KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah kami yang berjudul “Ijtihat Sebagai Sumber Hukum Islam” Pada makalah
ini kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari
berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima
kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat
jauh dari sempurna, untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima
kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Taluk Kuantan, Juli 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar............................................................................................................. i
Daftar
Isi...................................................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN............................................................................................. 1
1.1
Latar Belakang................................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................................ 2
1.3
Tujuan.............................................................................................................. 2
BAB
II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3
2.1
Pengertian Aijtihat........................................................................................... 3
2.2
Jenis-Jenis Ijtihat............................................................................................. 7
2.5
Fungsi Ijtihat.................................................................................................... 8
BAB
III PENUTUP...................................................................................................... 9
3.1 Kesimpulan...................................................................................................... 9
DAFTARPUSTAKA.................................................................................................... 10
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
belakang
Dari sisi metodologis hukum islam
dapat dipahami sebagai hukum yang bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah nabi
melalui proses penalaran atau ijtihad. Ia diyakini sebagai hukum yang mencakup
seluruh aspek kehidupan manusia dan bersifat universal. Ruang gerak metodologi
antara wahyu sebagai sumber hukum yang memuat petunjuk-petunjuk global dan
jedudukan ijtihad sebagai fungsi pengembangannya, memungkinkan hukum islam
memiliki sifat elastis dan akomodatif sehingga keyakinan diatas tidaklah
belebihan. Karakteristik hukum islam yang bersendikan wahyu dan bersandarkan
akal, menurut Anderson, merupakan ciri khas yang membedakan hukum islam dari
system hukum lainnya.
Syariat islam yang disampaikan dalam
Al-Qur’an dan Al-Sunnah seccara komprehensif , memerlukan penelahaan dan
pengkjian ilmiah yang sungguh – sungguh serta berkesinambungan. Di dalam
keduanya terdapat lafad yang ‘am-khash, muthlaq – muqayyad, nasikhmansukh, dan
muhkam- mutasyabih, yang masih memerlukan penjelasan. Sementara itu , nas
Al-Qur’an dan sunah tekah berhenti, padahal waaktu terus berjalan dengan
sejumlah peristiwa dan persoalan yang datang silih berganti (al-wahy qad intaha
wal al waqa’I layantahi ). Oleh karena itu, diperlukan usaha penyelesaiian
secara sungguh-sungguh atas persoalan-persoalan yang tidak
ditunjukan secara tegas oleh nas itu. Ijtihad menjadi sangat penting.
1.2 Rumusan masalah
1.
Apa
yang dimaksud dengan ijtihad ?
2.
Apa
saja syarat-syarat seorang mujtahid ?
1.3 Tujuan Penulisan
1.
Memperluas
wawasan tentang apa itu ijtihad.
2.
Menuntut
mahasiswa agar mampu mengaplikasikan ijtihad dalam kehidupan sehari-hari.
3.
Mengetahui syarat-syarat
seorang mujtahid dan jenis-jenis ijtihad.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Ijtihad
Ijtihad secara bahasa
ijtihad berasal dari kata jahada. Kata ini beserta seluruh variasinya
menunjukan pekerjaan yang dilakukan lebih dari biasa, sulit dilaksanakan, atau
yang tidak disenangi . kata ini pun berarti kesanggupan (al wus), kekuatan (al
thaqah), dan berat (al masyaqqah), (ahmad bin ahmad bin ali al muqri al fayumi
t.th:112,dan eli’as dan eli’as. dan ed.e. eli’as 1982:126).
Para ulama mengajukan redaksi yang
bervariasi dalam mengartikan kata ijtihad secara bahasa . ahmad bin ahmad bin
ali al muqri al fayumi. Secara bahasa dalam artian jahada terdapat didalam
al-Qur’an surat an-nahl (16) ayat 38 , surat annur (24) ayat 53, dalam surat
fathir (35) ayat 42. Semua kata itu berarti pengarahan segala kemampuan dan
kekuatan. Dalam al sunnah kata ijtihad terdapat dalam sabda nabi yang artinya
pada waktu sujud, bersungguh-sungguh dalam berdo’a dan hadist lain
yang artinya “Rosul alloh SAW bersungguh-sungguh pada sepuluh hari
terakhir pada bulan ramadhan.
Dalam sejarah pemikiran Islam,
ijtihad telah banyak digunakan. Hakikat ajaran Al-Qur’an dan hadis memang
menghendaki digunakannya ijtihad. Dari ayat Al-Qur’an yang jumlahnya ± 6300,
hanya ±500 ayat, menurut perkiraan ulama, yang berhubungan dengan akidah,
ibadah, dan muamalah. Ayat-ayat tersebut pada umumnya berbentuk ajaran-ajaran
dasar tanpa penjelasan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara
pelaksanaannya dsb. Untuk itu, ayat-ayat tersebut perlu dijelaskan oleh
orang-orang yang mengetahui Al-Qur’an dan hadis, yaitu pada mulanya Sahabat
Nabi dan kemudian para ulama. Penjelasan oleh para Sahabat Nabi dan para ulama
itu diberikan melalui ijtihad.
Kata ijtihad menurut bahasa berarti
‘daya upaya” atau “usaha keras”. Dengan demikian ijtihad berarti “berusaha
keras untuk mencapai atau memperoleh sesuatu”. Dalam istilah fikih, ijtihad
berarti “berusaha keras untuk mengetahui hukum sesuatu melalui dalil-dalil
agama : Al-Qur’an dan hadis” (Badzl al-wus’i fi nail hukm syar’i bi dalil
syar’i min al-kitab wa al-sunnah). Ijtihad dalam istilah fikih inilah yang
banyak dikenal dan digunakan di Indonesia.
Dalam arti luas atau umum, ijtihad
juga digunakan dalam bidang-bidang lain agama. Misalnya Ibn Taimiyah yang
menyebutkan bahwa ijtihad juga digunakan dalam bidang tasawuf dan lain-lain,
mengatakan:”Sebenarnya mereka (kaum sufi) adalah mujtahid-mujtahid dalam
masalah kepatuhan,sebagaimana mujtahid-mujtahid lain. Dan pada hakikatnya
mereka (kaum sufi di Bashrah) dalam masalah ibadah dan ahwal (hal ihwal) ini
adalah mujtahid-mujtahid, seperti halnya dengan tetangga mereka di Kufah yang
juga mujtahid-mujtahid dalam masalah hukum, tata negara, dan lain-lain.
Dr. Muhammad al-Ruwaihi juga
menjelaskan bahwa di masa-masa akhir ini timbul berbagai pendapat tentang
Islam, baik di Barat, Timur, maupun pada orang Arab serta orang Islam sendiri.
Pendapat-pendapat orang Islam itu merupakan Ijtihad, baik secara perorangan
maupun kolektif, yang memperoleh pahala sesuai dengan benar atau salahnya
ijtihad itu. Berikut adalah sejarah dan perkembangan ijtihad :
1.
Bidang
Politik
Untuk pertama kalinya ijtihad
dilakukan terhadap yang pertama timbul dalam Islam : siapa pengganti nabi
Muhammad sebagai khalifah atau kepala negara setelah beliau wafat? Kaum Anshar
berijtihad bahwa pengganti beliau haruslah salah seorang dari mereka, dengan
alasan merekalah yang menolong beliau ketika dikejar-kejar Kaum Quraisy Makkah.
Sedangkan menurut ijtihad Abu Bakar,
yang berhak menjadi khalifah pengganti Nabi adalah orang Quraisy, dengan alasan
Nabi Muhammad bersabda “para pemuka/ al-aimmah adalah dari golongan Quraisy”.
Selama lebih 900 tahun ijtihad Abu Bakarlah yang dipegang oleh ummat Islam,
yang dikenal dengan ‘Sunni’.
Adapun menurut ijtihad Ali, yang
berhak menjadi khalifah pengganti Nabi ialah keluarga Nabi Muhammad. Ijtihad
ini di kemudian hari melahirkan madzhab Syi’ah. Di dalam madzhab ini terdapat
perbedaan pendapat, sehingga melahirkan Syi’ah Zaidiyah, Syi’ah Ismailiyah, dan
Syi’ah 12.
Dan kaum khawarij tidak menyetujui
hasil ijtihad kaum Anshar, kaum Sunni, dan kaum Syi’ah. Mereka (kaum khawarij)
berijtihad bahwa muslim manapun, asal memenuhi syarat-syarat yang diperlukan,
dapat menjadi khalifah dan tidak ada ketentuan bahwa ia harus orang Arab,
Quraisy, ataupun keturunan Nabi.
Tidak lama setelah menjadi khalifah,
Abu Bakar menghadapi satu masalah; sebagian orang Islam tidak mau membayarkan
zakatnya setelah Nabi Muhammad wafat. Ia menyelesaikan masalah itu melalui
ijtihad. Begitu pula Umar ibn al-Khattab. Melalui ijtihad ia menyelesaikan
masalah-masalah yang ditimbulkan oleh meluasnya daerah yang dikuasai oleh
tentara Islam. Berlainan dengan ketentuan dan Al-Qur’an dan sunah Nabi
Muhammad, Umar tidak membagi-bagikan tanah itu kepada tentara yang
menaklukkannya.
2.
Bidang
Akidah
Pada zaman Ali ibn Abi Thalib timbul
satu masalah: bagaimana kedudukan orang yang berbuat dosa besar, apakah masih
mukmin atau sudah kafir? Kaum Khawarij berijtihad bahwa orang yang berbuat dosa
besar itu keluar dari Islam, dan karena itu ia adalah kafir. Kaum Murji’ah
berijtihad bahwa ia masih mukmin. Sedangkan menurut Kaum Mu’tazilah, ia tidak
mukmin dan tidak pula kafir, tetapi muslim.
Dalam bidang akidah ini selanjutnya
timbul masalah: apakah perbuatan manusia itu ciptaan Tuhan atau ciptaan manusia
itu sendiri? Mengenai masalah ini, ijtihad kaum Muktazilah dan Maturidiah
Samarkand sama: Perbuatan manusia terjadi terjadi berkat kehendak dan daya yang
diciptakan oleh Tuhan dalam diri manusia. Hal ini bertentangan dengan ijtihad
Asy’ari dan Bazdawi dari Maturidian Bukhara :perbuatan manusia adalah ciptaan
Tuhan. Menurut Asy’ari, manusia hanya memperoleh perbuatan yang diciptakan oleh
Tuhan/ al-kasb. Sedang menurut al-Bazdawi, manusia hanya melakukan perbuatan
yang diciptakan oleh Tuhan, dan untuk ini ia menggunakan istilah maf’ul Tuhan
dan fi’il manusia.
Mengenai sifat-sifat Tuhan dalam
ajaran Al-Qur’an yang menggambarkan bentuk jasmani, Asy’ari berijtihad bahwa
ayat-ayat yang berkenaan dengan sifat-sifat Tuhan itu harus diartikan secara
harfiah; kursi Tuhan harus diartika kursi pula, tetapi tidak sama dengan kursi
manusia. Sedang menurut ijtihad kaum Muktazilah ayat-ayat tersebut harus
diambil arti tersiratnya, bukan arti tersuratnya. Dengan demikian, kursi Tuhan
berarti kekuasaan Tuhan.
Hasil ijtihad yang berbeda-beda
dalam bidang akidah ini melahirkan 5 mazhab ilmu kalam : Khawarij, Murji’ah,
Muktazilah, Asy’ariyah, dan Maturudiah. Dan ajaran masing-masing mazhab ini
mengikat pengikut masing-masing.
3.
Bidang
Filsafat
Setelah terjadi kontak dengan
filsafat Yunani, para ulama Islam mempelajari pemikiran-pemikiran para filosof
Barat. Karena Al-Qur’an tidak merinci tentang penciptaan alam timbullah ijtihad
di kalangan para filosof Islam tentang penciptaan alam. Menurut
al-farabi dan Ibn Sina, Tuhan menciptakan alam ini dari sesuatu yang telah ada,
bukan dari ketidakadaan, melalui pancaran (al-faid) dari Tuhan. Unsur ini
(pancaran) bersifat qadim karena ia diciptakan oleh Tuhan sejak qidam. Dengan
demikian, alam menurut ijtihad mereka adalah qadim ditinjau dari segi unsurnya.
Menciptakan sesuatu dari
ketidakadaan menurut filsafat adalah mustahil. Sedangkan menurut ijtihad
al-Ghazali, Tuhan itu Maha Kuasa dan dapat saja menciptakan alam ini dari
ketiadaan, dan memang alam ini diciptakan oleh Tuhan dari ketidakadaan, dan
bukan melalui pancaran. Selanjutnya al-Ghazali mengatakan bahwa karena unsur
itu tidak qadim, maka alam pun bukan qadim, tetapi hadis (baru). Adapun Ibn
Rusyd memperkuat ijtihad golongan al-Farabi dengan mengutip dua ayat Al-Qur’an
;” dan Ialah yang menciptakan langit dan bumi dalam 6 dan tahta-Nya (pada waktu
itu) berada di atas air (Hud, 11:7) dan ayat “Kemudian Iapun naik ke langit
sewaktu ia masih merupakan uap” (Hamim, 41:11) Ibn Rusyd berijtihad, kedua ayat
itu menjelaskan bahwa sebelum bumi dan langit diciptakan oleh Tuhan, air dan
uap itu telah ada.
Dari kedua unsur inilah Tuhan
menciptakan alam. Kedua ayat di atas tidak mendukung pendapat al-Ghazali yang
menyatakan bahwa alam diciptakan dari ketidakadaan, dalam arti bahwa sebelum
bumi dan langit diciptakan tak ada sesuatupun selain Tuhan.
2.2 Jenis-jenis
ijtihad
1.
Ijma'
Ijma' artinya kesepakatan yakni
kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah
keputusan bersama yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk
kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil dari ijma adalah fatwa, yaitu
keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk diikuti
seluruh umat.
2.
Qiyâs
Qiyas adalah menggabungkan atau
menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang baru yang belum
ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya
dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam
Islam, Ijma dan Qiyas sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang
ternyata belum ditetapkan pada masa-masa sebelumnya Beberapa definisi qiyâs
(analogi):
a.
Menyimpulkan
hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di
antara keduanya.
b.
Membuktikan
hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di
antaranya.
c.
Tindakan
menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur'an] atau
[Hadis] dengan kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).
d.
Menetapkan
sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yang belum di terangkan oleh al-qur'an dan
hadist
4. Istihsân
Beberapa definisi Istihsân
·
Fatwa
yang dikeluarkan oleh seorang fâqih (ahli fikih), hanya karena dia merasa hal
itu adalah benar.
·
Argumentasi
dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya
·
Mengganti
argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.
·
Tindakan
memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.
·
Tindakan
menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada
sebelumnya...
2.3 Fungsi
Ijtihad
Meski Al Quran sudah diturunkan
secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam kehidupan manusia
diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan
keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap
saat masalah baru akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan
dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam kehidupan beragama sehari-hari. Jika
terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau
di suatu masa waktu tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang
dipersoalkan itu sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al
Hadist.
Sekiranya sudah ada maka persoalan
tersebut harus mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran
atau Al Hadits itu. Namun jika persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak
jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist, pada saat
itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat
Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Ijtihad secara harfiah adalah usaha
keras. Dalam terminology hukum islam itu berarti berusaha sekeras-kerasnya
untuk membentuk penilaian yang bebas tentang sesuatu masalah hukum.
Mujtahid adalah orang muslim dewasa
yang berakal sehat yang mempunyai kapabilitas & kopetensi untuk
menghasilkan hukum-hukum dari sumber-sumbernya. Ijma' artinya kesepakatan yakni
kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam agama
berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi.
Qiyas adalah menyimpulkan hukum dari
yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara
keduanya. Istihsan adalah argumentasi dalam pikiran seorang fâqih tanpa bisa
diekspresikan secara lisan olehnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali,
Mukti.2000.Ijtihad dalam pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dakhlan, dan Muhammad
Iqbal.Jakarta : PT Bulan Bintang.
Ajib
Mas’adi, Ghufron.1997. Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Asmawi.2011.
Perbandingan Ushul Fiqh. Jakarta: AMZAH.
http://id.wikipedia.org/wiki/ijtihad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar