencapai 19%.
Saat ini
konsumen terbesar CPO Indonesia adalah India, disusul Tiongkok dan Uni Eropa,
dengan menyerap 60 % ekspor sawit Indonesai. Ekspor minyak sawit ke Amerika
Serikat relative kecil, akan tetapi karena AS Negara yang berpengaruh besar
terhadap perdagangan dunia, sehingga perlu diwaspadai dampak penerapan non
tariff barrier tersebut.
Agar bisa
meningkatkan pasar ditengah kampanye negative, kita harus melakukan
langkah-langkah strategis dalam menjawab tantangan tersebut. Untuk
mengantisipasi hal tersebut Kementerian Pertanian telah menetapkan satu
kebijakan baru di bidang perkelapasawitan dengan menerbitkan Peraturan Menteri
Pertanian Nomor: 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal 29 Maret 2011 tentang
Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil / ISPO). Peraturan Menteri tersebut bersifat mandatory
(wajib) dan mengatur persyaratan ISPO yang harus diterapkan oleh perusahaan
perkebunan kelapa sawit, sedangkan ISPO untuk pekebunan kelapa sawit rakyat
(Plasma dan Swadaya) akan diatur kemudian.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang dapat mengajukan
permohonan sertifikat ISPO harus memenuhi para syarat, yaitu sudah mendapat
Kelas I, Kelas II, dan Kelas III berdasarkan hasil Penilaian Usaha Perkebunan
sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 7/Permentan/OT.140/2/2009
tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. Pada tahun ini juga Kementerian
Pertanian akan melaksanakan penilain kelas kebun untuk persyaratan sertifikasi
ISPO
Perusahaan perkebunan kelapa sawit dalam waktu paling
lambat sampai dengan tanggal 31 Desember 2014 harus sudah melaksanakan usahanya
sesuai dengan ketentuan peraturan ini yang dibuktikan dengan diperolehnya
Sertifikat ISPO.
Sertifikasi ISPO dimulai pada awal Maret
2012. Untuk itu berbagai persiapan telah dilakukan, seperti Penyusunan Petunjuk
Penerapan Prinsip dan Kriteria ISPO, Pelatihan Auditor ISPO, Pembentukan
Keanggotaan Komisi ISPO, Pembentukan Sekretariat Komisi ISPO, Sosialisasi ISPO
di 12 Provinsi, dan yang sedang dalam proses, yaitu Penunjukkan Lembaga
Sertifikasi, serta Pertemuan Sosialisasi ISPO yang saat ini sedang kita
selenggarakan. Sosialisasi ISPO juga akan dilaksanakan di 19 provinsi sentra
perkebunan kelapa sawit.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian ISPO ?
2.
Apa kebijakan di bidang
perkelapasawitan ?
3.
Bagaimana penilaian usaha perkebunan ?
4.
Seperti apa
penerapan ISPO bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit?
1.3 Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa pengertian ISPO.
2.
Untuk mengetahui apa kebijakan di bidang perkelapasawitan.
3.
Untuk mengetahui bagaimana
penilaian usaha perkebunan .
4.
Untuk mengetahui seperti apa penerapan ISPO bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
ISPO
Indonesian Sustainable Palm Oil intinya
menerapkan seluruh paket ketentuan terkait yang berlaku di Indonesia , untuk
dipatuhi penerapannya dalam pengembangan kelapa sawit. Oleh sebab itu kepatuhan
penerapannya bersifat mandatory, artinya wajib, sehingga akan dilakukan
penindakan bagi yang melanggar. Sedangkan penerapan Rountable Sustainable
Palm Oil (RSPO) atau lainnya bersifat voluntary, artinya tidak
mengikat.
Penerapan ISPO ini cukup strategis, dalam arti memberikan
kejelasan dan ketegasan Prinsip dan Kriteria yang harus dianut pada pelaksanaan
pengembangan kelapa sawit di Indonesia, sekaligus menjadi landasan untuk
penegakan hukum bagi yang tidak mentaatinya.
Sebagai sebuah negara salah satu penghasil minyak kelapa
sawit terbesar di dunia, sudah sepatutnya Indonesia memiliki peraturan
perundangan undangan dan kebijakan mengenai kelapa sawit. Tentu saja kebijakan
yang harus ada adalah kebijakan yang hanya fokus pada satu sector perkebunan
saja, seperti contohnya hanya berpusat pada sector kelapa sawit saja. Didasari
pada tuntutan yang harus membuat pihak pemerintahan dan stakeholder kelapa
sawit untuk lebih peduli dan memprioritaskan perkebunan kelapa sawit untuk
diterbitkan suatu bentuk prinsip dan kriteria maupun kebijakan kelapa sawit
secara lestari atau secara ramah lingkungan.
Untuk memenuhi tuntutan pembangunan berkelanjutan, Kementrian
Pertanian menyiapkan Sistem Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia
Berkelanjutan. Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) merupakan “guidance”
pembangunan kelapa sawit berkelanjutan Indonesia yang didasarkan pada
peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Sehingga ketentuan ini bersifat mandatory atau
kewajiban yang harus dilaksanakan bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia.
Dengan demikian, ISPO adalah bukti kepatuhan pelaku usaha perkebunan untuk
melakukan usaha sesuai dengan ketentuan perundangan yang berlaku di Indonesia.
Disamping itu juga sebagai komitmen pelaku usaha perkebunan untuk menerapkan
pembangunan kelapa sawit berkelanjutan.
Dengan bertujuan untuk meningkatkan produksi dan level produk
hasil olahan kelapa sawit Indonesia, juga tuntutan global untuk menggunakan
sertifikasi pada perkebunan kelapa sawit, atas dasar-dasar itulah pemerintah
duduk dan membahas mengenai pembentukan sebuah sertifikasi terbaik untuk kelapa
sawit Indonesia. ISPO adalah sebuah kebijakan baru bentukan dari pemerintahan
Indonesia dalam menghadapi tuntutan global pada produk produk kelapa sawit
tersebut. Disusun dalam sebuah pertemuan Road Map Pembangunan Kelapa
Sawit dan Road Map Industri Pengolahan Minyak Sawit.
Pemerintah berharap dengan hadirnya ISPO ini sebagai sebuah
bentuk baru perundang undangan mengenai kelapa sawit, diharapakan setiap
pengusaha maupun stakeholder dalam sektor tersebut menyambut baik dengan
hadirnya ISPO tersebut. Pemerintah Indonesia sendiri juga menegaskan bahwa
kebijakan internasional seperti halnya RSPO, tetap diijinkan untuk terus
dilaksanakan tetapi hanya bersifat tidak wajib atau mandatory . Untuk
itulah, para pengusaha dan pemilik perkebunan kelapa sawit Indonesia di wajibkan
untuk memiliki dan mengantongi sertifikasi dari ISPO ini, maksimal sebelum
tahun 2014 berakhir.
2.2 Kebijakan di Bidang Perkelapasawitan
Kebijakan – kebijakan yang di ambil pemerintah dalam
bidang perkelapa sawitan sebagai mana yang di jelaskan oleh Direktur Jenderal
Perkebunan selaku Ketua Komisi ISPO dalam sebuah pertemuan sosialisasai
pembangunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia. Adapun kebijakan itu
adalah :
1. Kebijakan umum pengembangan
perkebunan kelapa sawit di dinonesia adalah :
· Miningkatkan
Produksi, Produktivitas dan Mutu
· Meletakkan Usaha Perkebunan Rakyat
Sebagai Prioritas
· Meningkatkan Nilai Tambah &
Efisiensi Agribisnis Kelapa Sawit
· Penerapan Pembangunan Kelapa Sawit
Berkelanjutan Menurut Sistem Indonesia
2. Sebagai upaya untuk meningkatkan
produktivitas kelapa sawit Nasional Pemerintah mempunyai visi pembangunan
perkebunan kelapa sawit 35:26 pada tahun 2025, artinya
produktivitas ditingkatkan menjadi 35 Ton TBS/Ha/Tahun dan rendemen CPO 26%.
3. Upaya Kementerian Pertanian dalam
mendukung peningkatan produktivitas kelapa sawit adalah sebagai berikut :
· Program
revitalisasi perkebunan;
· Mendorong untuk
dilakukan peremajaan kebun-kebun yang sudah berumur 25 tahun dan tidak
produktif, khususnya untuk perkebunan rakyat, dengan menggunakan benih unggul
bermutu, yang potensi produksinya lebih tinggi dan umur panen yang lebih pendek
dari tanaman yang diremajakan;
· Merintis
fasilitasi penggantian benih tidak bersertifikat dengan benih unggul bermutu
bersertifikat;
· Memberikan
kemudahan akses ke sumber benih, antara lain mendorong tumbuhnya waralaba benih
kelapa sawit;
· Mempermudah
akses ke sumber pupuk;
· Introduksi
model-model peremajaan perkebunan rakyat kelapa sawit, yang diharapkan dapat
menekan biaya peremajaan dan ada sumber pendapatan selama menunggu tanaman
belum menghasilkan;
· Menyediakan
benih unggul bermutu bersertifikat untuk wilayah-wilayah khusus, yaitu wilayah
pasca bencana, wilayah pasca konflik, perbatasan, wilayah miskin dan
tertinggal.
· Merintis
fasilitasi peningkatan
infrastruktur, khususnya jalan
kebun;
· Melakukan pemberdayaan petani
melalui pelatihan, bimbingan, dan pendampingan
4. Isue Negatif
Pengembangan Kelapa Sawit
:
· Minyak kelapa
sawit sebagai minyak yang tidak sehat ?
· Penyebab
rusaknya lingkungan ?
· Penyebab
rusaknya hutan dan terjadinya deforestrasi ?
· Menyerap air
sangat tinggi :
· penyebab
kekeringan vs banjir ?
· Terpinggirkannya
indegeneous people ?
· Menurunnya/matinya
satwa yang dilindungi ?
· Menyebabkan
pemanasan global dan terjadinya perubahan iklim ?
· CO2 Emission ?
· Menyusul
tudingan berikutnya secara sistematis ?
5. Permasalahan dan Tantangan
· Tuduhan : Deforestasi, degradasi
hutan, merusak habitat dan membunuh satwa liar yang dilindungi, dan seterusnya.
· Meningkatnya emisi Gas Rumah Kaca
(GRK)
· Indonesia dituduh sebagi penyumbang
GRK terbesar ke tiga.
· Komitmen Unilateral dari Indonesia
untuk mengurangi emisi GRK 26% pada tahun 2020 (Copenhagen, Desember 2009).
· Moratorium : Hutan primer dan Lahan
gambut
· Penerapan Standar Sertifikasi ISPO.
6. Untuk menjawab permasalah dan
tantangan terebut maka pemerintah mengeluarkan kebijakan sebagai berikut :
·
Memberlakukan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26/Permentan/OT.140/2/2007 Tanggal
28 Februari 2007 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan
·
Memberlakukan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor 19/Permentan/OT.140/3/2011 tanggal
29 Maret 2011 tentang Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian
Sustainable Palm Oil/ISPO).
·
Kebun kelapa sawit yang sudah mendapat
Kelas I, Kelas II, dan Kelas III dapat langsung mengajukan permohonan
Sertifikasi ISPO.
·
Kebun kelapa sawit Kelas I, Kelas II,
dan Kelas III harus menerapkan ISPO paling lambat 31 Desember 2014.
·
Penerapan
ISPO bersifat mandatory (harus/wajib) karena ISPO berisi tentang semua ketentuan
terkait yang berlaku di Indonesia
2.3 Penilaian Usaha
Perkebunan
Dasar
pelaksanan penilaian usaha perkebunan adalah Permentan Nomor
07 Tahun 2009 tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan. Tujuan penilaian kebun adalah untuk
mengetahui kinerja perusahaan perkebunan, kepatuhan terhadap peraturan dan
ketentuan yang berlaku, memenuhi baku teknis, dan kewajiban perusahaan dalam
penyusunan program serta kebijakan perusahaan., dan salah satu syarat mendapatkan sertifikat ISPO. Hanya
perusahaan yang mendapatkan sertifikat Penilaian Usaha Perkebunan dengan
kategori kebun kelas I, kelas II dan kelas III yang dapat mengusulkan untuk dapat sertifikat ISPO. Aspek
penilaian kebun yang dalam tahap pembangunan dan operasional adalah sebagai
berikut :
-
aspek
legalitas
-
manajemen
-
penyelesaian
hak atas tanah
-
realisasi
pembangunan kebun/unit pengolahan
-
kepemilikan
sarana dan prasarana system pencegahan dan pengendalian kebakaran
-
kepemilikan
sarana dan prasarana system pencegahan dan pengendalian organisma pengganggu
tanaman
-
Aspek
operasional Kebun
-
Pengolahan
hasil
-
penerapan
AMDAL/UKL dan UPL
-
Penumbuhan
dan pemberdayaan masyarakat/koperasi setempat
-
Pelaporan
Penetapan hasil penilaian usaha
perkebunan :
· Hasil penilaian Tim (Kab/Kota)
disertai saran dan pertimbangan disampaikan kepada Bupati/Walikota dengan
tembusan kepada Gubernur dan DirjenBun paling lambat dua minggu setelah selesai
penilaian.
· Hasil penilaian Tim (Provinsi)
disertai saran dan pertimbangan disampaikan kepada Gubernur dengan tembusan
kepada Bupati/Walikota dan Dirjen Perkebunan paling lambat dua minggu setalah
penilaian.
· Hasil penilaian Tim (Pusat) disertai
saran dan pertimbangan disampaikan kepada Dirjen Perkebunan dengan tembusan
kepada Bupati/Walikota dan Gubernur paling lambat dua minggu setalah penilaian.
· Hasil penilaian perkebunan :
-
Tahap
pembangunan ditetapkan dalam kelas A, B, C, D dan E.
-
Tahap
operasional ditetapkan dalam kelas I, II, III, IV dan V.
· Penetapan kelas dilakukan oleh
Bupati/Walikota, Gubernur atau Dirjen Perkebunan berdasarkan hasil Tim Penilai
paling lambat dua bulan setelah diterimanya hasil penilaian.
· Apabila dalam waktu dua bulan
penetapan kelas kebun belum dilakukan, usaha perkebunan dianggap kelas A
dan/atau kelas I.
· Penetapan kelas usaha dan saran
tindak lanjut oleh Bupati/Walikota, Gubernur atau Dirjen Perkebunan disampaikan
kepada perusahaan dengan ditembuskan kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau
Dirjen Perkebunan.
· Saran tindak lanjut untuk kelas D
dan E (tahap pembangunan) dan/atau kelas IV dan V (tahap opersional) wajib
segera dilaksanakan oleh perusahaan perkebunan.
· Apabila saran tindak lanjut kelas D
dan E atau IV dan V tidak dilaksanakan maka :
- Kelas D diberi peringatan tiga kali
dengan selang waktu empat bulan.
- Kelas E diberi peringatan satu kali
dengan selang waktu empat bulan.
- Kelas IV diberi peringatan tiga kali
dengan selang waktu empat bulan.
- Kelas V diber peringatan satu kali
dengan selang waktu empat bulan.
Sesuai dengan Permentan No. 07/2009 tentang Pedoman
Penilaian Usaha Perkebunan, setiap 3 tahun sekali kebun dinilai untuk
mendapatkan kelas kebun (aspek legalitas, manajemen, kebun, pengolahan hasil,
sosial, ekonomi wilayah, lingkungan, serta pelaporan). Hasil penilaian tersebut
berupa penentuan kelas kebun, yaitu kebun kelas I (baik sekali), kelas II (baik),
kelas III (sedang), kelas IV (kurang) dan kelas V (kurang sekali). Untuk kebun
kelas I, II, dan III dapat mengajukan permohonan untuk dilakukan audit agar
dapat diterbitkan sertifikat ISPO. Yang perlu disiapkan
oleh perusahaan perkebunan terkait penilaian usaha perkebunan adalah :
· Menyiapkan data
dan informasi secara detail;
· Menunjuk
petugas yang berkompeten yang akan memberikan penjelasan kepada petugas
penilai;
· Melakukan
koordinasi dengan petugas dinas yang membidangi perkebunan
kabupaten/kota/provinsi
2.4 Penerapan
ISPO Bagi Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit
Dengan adanya pengaturan ISPO, diharapkan agar seluruh pelaku
usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia mampu meningkatkan kepedulian atas
pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan yang dapat berpengaruh
terhadap peningkatan daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia.
Sebelum Pemerintah Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai ISPO, pasar
Internasional telah lebih dahulu menilik mengenai ketentuan memproduksi kelapa
sawit berkelanjutan yang diramu dalam bentuk RSPO.18 Perbedaan RSPO dan ISPO
ini terletak pada sifat pengaturannya, untuk ISPO bersifat mandatory (kewajiban)
sedangkan RSPO bersifat voluntary (sukarela).
Sifat mandatory ISPO diamanatkan oleh Peraturan
Menteri Pertanian No. 19/Permentan/OT.140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan
Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil –
ISPO). Hal ini dapat dilihat pada Pasal 3, yang menyatakan bahwa : “Perusahaan
Perkebunan Kelapa Sawit dalam waktu paling lambat sampai dengan tanggal 31
Desember 2014 harus sudah melaksanakan usaha sesuai dengan ketentuan Peraturan
ini”. Sanksi apabila Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit tidak melakukan
implementasi ISPO adalah akan dikenakannya sanksi penurunan kelas kebun menjadi
Kelas IV.
Mengingat bahwa kelapa sawit merupakan salah satu andalan
komoditi pertanian di Indonesia yang memiliki peran strategis dalam
perekonomian nasional, maka Pemerintah Indonesia menciptakan sendiri regulasi
nasional pengembangan kelapa sawit berkelanjutan yaitu Peraturan Menteri
Pertanian No. 19/Permentan/OT/140/3/2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa
Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil – ISPO)
dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan perkebunan berkelanjutan (sustainable)
yang disesuaikan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Apabila perusahaan perkebunan kelapa sawit mengalami
penurunan kelas kebun menjadi Kelas IV, maka akan diberikan peringatan sebanyak
3 (tiga) kali dengan selang waktu 4 (empat) bulan sebelum Izin Usaha Perkebunan
(IUP) dicabut.20 Peringatan itu adalah untuk memperbaiki seluruh aspek yang
disebutkan di atas. Selain itu juga, perusahaan perkebunan kelapa sawit
tersebut tidak dapat mengekspor CPO-nya ke luar negeri.
Dalam
pelaksanaannya ISPO berlandaskan pada Pasal 3 ayat (4) UUD 1945 Amandemen ke-4,
yang menyatakan bahwa : “Perekonomian nasional diselenggarakan atas demokrasi
ekonomi,
dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi
nasional”. Prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan maksudnya adalah
upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan
ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup
serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini
dan generasi masa depan.
Dengan adanya ketetapan ISPO, bertujuan untuk meningkatkan
kepedulian akan pentingnya memproduksi kelapa sawit berkelanjutan serta
meningkatkan daya saing minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia. Karena
ISPO didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, maka
ketentuan ini merupakan mandatory (kewajiban) yang harus dilaksanakan
bagi pelaku usaha perkebunan di Indonesia. Perusahaan perkebunan sawit yang
dapat mengajukan permohonan sertifikasi ISPO harus memenuhi beberapa
persyaratan. Misalnya, sudah mendapat penilaian sebagai kebun kelas 1, kelas 2,
dan kelas 3. Penilaian ini sesuai dengan Permentan No. 7 Tahun 2009 tentang
Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan.
Indonesian Sustainable Palm Oil berbeda dengan Roundtable
on Sustainable Palm Oil (RSPO), ISPO disusun berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia dan berbagai terkait. Misalnya
Kementerian Pertanian, Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Badan Pertanahan Nasional. Karena
itu seluruh ketentuan di dalam ISPO harus ditaati karena masing- masing
ketentuan tersebut ada sanksinya”. Tujuan dari sertifikasi ISPO ini menurut
Kementerian Pertanian adalah untuk mendorong usaha perkebunan kelapa sawit
memenuhi kewajibannya sesuai peraturan perundang-undangan, melindungi,
mempromosikan usaha perkebunan kelapa sawit berkelanjutan sesuai dengan
tuntutan pasar.
Sertifkasi ISPO ini mendorong pertumbuhan investasi dan
pengembangan Perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia untuk
mengimplementasikan pengembangan usaha dan manajemennya ke arah sistem yang
berkelanjutan dan berkesinambungan dalam jangka panjang
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Indonesian Sustainable Palm Oil intinya
menerapkan seluruh paket ketentuan terkait yang berlaku di Indonesia , untuk
dipatuhi penerapannya dalam pengembangan kelapa sawit. Oleh sebab itu kepatuhan
penerapannya bersifat mandatory, artinya wajib, sehingga akan dilakukan
penindakan bagi yang melanggar. Sesuai dengan Permentan No. 07/2009
tentang Pedoman Penilaian Usaha Perkebunan, setiap 3 tahun sekali kebun dinilai
untuk mendapatkan kelas kebun (aspek legalitas, manajemen, kebun, pengolahan
hasil, sosial, ekonomi wilayah, lingkungan, serta pelaporan).
Hasil penilaian tersebut berupa penentuan kelas kebun,
yaitu kebun kelas I (baik sekali), kelas II (baik), kelas III (sedang), kelas
IV (kurang) dan kelas V (kurang sekali). Dalam pelaksanaannya
ISPO berlandaskan pada Pasal 3 ayat (4) UUD 1945 Amandemen ke-4, yang
menyatakan bahwa : “Perekonomian nasional diselenggarakan atas demokrasi
ekonomi, dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan,
berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan
ekonomi nasional”.
DAFTAR
PUSTAKA
Andiko
dan Norman Jiwab, Panduan Dasar Bagi Aktifis dan Masyarakat : Memahami dan
Memantau Pelaksanaan Peraturan dan Hukum oleh Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit
di Indonesia, Bogor : Sawit Watch, Januari 2012.
Asshiddiqie,
Jimly., dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta :
Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Kementerian Pertanian, “Bayu Khrisnamurthi : ISPO (Indonesian
Sustainable Palm Oil)”, disampaikan dalam Acara Publik ISPO di Jakarta, 04
Januari 2011.
Tim ISPO Kementerian Pertanian, “Draft Ketentuan Pengelolaan
Perkebunan Kelapa Sawit Indonesia Berkelanjutan (Indonesian Sustainable Palm
Oil - ISPO)”, Kementerian Pertanian, Direktorat Budidaya Tanaman Tahunan dan
Komisi Minyak Sawit Indonesia, draft tanggal 24 Juni 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar