Minggu, 04 Desember 2016

makalah pertanian integrasi padi ternak



MAKALAH
INTEGRASI TANAMAN DAN TERNAK

TENTANG
INTEGRASI PASI DAN TERNAK


Logo Unix









KELOMPOK 4:
1.     
2.      
3.      
4.     
5.     
6.    



DOSEN : IMELDA SISKA,


PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ISLAM KUANTAN SINGINGI
TELUK KUANTAN
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang berjudul “Intergrasi Padi Dan Ternak”Pada makalah ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
           




Taluk Kuantan,   November 2016



Penyusun

 


DAFTAR ISI


Kata Pengantar............................................................................................................. i
Daftar Isi...................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1  Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2  Rumusan Masalah............................................................................................ 3
1.3  Tujuan.............................................................................................................. 3
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 4
2.1  Teknologi Budidaya Padi................................................................................. 5
2.2  Teknologi Pengelolaan Ternak.......................................................................... 8
2.3  Pengolahan Jerami Dan Dedak........................................................................... 11
2.4  Pengolahan Pupuk Kandang................................................................................ 11
BAB III PENUTUP...................................................................................................... 14
3.1  Kesimpulan...................................................................................................... 14
DAFTARPUSTAKA.................................................................................................... 15








BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Padi merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk di beberapa negara di Asia termasuk Indonesia yang telah berlangsung ratusan tahun. Kini hampir 90% produksi padi dihasilkan dan dikonsumsi di Asia. Hal ini mengisyaratkan upaya peningkatan produksi padi menjadi suatu keniscayaan   mengingat   jumlah   penduduk dunia terus bertambah dengan laju 1,3% per tahun. Pada tahun 2025 mendatang jumlah penduduk dunia diperkirakan akan mencapai 8,3 milyar (Balitbangtan, 2011). Di Indonesia, jumlah  penduduk  pada  tahun  2010  sudah mencapai 237,56 juta jiwa dengan kebutuhan beras 33,06 juta ton/tahun dengan asumsi 139 kg/kapita/tahun.
Terkait dengan peningkatan jumlah penduduk yang menjadi 241 juta jiwa pada tahun 2011, pemerintah menargetkan produksi padi menjadi 68,59 juta ton  gabah kering giling (GKG) atau setara dengan 38,57 juta ton beras. Angka ini meningkat sebesar 2,1 juta ton GKG atau 3,2% dibandingkan dengan  sasaran  produksi  padi  pada  tahun 2010 (Anonim, 2011).
Selain  padi,  daging  merupakan pangan yang cukup penting. Dalam 10 tahun terakhir, pengembangan sub-sektor peternakan  telah   menunjukkan  hasil   yang nyata, terutama kontribusinya terhadap PDB. Konsumsi daging, telur, dan susu masing- masing meningkat 7,6%; 5,22%; dan 0,92%. Namun  peningkatan  konsumsi  belum diimbangi oleh peningkatan produksi, terutama daging  sapi  yang  populasinya  bahkan menurun hingga 4,1%/tahun (Kusnadi, 2008). Untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri sebagian harus diimpor.
Kebutuhan daging   sapi   tahun   2014   merujuk   pada konsumsi daging per kapita yang naik dari tahun 2013 sebesar 2,2 kg/tahun menjadi 2,36 kg/tahun.  Sementara  itu,  pemenuhan konsumsi daging sapi yang berasal dari impor hanya 58.280 ton atau 9,8 persen berasal dari sapi bakalan sebesar 34.970 ton atau setara 175.407 ekor, sementara dalam bentuk daging sebesar 23.3100 ton. Untuk menyediakan kebutuhan  daging  lokal  tahun  2014, dibutuhkan populasi sapi mencapai 19,7 juta ekor, sementara untuk sapi potong harus tersedia sebesar 17,6 juta ekor lebih tinggi dari populasi sapi potong tahun 2013 sebesar 16,8 juta ton (Anonim, 2013).
Swasembada daging sapi sudah dicanangkan sejak tahun 2005 dan ditargetkan dapat tercapai pada tahun 2010, namun kenyataannya belum dapat tercapai, sehingga pemerintah  menargetkan kembali swasembada baru tercapai pada tahun 2014. Konsep swasembada daging sapi tentu bukanlah hal yang tidak mungkin dicapai jika ada kesungguhan dari semua pihak untuk membangun agribisnis ternak sapi potong dalam negeri. Potensi pasar dan sumber daya yang mendukung seharusnya menjadi peluang untuk pengembangan ternak sapi potong dengan keunggulan komparatif dan kompetitif di pasar lokal maupun ekspor.
Populasi sapi Indonesia bisa berkembang karena usaha tersebut cukup prospektif, terbukti saat ini tumbuh usaha penggemukan sapi di sejumlah daerah termasuk yang didorong melalui Program Unit Pengolah Pupuk Organik (UPPO) sejak 2011. Kelompok tani diberikan sejumlah sapi kemudian petani mengolah kotoran sapi menjadi kompos. Terdapat kelompok tani yang mampu mengembangkan usaha produksi kotoran dan urine sapi sebagai usaha utama, sedangkan  penggemukan sapi menjadi usaha sampingan. Hasil penjualan kotoran dan urine sapi memberikan pendapatan sehari sebesar Rp. 22.000/ekor, sementara pembelian pakan hanya  Rp.  7.000/ekor.  Rata-rata  harga kompos  di  UPPO  berkisar  antara  Rp.  600- 750/kg  yang  diserap  petani  setempat.










1.2  Rumusan Masalah
1.     Bagaimanakah Teknologi Budidaya Padi?
2.     Bagaimanakah Teknologi Pengelolaan Ternak?
3.     Bagaimanakah Pengolahan Jerami Dan Dedak?
4.     Bagaimanakah Pengolahan Pupuk Kandang?

1.2  Tujuan
1.     Untuk Mengetahui Teknologi Budidaya Padi.
2.     Untuk Mengetahui Teknologi Pengelolaan Ternak.
3.     Untuk Mengetahui Pengolahan Jerami Dan Dedak.
4.     Untuk Mengetahui Pengolahan Pupuk Kandang.



















BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Teknologi Budidaya Padi
Teknologi budidaya padi saat ini dikenal dengan pengelolaan tanaman terpadu (PTT).  Komponen teknologi  yang  diterapkan dalam PTT dikelompokkan ke dalam teknologi dasar dan pilihan. Komponen teknologi dasar sangat dianjurkan untuk diterapkan di semua lokasi padi sawah. Menurut Zaini et al. (2009), komponen teknologi dasar terdiri atas: (1). Varietas unggul baru berdasarkan agroekosistem, (2). Benih bermutu dan berlabel, (3). Pemberian bahan organik berupa pengembalian jerami dalam bentuk kompos atau pupuk kandang, (4). Pengaturan populasi tanaman secara optimum, (5). Pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan pendekatan pengendalian hama terpadu.
Penerapan komponen pilihan disesuaikan dengan kondisi, kemauan, dan kemampuan  petani  setempat.  Teknologi pilihan terdiri atas: (1). Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam, (2). Penggunaan bibit muda (<21 hari setelah sebar), (3).  Tanam  bibit  1-3  batang/rumpun, (4). Pengairan secara efektif dan efisien, (5). Penyiangan dengan landak atau gasrok, (6). Panen tepat waktu dan gabah segera dirontok. Menurut Suyasa et al. (2004), penerapan budidaya padi dengan sistem tandur jajar legowo, pengairan secara intermitten selama 5 hari, pemberian kompos 2 ton/ha, 150 kg urea/ha, 60 kg SP-36/ha, dan 40 kg KCl/ha berdasarkan bagan warna daun mampu memberikan  hasil  padi  inbrida  tertinggi sebesar 7,87 ton/ha.
Peran  ternak  dalam  teknologi budidaya padi diantaranya pengolahan tanah dengan   tenaga   ternak   dan   penggunaan kotoran   ternak   yang   telah   terdekomposisi dapat menyuburkan tanah yang mulai mengeras akibat penggunaan pupuk kimia yang  sangat  intensif.  Seekor  sapi  dewasa dapat menghasilkan kotoran (feses/tinja) 8-10 kg setiap hari yang dapat diproses menjadi 4-5 kg   kompos/hari   (Haryanto   et   al.,   2003). Adapun urine sapi ditampung dari hasil pembuangan ternak kemudian disimpan dalam drum plastik, diolah dengan ramuan dan kemudian diendapkan.
Pupuk cair dari urine tersebut dapat digunakan untuk menyuburkan tanaman padi melalui penyemprotan daun. Pupuk organik dari kotoran dan urine yang dihasilkan sapi SIPT sangat laris dan banyak pemesannya, akan tetapi persediaan terbatas (Khairiah   dan   Handoko,   2009).   Peranan limbah ternak  belum  sepenuhnya mengganti peran pupuk anorganik, namun dapat menambah  atau  melengkapi  kekurangan unsur mikro yang tidak diperoleh pada pupuk anorganik.

2.2  Teknologi Pengelolaan Ternak
Keberhasilan pemeliharaan sapi dipengaruhi beberapa hal diantaranya pemilihan sapi bakalan yang digunakan yaitu peranakan  Ongole  (lokal)  atau  sapi  bangsa lain dengan ciri-ciri yaitu ternak siap berproduksi minimal umur 3 tahun dengan bobot badan minimal 250 kg. bentuk tubuh ideal, kerangka besar/kuat, kesehatan ternak cukup baik, dan bebas penyakit. Perbaikan manajemen pemeliharaan dapat meningkatkan kualitas sapi Bali. Penampilan reproduksi sapi Bali  yang  dipelihara  secara  intensif  adalah umur  sapi  Bali  mengalami  berahi  pertama718,57 ± 12,65 hari, umur pertama melahirkan 1.104,51 ± 23,82 hari, calving interval 350,46 ± 27,98 hari, dan angka konsepsi sebesar 1,65 ± 0,87 (Siswanto et al., 2013).
Pengelolaan sapi secara intensif dengan memperhatikan aspek pakan (konsentrat dan jerami padi fermentasi), manajemen kandang kolektif, dan kesehatan hewan mampu meningkatkan average daily gain (ADG) 0,89 kg/ekor/hari selama periode penggemukan sapi, lebih tinggi daripada pola petani  yang  hanya  0,29  kg/ekor/hari.  ADG yang dihasilkan meningkat sekitar 0,6 kg/ekor/hari (67,42%), sehingga mampu menghasilkan ADG 0,29-0,89 kg/hari atau 87- 267   kg/ekor/tahun.  
Kegiatan  penggemukan sapi tidak hanya untuk pencapaian nilai ADG yang  tinggi  saja,  namun  bagaimana  ternak sapi  dapat  memanfaatkan jerami  padi  yang selama ini belum optimal, sehingga dapat menekan  biaya  produksi  dan  ramah lingkungan (Basuni et al., 2010b). Penanganan kesehatan ternak sangat penting untuk mengendalikan parasit, kesehatan reproduksi, dan  kesehatan  secara  umum.  Ternak  sapi perlu diberi obat cacing dan vitamin B- kompleks di awal pemeliharaan. Sapi yang terkena serangan cacing memiliki bobot tubuh yang sangat kurang, sehingga tidak berproduksi secara optimal.
Bioteknologi reproduksi berpengaruh terhadap 4 faktor utama yang menentukan perubahan genetik, yakni: (1). Intensitas seleksi, (2). Laju reproduksi, (3). Tersedianya teknologi yang efisien dan secara sosial dapat diterima,  dan  (4).  Kondisi  keuangan  yang cukup tersedia. Manipulasi genetik merupakan satu-satunya bioteknologi yang dapat memenuhi pembentukan variasi genetik pada spsesies diantara keragaman mutasi alam, dengan meningkatkan jumlah yang akan diseleksi   atau   menghasilkan  spesies   baru yang belum ada sebelumnya.
Teknologi transfer embrio memungkinkan dapat dilakukannya perpaduan antara peningkatan akurasi dan intensitas seleksi pada tingkat inbreeding  yang  akan  mengurangi  interval antar generasi. Produksi embrio, cloning, dan teknologi transfer embryo merupakan metode baru dalam menentukan peningkatan mutu genetik pada sapi (Lubis, 2000). Menurut Mariyono dan Romjali (2007), produktivitas ternak dipengaruhi oleh faktor lingkungan sampai 70% dan faktor genetik hanya sekitar 30%.
Di antara faktor lingkungan tersebut, aspek pakan mempunyai pengaruh paling besar sekitar 60%. Hal ini menunjukkan bahwa walaupun potensi genetik ternak tinggi, namun apabila pemberian pakan tidak memenuhi persyaratan kuantitas dan kualitas, maka produksi yang tinggi tidak akan tercapai. Kontribusi usaha tanaman padi dalam pengelolaan pakan  ternak  sapi  yaitu  limbah pertanian berupa jerami padi baik yang difermentasi  maupun  tidak.   Namun  jerami yang  tidak  difermentasi  tidak  dapat  dicerna oleh ternak dengan baik karena mengandung lignin dan hemiselulosa, seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya.
Menurut Prihartini  et  al.  (2009),  biodegradasi  lignin pada jerami bertujuan untuk menghilangkan lignin, meningkatkan kecernaan selulosa dan jumlah  protein,  sehingga  meningkatkan kualitas jerami sebagai pakan ternak. Prihartini et al. (2007), menemukan isolat bakteri TLiD dan BOpR mampu mendegradasi lignin dan organochlorin (lignolitik) dan spesifik tumbuh baik pada jerami padi. Fermentasi jerami padi dengan isolat TLiD dan BOpR dapat menurunkan kandungan lignin jerami padi sampai 100% pada fermentasi hari ke-7 dan meningkatkan protein kasar (PK) jerami padi.
Efisiensi    degradasi    isolat    tinggi    dimana degradasi lignin lebih tinggi dibandingkan selulosa. Menurut  Basuni  et  al.  (2010a),  sapi dipelihara di kandang kelompok, pakan berupa jerami  padi  fermentasi  dan  konsentrat diberikan 3% dari bobot badan. Ternak diberi pakan 2 kali/hari yaitu pagi dan siang hari. Pertambahan bobot badan dihitung dengan cara mengurangi bobot badan akhir  dengan bobot badan awal dibagi dengan jumlah hari antara kedua bobot badan.
Pengamatan terhadap pertambahan bobot hidup sapi juga dilakukan terhadap sapi bakalan yang dipelihara untuk digemukkan dan selanjutnya dijual, sehingga petani memperoleh keuntungan dari kelebihan pertambahan berat badan serta harga yang lebih tinggi pada sapi yang berat. Penimbangan dilakukan setiap bulan sekali untuk  mengetahui pertambahan bobot   badan,   tinggi   badan   dan   lingkar dadanya.
Pengembangan  sistem  usahatani SIPT perlu dilakukan melalui pendekatan kelompok. Cara ini dapat memudahkan pemerintah  dalam  memberikan  penyuluhan dan pelatihan selain mengintensifkan komunikasi di antara anggota kelompok maupun antara anggota kelompok dengan pemerintah (Basuni et al., 2010a). Penelitian komponen peternakan telah banyak dilakukan mulai sistem kandang, pemberian pakan, sistem  perkawinan,  dan  manajemen kesehatan ternak.
Bunch (2001), menyatakan bahwa jumlah komponen teknologi yang diperkenalkan perlu dibatasi sesuai dengan keinginan petani. Sebagian besar petani mempelajari keutungan teknologi, tingkat kerumitan, dan mudah tidaknya teknologi diterapkan. Komponen teknologi berupa kandang kawin, kandang pejantan, dan kandang penyapihan bagi petani kecil dengan tingkat   pemahaman   yang   relatif   rendah, menilai bahwa komponen teknologi tersebut memberikan tugas tambahan dari kebiasaan yang dilakukan dan menambah biaya pengeluaran.
Pengembangan komponen teknologi tersebut akan lebih efisien apabila diterapkan melalui kandang kumpul, namun sangat tergantung sumberdaya yang dimiliki kelompok peternak seperti sumberdaya lahan untuk kandang.


2.3  Pengolahan Jerami Dan Dedak
Limbah pertanian (by-product) olahan memiliki kandungan protein 12% lebih tinggi daripada  kandungan  protein  rumput  sekitar
9%. Palatabilitas pakan olahan lebih baik karena   mengandung   molase   dan   pikuten
(mineral komersial) (Sariubang, 2010). Limbah pertanian dapat diolah menjadi pupuk organik, pakan ternak, dan dedak sebagai berikut:
1.     Pengolahan Jerami Sebagai Pupuk.
Pembakaran jerami akan mengurangi unsur hara yang terkandung di dalamnya, sedangkan penelantaran jerami di lahan garapan meskipun unsur hara yang dikandungnya relatif masih tersedia, namun memerlukan waktu untuk cepat diikat oleh partikel tanah, sehingga proses penyuburan kembali   tanah   membutuhkan   waktu   yang cukup lama. Menurut Abdulrachman et al. (2013), pembuatan kompos jerami dapat dilakukan dengan dua cara:
1.    Ditumpuk dan dibalikkan, dan
2.    Ditumpuk dengan ventilasi tanpa dibalikkan, untuk mempercepat proses dekomposisi menggunakan dekomposer. Beberapa dekomposer komersial yang digunakan mengandung beberapa macam mikroba, misalnya M-Dec mengandung Trichoderma harzianum, Aspergillus sp., dan Trametes sp. Orgadec mengandung Trichoderma pseudokoningi, dan Cytophaga sp.EM-4 mengandung bakteri fotosintesis, asam  laktat,  Actinomycetes, ragi,  dan  jamur fermentasi.
Probion adalah bahan pakan aditif ternak yang dapat digunakan secara langsung sebagai bahan campuran pakan konsentrat atau meningkatkan kualitas jerami padi melalui proses fermentasi. Probion merupakan konsorsia mikroba dari rumen ternak ruminansia yang diperkaya dengan mineral esensial untuk pertumbuhan mikroba tersebut (Haryanto, 2012). Kompos yang telah matang ditandai dengan temperatur yang sudah konstan 40-50 oC, remah, dan berwarna coklat kehitaman. Kompos yang didapat sejumlah ± 500 kg dengan kualitas C-organik >12%, C/N ratio  15-25%, kadar air  40-50%, dan  warna coklat muda kehitaman.
2.     Pengolahan Jerami Sebagai Pakan Ternak Sapi
Potensi  limbah  pertanian  berupa jerami sangat berlimpah, namun belum dimanfaatkan sebagai pakan ternak sapi. Kendala utama dari pemanfaatan jerami sebagai pakan ternak adalah kandungan serat kasar tinggi dan protein serta kecernaan yang rendah. Penggunaan jerami secara langsung atau sebagai pakan tunggal tidak dapat memenuhi pasokan nutrisi yang dibutuhkan ternak (Yunilas, 2009). Nilai gizi jerami dapat ditingkatkan melalui fermentasi probiotik dan hampir menyamai kualitas rumput gajah.
Jerami yang sudah difermentasikan harus disimpan   di   tempat   kering   agar   mutunya terjaga (Ibrahim et al., 2000). Jerami sebagai pakan ternak dapat mengefisienkan tenaga kerja untuk mencari rumput. Bahkan telah dilakukan penelitian dan pengkajian pemberian limbah pertanian jerami untuk ternak dengan menambahkan mikroba dan urea (Ibrahim et al., 2000). Menurut Haryanto et al. (2002), setiap   hektar   sawah   menghasilkan   jerami segar 12-15 ton/ha/musim dan setelah melalui proses fermentasi menghasilkan 5-8 ton/ha yang dapat digunakan untuk pakan 2-3 ekor sapi/tahun. Menurut Haryanto (2004), produksi jerami padi tersebut dapat memenuhi kebutuhan pakan ternak sebanyak 1.196.432 ekor/musim.
Menurut Syamsu (2006), komposisi nutrisi  jerami  padi  yang  telah  difermentasi dengan menggunakan starter mikroba (starbio) sebanyak 0,06% dari berat jerami padi, secara umum memperlihatkan peningkatan kualitas dibanding jerami padi yang tidak difermentasi. Kadar    protein    kasar    jerami    padi    yang difermentasi   mengalami   peningkatan   dari 4,23% menjadi 8,14% dan diikuti dengan penurunan kadar serat kasar.
Hal ini menunjukkan indikasi bahwa starter mikroba merupakan mikroba proteolitik yang menghasilkan enzim protease yang dapat merombak protein menjadi polipeptida yang selanjutnya menjadi peptide sederhana. Penggunaan   starter   mikroba   menurunkan kadar dinding sel jerami padi dari 73,41% menjadi 66,14%. Selama fermentasi terjadi pemutusan ikatan lignoselulosa dan hemiselulosa jerami padi.
Mikroba lignolitik dalam starter mikroba membantu perombakan ikatan lignoselulosa, sehingga selulosa dan lignin dapat terlepas dari ikatan tersebut oleh enzim lignase. Fenomena ini terlihat dengan menurunnya kandungan selulosa dan lignin jerami padi yang difermentasi. Lignin merupakan benteng pelindung fisik yang menghambat daya cerna enzim terhadap jaringan tanaman dan lignin berikatan erat dengan hemiselulosa. Di lain pihak dengan menurunnya kadar  dinding sel  menunjukkan telah terjadi pemecahan selulosa dinding sel sehingga pakan akan menjadi lebih mudah dicerna oleh ternak.
Hasil fermentasi jerami mampu meningkatkan kadar gizi yang dikandungnya sehingga diharapkan berdampak terhadap pertambahan  bobot  hidup  ternak.  Menurut Suyasa et al. (2004), sapi-sapi yang diberikan pakan tambahan seperti jerami dan probiotik mampu memberikan pertambahan bobot hidup 0,56-0,68  kg/ekor/hari lebih  tinggi dibandingkan cara petani. Untuk jerami fermentasi memiliki peluang sebagai pengganti rumput yang selama ini dimanfaatkan sebagai pakan utama ternak khususnya sapi, karena ke depan nampaknya lahan akan semakin sulit sedangkan di sisi lain ternak semakin dibutuhkan.
3.     Pemanfaatan Dedak sebagai Pakan Ternak
Dedak merupakan hasil sampingan proses penggilingan padi menjadi beras yang terdiri dari lapisan aleuron dan sebagian kecil endosperma, pericarp, pegmen, dan germ (Tangendjaja, 1988). Dedak dihasilkan sebanyak 8-10% dari berat padi yang digiling, sehingga ketersediannya cukup melimpah. Menurut Udiyono (1987), dedak padi secara kimiawi mengandung bahan kering 88,30%; serat kasar 15,30%; abu 9,90%, protein kasar 10,10%,   lemak   kasar   4,90%,   dan   BETN 48,10%.
Dedak  merupakan  sumber karbohidrat yang mudah tersedia dan sangat efektif dalam memperbaiki kualitas fermentasi dan jerami padi (Bolsen et al., 1996). Pemberian dedak dan probiotik bioplas pada induk bunting sapi lokal DAS Katingan dapat meningkatkan bobot badan induk sapi sekitar 0,5   kg/ekor/hari   dan   dapat   meningkatkan bobot lahir anak sekitar 10,5 kg dibandingkan kontrol 8,9 kg.

Konsumsi pakan meningkat sekitar 5,2 kg. Selain itu, pemberian dedak dan probiotik bioplas pada induk sapi lokal DAS Katingan dapat estrus kembali setelah 62 hari setelah melahirkan dibandingkan dengan kontrol sekitar 85 hari setelah melahirkan (Salfina, 2012).

2.4  Pengolahan Pupuk Kandang
Kotoran ternak merupakan salah satu masalah yang cukup mengganggu lingkungan dari  segi  kebersihan  dan  bau  yang  tidak sedap. Di sisi lain, terdapat permasalahan sawah yang sakit, sehingga tidak dapat memberikan hasil  panen  yang  tinggi  karena kekurangan unsur hara yang kemungkinan besar terkurasnya bahan organik dan unsur- unsur mikro dari tanah. Teknologi pengolahan kotoran ternak menjadi kompos merupakan alternatif pemecahan masalah lingkungan dan dapat mengatasi masalah lahan sawah yang sakit.
Salah satu metode yang mudah dilakukan  untuk   membuat  pupuk   kandang yaitu kotoran ternak dikumpulkan di tempat pembuatan  pupuk  kandang  yang  terlindung dari panas matahari dan terlindung dari air hujan. Kemudian dicampur dengan imbangan 2,5 kg Probiotik; 2,5 kg urea; 2,5 kg TSP; 100 kg abu sekam untuk setiap ton bahan pupuk yang ditumpuk sampai sekitar 1 meter. Campuran didiamkan selama ± 3 minggu (dibalik  setiap minggu).
Keberhasilan proses dekomposisi akan diikuti dengan peningkatan relatif   sama,  maka   dilakukan  pengeringan dengan sinar matahari selama 1 minggu, kemudian dilakukan penyaringan secara fisik, sehingga siap untuk dipergunakan (Haryanto, 2004). Penggunaan pupuk kandang dapat meningkatkan hasil gabah kering panen pada musim tersebut apabila dikombinasi dengan pupuk anorganik takaran rendah (Syam dan Sariubang, 2004).
Pemanfaatan kotoran sapi yang diolah menjadi pupuk cair dan pupuk kompos diharapkan  dapat  dijadikan  sumber penghasilan   tambahan   bagi   peternak   dan dapat  memperbaiki  kesuburan  lahan pertanian.  Introduksi teknologi  pola  integrasi ternak dengan tanaman padi mampu meningkatkan pendapatan petani sebesar Rp
34.488.800,-  lebih  tinggi  dibandingkan teknologi tradisional sebesar Rp 22.903.200,- dan berdasarkan analisis R/C ratio sebesar 6, lebih tinggi dibandingkan dengan pola tradisional dengan R/C ratio sebesar 4, sehingga layak untuk diusahakan oleh petani (Tabel 1).  Usahatani integrasi ternak sapi dengan   padi   merupakan   usahatani   yang efisien dan dinilai efektif untuk perbaikan pendapatan  usahatani  rakyat  dengan pemilikan  lahan  sempit  di  pedesaan. Usahatani pola integrasi padi-sapi meningkatkan   pendapatan   petani   sebesar 70% pada usahatani skala luas tanaman padi 5 ha dan kepemilikan sapi sebanyak 20 ekor
(Basuni et al., 2010b).
Adanya kegiatan  SIPT, pengembangan  ternak  sapi  potong  di beberapa daerah wilayah potensial berdampak positif dalam hal peningkatan populasi sapi dalam negeri, sehingga diharapkan mampu berswasembada daging di tahun mendatang. Program SIPT bertujuan untuk menjaga keseimbangan stok ternak lokal sebagai plasma  nutfah  yang  sangat  besar  nilainya sekaligus untuk menekan kebutuhan impor daging   yang   selama   ini   sulit   dibendung sebagai   akibat   dari   tingginya   permintaan daging dalam negeri, akibatnya menguras devisa Negara yang cukup besar (Muslim dan Nurasa, 2006).
Selain itu, SIPT memberikan dampak positif bagi petani sekitarnya (yang bukan peserta program) secara tidak langsung terimbas oleh adanya informasi yang disampaikan oleh peternak SIPT. Di Nusa Tenggara Barat, adanya SIPT mampu meningkatkan  kinerja  kelompok  peternak dalam jual beli ternak sapi Keremen. Sedangkan di Jawa Timur dengan pola tanam padi 3 kali/tahun dan merupakan daerah irigasi teknis, maka jerami sepenuhnya untuk kebutuhan pakan ternak. Pemberian jerami untuk pakan ternak cukup tinggi yaitu 25 kg/hari/ekor  untuk  sapi  bibit  dan  31 kg/hari/ekor untuk penggemukan sapi (Muslim, 2006a).




















BAB III
PENUTUP

3.1   Kesimpulan
Sistem integrasi padi-ternak (SIPT) dalam sistem pertanian merupakan strategi yang sangat penting untuk mewujudkan usaha tani yang ramah lingkungan, kesejahteraan petani dan masyarakat desa. SIPT merupakan salah satu program pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang telah menjadi  hak  seluruh  rakyat  Indonesia  untuk memperoleh pangan yang sehat, cukup, dan mudah diakses untuk keberlangsungan hidup. Prinsip dari SIPT adalah usaha tani yang menerapkan zero  waste  dengan memanfaatkan sumber daya lokal yaitu jerami padi, dedak, dan kotoran ternak secara efisien.
Program SIPT diinisiasi bersamaan dengan  program  pengelolaan  tanaman terpadu (PTT). Selain itu, pengembangan sistem usahatani SIPT perlu dilakukan melalui pendekatan kelompok tani untuk memudahkan penyuluhan pertanian, adopsi teknologi padi- ternak,   dan   saluran   bantuan   pemerintah.
Keuntungan  dari  pola  integrasi  padi-ternak yaitu pemanfaatan potensi limbah tanaman sebagai sumber pakan ternak, memanfaatkan kotoran ternak sebagai pupuk kandang, menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan, dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan usaha agribisnis yang berdaya saing, ramah lingkungan, dan mandiri.









DAFTAR PUSTAKA

Abdulrachman, S.,  M.J.  Mejaya,  P.  Sasmita dan A. Guswara. 2013. Pengomposan Jerami. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Anonim. 2011. Roadmap peningkatan produksi padi nasional (P2BN) menuju surplus beras 10 juta ton. Kementerian Pertanian. Jakarta. 40 hal.
Anonim. 2013. Kebutuhan daging sapi 2014 diprediksi 593.040 ton.http://www.investor.co.id /agribusiness/kebutuhan-daging-sapi-2014-diprediksi-593040-ton/74642. Diakses 5 Mei 2014 pukul 9:58 WIB
Arifin, B. 2011. Membangun kemandirian dan kedaulatan pangan. Kongres Ilmu Pengetahuan Indonesia (KIPNAS) X. Jakarta. 24 Hal.
Balitbangtan (Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian). 2011. Varietas unggul padi untuk rakyat mendukung swasembada beras berkelanjutan.  Kementerian  Pertanian. 68 hal.
Basuni, R., Muladno, C. Kusmana dan Suryahadi. 2010a. Sistem integrasi padi- sapi potong di lahan sawah. Buletin IPTEK Tanaman Pangan, 5(1): 31-48.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar