MAKALAH
INTEGRASI
TANAMAN DAN TERNAK
TENTANG
INTEGRASI PASI DAN TERNAK

KELOMPOK 4:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
DOSEN :
IMELDA SISKA,
PROGRAM STUDI
AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS
ISLAM KUANTAN SINGINGI
TELUK KUANTAN
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan
hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Intergrasi
Padi Dan Ternak”Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan
refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan
ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang
telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah
ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Taluk Kuantan, November 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................................ 3
1.3
Tujuan.............................................................................................................. 3
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 4
2.1 Teknologi Budidaya Padi................................................................................. 5
2.2 Teknologi Pengelolaan Ternak.......................................................................... 8
2.3 Pengolahan Jerami Dan Dedak........................................................................... 11
2.4 Pengolahan Pupuk Kandang................................................................................ 11
BAB
III PENUTUP...................................................................................................... 14
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 14
DAFTARPUSTAKA.................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Padi merupakan makanan pokok bagi
sebagian
besar penduduk di beberapa negara di Asia termasuk
Indonesia yang telah
berlangsung ratusan tahun. Kini hampir 90%
produksi padi dihasilkan dan dikonsumsi
di Asia. Hal ini mengisyaratkan upaya
peningkatan
produksi padi menjadi suatu keniscayaan
mengingat
jumlah
penduduk dunia terus bertambah dengan laju 1,3% per
tahun. Pada tahun 2025 mendatang jumlah
penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 8,3 milyar (Balitbangtan, 2011). Di Indonesia,
jumlah penduduk pada tahun 2010
sudah mencapai 237,56 juta jiwa dengan kebutuhan
beras 33,06 juta ton/tahun
dengan asumsi 139
kg/kapita/tahun.
Terkait dengan peningkatan jumlah penduduk yang menjadi 241 juta jiwa
pada tahun 2011, pemerintah
menargetkan produksi padi menjadi 68,59 juta ton gabah kering giling (GKG) atau setara dengan
38,57
juta
ton beras. Angka ini meningkat sebesar 2,1
juta ton GKG atau 3,2%
dibandingkan dengan sasaran produksi padi
pada
tahun 2010 (Anonim, 2011).
Selain padi,
daging merupakan
pangan yang cukup penting. Dalam 10 tahun terakhir, pengembangan sub-sektor
peternakan telah menunjukkan
hasil yang
nyata, terutama kontribusinya
terhadap PDB.
Konsumsi daging, telur, dan susu masing- masing meningkat
7,6%; 5,22%; dan 0,92%. Namun
peningkatan konsumsi belum
diimbangi oleh peningkatan produksi, terutama
daging sapi yang populasinya bahkan menurun hingga 4,1%/tahun
(Kusnadi, 2008). Untuk memenuhi
kebutuhan daging dalam
negeri sebagian harus diimpor.
Kebutuhan
daging
sapi tahun 2014 merujuk pada konsumsi daging per kapita yang naik dari tahun 2013 sebesar 2,2 kg/tahun
menjadi
2,36 kg/tahun.
Sementara
itu, pemenuhan konsumsi daging sapi yang berasal dari impor hanya 58.280 ton atau 9,8 persen
berasal dari sapi bakalan sebesar 34.970 ton atau setara
175.407 ekor, sementara dalam bentuk daging
sebesar 23.3100 ton. Untuk menyediakan
kebutuhan daging
lokal
tahun
2014,
dibutuhkan
populasi sapi mencapai 19,7 juta ekor, sementara untuk sapi potong harus tersedia sebesar 17,6 juta ekor lebih tinggi dari
populasi sapi potong
tahun 2013 sebesar 16,8
juta
ton (Anonim, 2013).
Swasembada daging sapi sudah dicanangkan sejak tahun 2005 dan ditargetkan
dapat tercapai
pada tahun 2010, namun kenyataannya
belum dapat tercapai, sehingga pemerintah
menargetkan kembali swasembada
baru tercapai pada tahun 2014.
Konsep swasembada daging sapi tentu bukanlah hal yang tidak mungkin dicapai jika
ada
kesungguhan
dari semua pihak untuk
membangun agribisnis ternak sapi potong dalam negeri. Potensi
pasar dan sumber daya yang mendukung seharusnya menjadi peluang untuk pengembangan ternak sapi potong dengan keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar lokal maupun
ekspor.
Populasi
sapi Indonesia bisa
berkembang
karena usaha tersebut cukup
prospektif,
terbukti saat ini tumbuh usaha penggemukan
sapi di sejumlah daerah termasuk yang didorong
melalui Program Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO) sejak 2011.
Kelompok
tani diberikan
sejumlah sapi kemudian petani mengolah kotoran sapi menjadi kompos. Terdapat kelompok tani yang mampu mengembangkan
usaha produksi kotoran dan urine sapi sebagai
usaha utama, sedangkan penggemukan sapi menjadi usaha
sampingan.
Hasil penjualan kotoran dan urine sapi memberikan pendapatan sehari sebesar
Rp. 22.000/ekor, sementara pembelian pakan hanya
Rp.
7.000/ekor. Rata-rata
harga
kompos
di
UPPO berkisar
antara Rp.
600-
750/kg yang diserap
petani setempat.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimanakah Teknologi Budidaya Padi?
2.
Bagaimanakah Teknologi Pengelolaan Ternak?
3.
Bagaimanakah Pengolahan Jerami Dan Dedak?
4.
Bagaimanakah Pengolahan Pupuk Kandang?
1.2 Tujuan
1.
Untuk Mengetahui Teknologi Budidaya Padi.
2.
Untuk Mengetahui Teknologi Pengelolaan Ternak.
3.
Untuk Mengetahui Pengolahan Jerami Dan Dedak.
4.
Untuk Mengetahui Pengolahan Pupuk Kandang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Teknologi Budidaya Padi
Teknologi budidaya padi saat ini
dikenal dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT). Komponen teknologi
yang
diterapkan dalam PTT dikelompokkan ke dalam teknologi
dasar dan pilihan. Komponen teknologi dasar sangat dianjurkan untuk diterapkan
di semua
lokasi padi sawah. Menurut Zaini et al. (2009), komponen
teknologi dasar terdiri atas: (1).
Varietas unggul baru berdasarkan
agroekosistem,
(2).
Benih bermutu dan
berlabel, (3). Pemberian bahan organik berupa pengembalian
jerami dalam bentuk kompos atau pupuk kandang,
(4).
Pengaturan populasi tanaman secara optimum, (5). Pengendalian organisme pengganggu
tanaman (OPT) dengan pendekatan pengendalian hama terpadu.
Penerapan komponen pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan
kemampuan petani setempat. Teknologi
pilihan terdiri atas: (1). Pengolahan tanah
sesuai musim dan pola tanam, (2).
Penggunaan
bibit muda (<21 hari setelah sebar), (3).
Tanam bibit 1-3 batang/rumpun, (4). Pengairan
secara efektif dan efisien, (5).
Penyiangan
dengan landak atau gasrok, (6).
Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok.
Menurut Suyasa et al. (2004), penerapan budidaya
padi
dengan sistem tandur jajar
legowo, pengairan secara intermitten selama
5 hari, pemberian kompos 2 ton/ha, 150 kg urea/ha,
60 kg SP-36/ha, dan 40 kg KCl/ha berdasarkan
bagan warna daun mampu memberikan hasil
padi inbrida
tertinggi
sebesar 7,87 ton/ha.
Peran
ternak dalam teknologi
budidaya padi diantaranya pengolahan
tanah
dengan tenaga ternak dan penggunaan kotoran ternak
yang telah terdekomposisi
dapat menyuburkan
tanah yang mulai
mengeras akibat penggunaan
pupuk kimia yang sangat
intensif. Seekor sapi
dewasa
dapat menghasilkan kotoran (feses/tinja) 8-10
kg setiap hari yang
dapat diproses menjadi 4-5
kg
kompos/hari (Haryanto et al.,
2003). Adapun urine sapi ditampung
dari hasil
pembuangan ternak kemudian disimpan dalam drum
plastik, diolah dengan ramuan dan
kemudian diendapkan.
Pupuk cair dari urine tersebut dapat digunakan
untuk menyuburkan
tanaman padi melalui penyemprotan daun. Pupuk organik dari kotoran
dan
urine yang dihasilkan
sapi SIPT sangat laris dan banyak pemesannya, akan tetapi persediaan terbatas
(Khairiah dan Handoko, 2009). Peranan limbah ternak belum
sepenuhnya mengganti
peran pupuk anorganik,
namun dapat menambah
atau melengkapi kekurangan unsur mikro yang tidak diperoleh
pada pupuk anorganik.
2.2 Teknologi Pengelolaan Ternak
Keberhasilan
pemeliharaan
sapi
dipengaruhi beberapa hal diantaranya pemilihan sapi bakalan yang digunakan yaitu
peranakan Ongole (lokal) atau
sapi
bangsa lain dengan ciri-ciri yaitu ternak siap
berproduksi minimal umur 3 tahun dengan
bobot badan minimal
250
kg. bentuk tubuh
ideal, kerangka besar/kuat, kesehatan ternak cukup baik, dan bebas penyakit. Perbaikan manajemen pemeliharaan dapat meningkatkan
kualitas sapi Bali. Penampilan
reproduksi sapi
Bali
yang
dipelihara secara
intensif adalah
umur sapi Bali mengalami
berahi pertama718,57 ± 12,65 hari, umur pertama melahirkan 1.104,51 ± 23,82 hari, calving interval 350,46 ± 27,98 hari, dan angka konsepsi sebesar 1,65 ± 0,87 (Siswanto et al., 2013).
Pengelolaan sapi
secara intensif dengan memperhatikan
aspek
pakan (konsentrat dan jerami padi fermentasi), manajemen
kandang kolektif, dan kesehatan
hewan mampu
meningkatkan average daily gain (ADG) 0,89 kg/ekor/hari selama periode
penggemukan sapi, lebih tinggi daripada pola petani yang hanya
0,29 kg/ekor/hari. ADG
yang dihasilkan
meningkat sekitar 0,6
kg/ekor/hari (67,42%), sehingga mampu
menghasilkan ADG 0,29-0,89 kg/hari atau 87- 267 kg/ekor/tahun.
Kegiatan penggemukan
sapi tidak hanya untuk pencapaian
nilai ADG yang tinggi
saja,
namun
bagaimana
ternak sapi dapat memanfaatkan jerami padi
yang
selama ini belum optimal, sehingga dapat menekan
biaya produksi
dan ramah lingkungan (Basuni et al., 2010b). Penanganan kesehatan ternak sangat penting untuk
mengendalikan parasit, kesehatan reproduksi,
dan kesehatan secara umum. Ternak
sapi
perlu diberi obat cacing dan vitamin B-
kompleks di awal pemeliharaan. Sapi yang
terkena serangan cacing memiliki
bobot tubuh
yang sangat
kurang, sehingga
tidak
berproduksi secara optimal.
Bioteknologi reproduksi berpengaruh terhadap
4 faktor utama yang menentukan perubahan
genetik, yakni: (1). Intensitas seleksi, (2). Laju reproduksi,
(3).
Tersedianya teknologi
yang efisien dan secara sosial dapat diterima, dan (4).
Kondisi keuangan
yang
cukup tersedia. Manipulasi genetik merupakan satu-satunya
bioteknologi yang dapat
memenuhi pembentukan variasi genetik pada spsesies diantara keragaman
mutasi alam,
dengan meningkatkan
jumlah yang akan
diseleksi
atau menghasilkan
spesies baru yang belum ada sebelumnya.
Teknologi
transfer embrio memungkinkan dapat dilakukannya perpaduan antara peningkatan akurasi dan intensitas seleksi pada tingkat
inbreeding yang akan
mengurangi
interval antar generasi. Produksi
embrio, cloning,
dan teknologi transfer embryo merupakan metode baru dalam menentukan peningkatan mutu
genetik pada sapi (Lubis,
2000). Menurut
Mariyono dan Romjali (2007), produktivitas
ternak dipengaruhi
oleh faktor lingkungan
sampai 70% dan faktor genetik hanya sekitar 30%.
Di antara faktor lingkungan
tersebut, aspek pakan mempunyai
pengaruh paling
besar sekitar 60%. Hal ini menunjukkan bahwa
walaupun
potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi
persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai.
Kontribusi
usaha tanaman padi dalam
pengelolaan pakan ternak
sapi
yaitu
limbah pertanian
berupa jerami padi baik yang
difermentasi
maupun tidak.
Namun jerami yang tidak
difermentasi
tidak
dapat
dicerna oleh ternak dengan baik karena mengandung
lignin dan hemiselulosa,
seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Menurut
Prihartini
et
al. (2009), biodegradasi lignin pada jerami bertujuan
untuk
menghilangkan lignin, meningkatkan
kecernaan selulosa dan
jumlah
protein,
sehingga meningkatkan kualitas jerami sebagai pakan ternak. Prihartini
et al. (2007), menemukan isolat bakteri TLiD dan BOpR mampu mendegradasi
lignin dan
organochlorin
(lignolitik) dan spesifik tumbuh
baik pada jerami padi. Fermentasi jerami padi
dengan
isolat TLiD dan BOpR dapat menurunkan
kandungan lignin jerami padi
sampai 100% pada fermentasi hari ke-7 dan meningkatkan protein kasar (PK) jerami padi.
Efisiensi degradasi isolat
tinggi dimana degradasi lignin lebih tinggi dibandingkan selulosa. Menurut
Basuni et al. (2010a),
sapi
dipelihara di kandang kelompok, pakan berupa
jerami padi fermentasi dan
konsentrat
diberikan 3% dari bobot badan. Ternak diberi pakan 2 kali/hari yaitu pagi dan siang hari.
Pertambahan bobot badan dihitung dengan
cara
mengurangi bobot badan akhir dengan
bobot badan awal dibagi dengan jumlah hari antara
kedua bobot badan.
Pengamatan terhadap pertambahan
bobot hidup sapi juga dilakukan
terhadap sapi bakalan yang dipelihara untuk digemukkan
dan
selanjutnya dijual, sehingga petani memperoleh keuntungan dari kelebihan pertambahan berat badan serta harga yang lebih tinggi
pada sapi yang berat. Penimbangan dilakukan setiap
bulan sekali untuk mengetahui pertambahan
bobot badan, tinggi badan
dan lingkar dadanya.
Pengembangan sistem usahatani SIPT perlu dilakukan
melalui pendekatan kelompok. Cara ini dapat memudahkan pemerintah
dalam
memberikan
penyuluhan
dan
pelatihan selain mengintensifkan
komunikasi di antara anggota kelompok maupun
antara anggota
kelompok dengan pemerintah
(Basuni et al., 2010a). Penelitian komponen peternakan
telah banyak dilakukan
mulai sistem kandang, pemberian pakan,
sistem perkawinan, dan
manajemen
kesehatan
ternak.
Bunch (2001), menyatakan
bahwa jumlah komponen teknologi yang diperkenalkan perlu dibatasi sesuai dengan keinginan petani. Sebagian besar petani
mempelajari keutungan teknologi, tingkat
kerumitan, dan mudah tidaknya teknologi diterapkan. Komponen teknologi berupa kandang
kawin, kandang pejantan, dan
kandang penyapihan
bagi
petani kecil dengan tingkat pemahaman yang relatif rendah, menilai bahwa komponen teknologi
tersebut memberikan
tugas tambahan dari kebiasaan
yang dilakukan dan menambah biaya
pengeluaran.
Pengembangan komponen
teknologi tersebut akan lebih efisien apabila diterapkan
melalui kandang kumpul, namun
sangat tergantung
sumberdaya yang dimiliki kelompok peternak seperti sumberdaya lahan
untuk kandang.
2.3 Pengolahan Jerami Dan Dedak
Limbah pertanian (by-product) olahan memiliki kandungan
protein 12% lebih tinggi
daripada kandungan
protein
rumput sekitar
9%. Palatabilitas
pakan olahan lebih baik karena mengandung molase dan pikuten
(mineral komersial)
(Sariubang, 2010). Limbah
pertanian dapat diolah menjadi pupuk organik,
pakan ternak, dan dedak sebagai berikut:
1. Pengolahan Jerami Sebagai Pupuk.
Pembakaran
jerami akan mengurangi
unsur hara yang terkandung di dalamnya,
sedangkan penelantaran
jerami di lahan
garapan meskipun unsur hara yang dikandungnya
relatif masih tersedia, namun
memerlukan waktu untuk cepat diikat oleh
partikel
tanah, sehingga proses penyuburan
kembali tanah membutuhkan waktu yang cukup lama. Menurut Abdulrachman
et al. (2013), pembuatan
kompos jerami dapat
dilakukan dengan dua cara:
1.
Ditumpuk dan dibalikkan,
dan
2.
Ditumpuk dengan ventilasi
tanpa dibalikkan, untuk mempercepat proses dekomposisi menggunakan
dekomposer.
Beberapa dekomposer komersial yang digunakan mengandung
beberapa macam
mikroba,
misalnya
M-Dec mengandung Trichoderma
harzianum, Aspergillus sp., dan
Trametes sp. Orgadec
mengandung Trichoderma
pseudokoningi, dan Cytophaga
sp.EM-4 mengandung
bakteri fotosintesis, asam
laktat,
Actinomycetes, ragi, dan
jamur fermentasi.
Probion adalah bahan pakan aditif ternak
yang dapat digunakan secara langsung
sebagai bahan campuran pakan konsentrat
atau meningkatkan kualitas jerami padi melalui
proses fermentasi. Probion merupakan konsorsia
mikroba dari rumen ternak
ruminansia yang diperkaya dengan mineral
esensial untuk pertumbuhan
mikroba tersebut (Haryanto, 2012). Kompos yang telah matang ditandai dengan temperatur yang sudah konstan 40-50 oC, remah, dan berwarna coklat
kehitaman. Kompos yang didapat sejumlah ± 500 kg dengan kualitas C-organik >12%, C/N ratio
15-25%, kadar air 40-50%, dan
warna
coklat muda kehitaman.
2. Pengolahan Jerami Sebagai Pakan Ternak Sapi
Potensi
limbah pertanian berupa
jerami sangat berlimpah,
namun belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Kendala utama dari pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak adalah kandungan serat
kasar tinggi dan protein
serta kecernaan yang rendah. Penggunaan jerami secara langsung
atau sebagai pakan tunggal
tidak dapat
memenuhi pasokan nutrisi yang dibutuhkan
ternak (Yunilas,
2009). Nilai gizi jerami dapat ditingkatkan melalui fermentasi probiotik dan
hampir menyamai
kualitas rumput gajah.
Jerami yang sudah difermentasikan harus disimpan di tempat kering
agar mutunya terjaga (Ibrahim et al., 2000). Jerami sebagai pakan ternak dapat mengefisienkan tenaga
kerja untuk mencari rumput. Bahkan
telah
dilakukan penelitian dan pengkajian pemberian
limbah pertanian jerami untuk ternak dengan menambahkan mikroba dan urea (Ibrahim et al., 2000). Menurut
Haryanto et al. (2002),
setiap hektar
sawah menghasilkan
jerami segar 12-15 ton/ha/musim dan setelah melalui proses fermentasi menghasilkan
5-8 ton/ha yang dapat digunakan untuk pakan 2-3 ekor sapi/tahun. Menurut Haryanto (2004), produksi
jerami padi tersebut dapat memenuhi kebutuhan pakan ternak sebanyak 1.196.432 ekor/musim.
Menurut Syamsu (2006), komposisi
nutrisi jerami
padi yang telah
difermentasi
dengan menggunakan starter mikroba (starbio)
sebanyak 0,06% dari berat jerami
padi, secara umum memperlihatkan
peningkatan kualitas dibanding jerami padi yang tidak difermentasi.
Kadar protein
kasar
jerami padi
yang difermentasi
mengalami peningkatan dari
4,23% menjadi
8,14% dan diikuti
dengan
penurunan kadar serat kasar.
Hal ini menunjukkan
indikasi bahwa starter mikroba merupakan
mikroba proteolitik yang
menghasilkan
enzim protease yang dapat
merombak protein menjadi polipeptida
yang
selanjutnya
menjadi peptide sederhana. Penggunaan starter mikroba menurunkan
kadar dinding sel jerami padi dari 73,41% menjadi 66,14%. Selama fermentasi terjadi pemutusan ikatan lignoselulosa dan
hemiselulosa jerami padi.
Mikroba lignolitik dalam starter mikroba membantu
perombakan ikatan lignoselulosa,
sehingga selulosa dan
lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh
enzim lignase. Fenomena ini terlihat dengan
menurunnya
kandungan selulosa dan lignin jerami padi yang difermentasi. Lignin merupakan
benteng pelindung fisik yang
menghambat daya cerna enzim terhadap jaringan tanaman dan lignin berikatan erat dengan hemiselulosa. Di lain pihak dengan menurunnya kadar dinding sel menunjukkan
telah terjadi pemecahan
selulosa dinding sel
sehingga
pakan
akan
menjadi lebih mudah dicerna oleh ternak.
Hasil fermentasi
jerami mampu meningkatkan kadar gizi yang dikandungnya sehingga diharapkan berdampak terhadap
pertambahan bobot
hidup
ternak. Menurut
Suyasa et al. (2004), sapi-sapi yang diberikan pakan tambahan seperti jerami dan probiotik mampu memberikan pertambahan bobot hidup
0,56-0,68 kg/ekor/hari
lebih tinggi dibandingkan
cara
petani. Untuk jerami
fermentasi memiliki peluang sebagai pengganti
rumput yang selama ini dimanfaatkan
sebagai pakan utama ternak
khususnya sapi, karena ke
depan nampaknya lahan akan semakin sulit
sedangkan
di sisi lain ternak semakin
dibutuhkan.
3. Pemanfaatan Dedak sebagai Pakan Ternak
Dedak merupakan
hasil sampingan
proses penggilingan padi menjadi beras yang
terdiri dari lapisan aleuron dan sebagian kecil
endosperma, pericarp, pegmen, dan germ (Tangendjaja,
1988). Dedak dihasilkan
sebanyak
8-10% dari berat padi yang digiling,
sehingga ketersediannya
cukup melimpah. Menurut
Udiyono
(1987), dedak padi secara
kimiawi mengandung
bahan kering 88,30%; serat kasar 15,30%; abu 9,90%, protein kasar 10,10%, lemak kasar 4,90%, dan BETN 48,10%.
Dedak
merupakan sumber
karbohidrat yang mudah tersedia dan sangat
efektif dalam memperbaiki kualitas fermentasi dan jerami padi (Bolsen et al., 1996). Pemberian
dedak dan probiotik bioplas pada induk bunting sapi lokal DAS Katingan
dapat
meningkatkan bobot badan induk sapi sekitar
0,5 kg/ekor/hari dan dapat
meningkatkan
bobot lahir anak sekitar 10,5 kg dibandingkan kontrol 8,9 kg.
Konsumsi
pakan meningkat sekitar 5,2 kg. Selain itu, pemberian dedak dan probiotik bioplas pada induk sapi lokal
DAS Katingan dapat estrus kembali setelah 62 hari setelah melahirkan dibandingkan dengan
kontrol
sekitar 85 hari setelah melahirkan
(Salfina, 2012).
2.4 Pengolahan Pupuk Kandang
Kotoran ternak merupakan salah satu masalah yang cukup mengganggu
lingkungan
dari
segi
kebersihan dan bau
yang
tidak
sedap. Di sisi lain, terdapat
permasalahan sawah yang sakit, sehingga tidak dapat
memberikan hasil panen yang tinggi karena kekurangan unsur hara yang kemungkinan besar terkurasnya bahan organik dan unsur- unsur mikro dari tanah. Teknologi pengolahan kotoran ternak menjadi kompos merupakan alternatif pemecahan masalah lingkungan dan dapat mengatasi masalah lahan sawah yang sakit.
Salah
satu metode yang mudah
dilakukan untuk membuat
pupuk kandang
yaitu kotoran ternak dikumpulkan di tempat
pembuatan pupuk kandang yang terlindung
dari panas matahari
dan
terlindung dari air
hujan. Kemudian dicampur dengan imbangan 2,5
kg Probiotik; 2,5 kg urea; 2,5 kg TSP; 100 kg abu sekam untuk setiap ton bahan
pupuk
yang ditumpuk
sampai
sekitar 1 meter.
Campuran didiamkan selama ± 3 minggu
(dibalik setiap minggu).
Keberhasilan proses
dekomposisi akan diikuti dengan peningkatan
relatif sama, maka dilakukan pengeringan
dengan
sinar matahari selama 1 minggu, kemudian dilakukan penyaringan
secara fisik,
sehingga siap untuk dipergunakan (Haryanto,
2004). Penggunaan pupuk kandang dapat
meningkatkan
hasil gabah kering panen pada musim tersebut apabila dikombinasi dengan
pupuk anorganik takaran
rendah (Syam dan Sariubang, 2004).
Pemanfaatan kotoran sapi yang diolah
menjadi
pupuk cair dan pupuk kompos diharapkan dapat dijadikan
sumber penghasilan tambahan bagi peternak dan
dapat
memperbaiki kesuburan lahan
pertanian. Introduksi teknologi pola integrasi
ternak dengan tanaman
padi mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp
34.488.800,- lebih
tinggi dibandingkan
teknologi tradisional sebesar Rp 22.903.200,- dan berdasarkan
analisis R/C ratio sebesar 6, lebih tinggi dibandingkan dengan pola tradisional dengan R/C ratio sebesar 4, sehingga layak untuk diusahakan
oleh petani
(Tabel 1). Usahatani integrasi
ternak sapi dengan padi merupakan
usahatani yang efisien dan dinilai efektif untuk perbaikan pendapatan
usahatani rakyat dengan
pemilikan lahan sempit
di
pedesaan.
Usahatani pola integrasi padi-sapi
meningkatkan pendapatan petani sebesar 70% pada usahatani skala luas tanaman padi 5 ha dan kepemilikan sapi sebanyak 20 ekor


Adanya kegiatan SIPT,
pengembangan
ternak sapi potong
di beberapa daerah
wilayah potensial berdampak positif dalam hal peningkatan populasi sapi dalam negeri, sehingga diharapkan
mampu berswasembada
daging di tahun mendatang.
Program SIPT bertujuan
untuk menjaga
keseimbangan
stok
ternak lokal sebagai plasma
nutfah
yang
sangat besar nilainya sekaligus untuk menekan
kebutuhan impor
daging
yang selama ini
sulit dibendung
sebagai akibat dari tingginya permintaan daging dalam negeri, akibatnya menguras devisa Negara yang cukup
besar (Muslim dan
Nurasa, 2006).
Selain itu, SIPT memberikan
dampak positif bagi petani sekitarnya (yang bukan peserta program) secara tidak langsung terimbas
oleh adanya informasi
yang
disampaikan oleh peternak SIPT. Di Nusa
Tenggara Barat, adanya SIPT mampu meningkatkan kinerja
kelompok
peternak dalam jual
beli ternak sapi Keremen. Sedangkan di Jawa Timur dengan pola tanam padi 3 kali/tahun dan merupakan daerah irigasi
teknis, maka jerami sepenuhnya
untuk
kebutuhan
pakan ternak. Pemberian
jerami
untuk pakan ternak cukup tinggi yaitu 25 kg/hari/ekor
untuk sapi bibit
dan 31 kg/hari/ekor untuk penggemukan sapi (Muslim, 2006a).

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sistem integrasi
padi-ternak (SIPT) dalam sistem pertanian merupakan
strategi yang sangat penting untuk mewujudkan usaha tani yang ramah lingkungan,
kesejahteraan
petani dan masyarakat desa. SIPT merupakan
salah satu program pemerintah untuk mewujudkan
kedaulatan pangan yang telah menjadi hak
seluruh
rakyat Indonesia
untuk memperoleh
pangan yang sehat, cukup, dan mudah diakses untuk keberlangsungan
hidup. Prinsip dari SIPT adalah usaha tani yang
menerapkan zero
waste dengan
memanfaatkan sumber daya lokal yaitu jerami padi, dedak, dan kotoran ternak secara efisien.
Program SIPT diinisiasi bersamaan dengan program pengelolaan tanaman
terpadu (PTT). Selain itu, pengembangan
sistem usahatani SIPT perlu dilakukan melalui pendekatan kelompok tani untuk memudahkan penyuluhan pertanian, adopsi teknologi padi- ternak, dan saluran bantuan pemerintah.
Keuntungan dari pola integrasi
padi-ternak
yaitu pemanfaatan potensi limbah tanaman
sebagai sumber pakan ternak, memanfaatkan kotoran
ternak sebagai pupuk kandang,
menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan,
dan
meningkatkan
partisipasi masyarakat
dalam mewujudkan
usaha agribisnis yang berdaya saing, ramah lingkungan, dan mandiri.
DAFTAR PUSTAKA
Abdulrachman, S.,
M.J.
Mejaya, P. Sasmita dan A. Guswara. 2013. Pengomposan
Jerami. Badan Penelitian
dan Pengembangan
Pertanian. Kementerian Pertanian.
Anonim. 2011. Roadmap peningkatan produksi
padi nasional (P2BN) menuju surplus beras 10 juta ton. Kementerian
Pertanian. Jakarta. 40
hal.
Anonim. 2013. Kebutuhan daging sapi 2014 diprediksi
593.040 ton.http://www.investor.co.id
/agribusiness/kebutuhan-daging-sapi-2014-diprediksi-593040-ton/74642. Diakses 5 Mei 2014 pukul 9:58 WIB
Arifin, B. 2011. Membangun kemandirian
dan kedaulatan pangan. Kongres Ilmu
Pengetahuan Indonesia (KIPNAS) X. Jakarta. 24 Hal.
Balitbangtan (Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian). 2011.
Varietas unggul padi untuk rakyat
mendukung swasembada beras
berkelanjutan.
Kementerian Pertanian. 68 hal.
Basuni, R., Muladno, C. Kusmana dan
Suryahadi. 2010a. Sistem
integrasi padi-
sapi potong
di lahan sawah. Buletin
IPTEK Tanaman Pangan, 5(1): 31-48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar