KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis persembahkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga Penulis dapat
menyelesaikan makalah “ HUKUM WARIS
“. Pada makalah ini Penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi
dan pengarahan dari berbagai pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Penulis
mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh
dari sempurna, untuk itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata Penulis mengucapkan
terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang
membaca…
Taluk Kuantan,
Juni 2016
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.................................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................................. ii
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................................... 1
1.1
Latar Belakang......................................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah.................................................................................................... 3
1.3
Tujuan Makalah....................................................................................................... 3
BAB II
PEMBAHASAN..................................................................................................... 3
2.1
Definisi Waris......................................................................................................... 5.................................................................................................................................
2.2 Bentuk-bentuk Waris.............................................................................................. 7
2.3 Faktor-faktor
yang menyebabkan mendapat Warisan............................................ 7
BAB III PENUTUP.............................................................................................................. ......................................................................................................................................... 11
3.1 Kesimpulan............................................................................................................. .................................................................................................................................... 11
3.2 Saran........................................................................................................................ .................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... ......................................................................................................................................... 12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
SYARIAT Islam
menetapkan aturan waris dengan bentuk yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya
ditetapkan hak kepemilikan harta bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun
perempuan dengan cara yang legal. Syariat Islam juga menetapkan hak pemindahan
kepemilikan seseorang sesudah meninggal dunia kepada ahli warisnya, dari
seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan,
besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum
yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian
yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap
pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu,
atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan acuan utama hukum dan
penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil
dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat sedikit. Dapat
dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali ayat Al-Qur'an
yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal
demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang
legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta merupakan tonggak
penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan tugas makalah ini adalah
“tentang Warisan dalam Hukum Islam”. Dari rumusan masalah tersebut dapat kami
uraikan menjadi sebagai berikut:
a.
Bagaimanakah pengertian warisan dalam
hukum islam.
b.
Apa saja bentuk, rukun dan syarat
warisan.
c.
apa saja yang harus di laksanakan
sebelum pembagian warisan.
d.
apa saja faktor-faktor yang menyebabkan
mendapatkan warisan.
e.
Bagaimanakah pembagian warisan dalam
hukum islam.
f.
Apa saja golongan dalam ahli waris.
g.
Apa saja faktor-faktor yang menghalangi
mendapatkan warisan.
h.
Bagaimana ketentuan warisan untuk waria
dan ibu hamil.
Berdasarkan rumusan di atas, maka kami angkat kedalam
makalah studi fiqih yang hal ini kami mengangkat judul “Warisan”
C. Tujuan Penulisan
Tujuan pembuatan makalah ini pada
hakekatnya merupakan sesuatu yang hendak dicapai dan dapat memberikan arahan
dan penjelasan yang akan dilakukan. Berpijak pada rumusan penelitian
diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pelaksanaan warisan yang sesuai dengan ketentuan
hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar
(infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan. Maknanya menurut bahasa
ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain', atau dari suatu
kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini tidaklah terbatas hanya pada
hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi mencakup harta benda dan non harta
benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan hal ini, demikian pula sabda
Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud
..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah pewarisnya."
(al-Qashash: 58)
Selain
itu kita dapati dalam hadits Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut istilah yang dikenal para
ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli
warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan itu berupa harta (uang),
tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar'i.
Pengertian Peninggalan
Pengertian peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah
segala sesuatu yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau
lainnya. Jadi, pada prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang
meninggal dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan
dengan utang piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya
(seperti harta yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan
kewajiban pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar
yang belum diberikan kepada istrinya). Hak-hak yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan.
Dari
sederetan hak yang harus ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan
adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan
pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak
boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala
sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di
antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan
sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Satu
hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan
tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih
ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.: "Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung pada utangnya hingga
ditunaikan."
Maksud
hadits ini adalah utang piutang yang bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun
jika utang tersebut berkaitan dengan Allah SWT, seperti belum membayar zakat,
atau belum menunaikan nadzar, atau belum memenuhi kafarat (denda), maka di
kalangan ulama ada sedikit perbedaan pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi
berpendapat bahwa ahli warisnya tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya.
Sedangkan jumhur ulama berpendapat wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya
sebelum harta warisan (harta peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli
warisnya.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat
pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang
yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan seluruh
ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah sebagian harta
tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya, termasuk diambil untuk
membayar utangnya. Bila ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah
harta yang ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali
dengan kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah
saw. ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. pada waktu itu Sa'ad
sakit dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal.
Rasulullah saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak.
Sesungguhnya bila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu
lebih baik daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta
kepada orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta
peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai
dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah
ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta
waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
Catatan:
Pada ayat waris yaitu “Sesudah dipenuhi wasiat yang mereka
buat (dan) sesudah dibayar hutangnya.” (QS an-Nisaa’: 11).
Wasiat
memang lebih dahulu disebutkan daripada soal utang piutang. Padahal secara
syar'i, persoalan utang piutang hendaklah terlebih dahulu diselesaikan, baru
kemudian melaksanakan wasiat. Oleh karena itu, didahulukannya penyebutan wasiat
tentu mengandung hikmah, diantaranya agar ahli waris menjaga dan benar-benar melaksanakannya. Sebab wasiat tidak
ada yang menuntut hingga kadang-kadang seseorang enggan menunaikannya. Hal ini
tentu saja berbeda dengan utang piutang. Itulah sebabnya wasiat lebih
didahulukan penyebutannya dalam susunan ayat tersebut.
B.
Bentuk-bentuk Waris
1. Hak waris secara fardh
(yang telah ditentukan bagiannya).
2. Hak waris secara 'ashabah
(kedekatan kekerabatan dari pihak ayah).
3. Hak waris secara tambahan.
4. waris secara pertalian rahim.
C. Rukun Waris ada tiga:
1. Pewaris, yakni orang yang meninggal
dunia, dan ahli warisnya berhak untuk mewarisi
harta peninggalannya.
harta peninggalannya.
2. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak
untuk menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
3. Harta warisan, yaitu segala jenis
benda atau kepemilikan yang ditinggalkan pewaris,
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
D.
Syarat Waris
Syarat-syarat
waris juga ada tiga:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris)
baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya
dianggap telah meninggal).
dianggap telah meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara
hakiki pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara
pasti, termasuk jumlah bagian masing-masing.
Syarat
Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya pewaris --baik secara
hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang telah meninggal dan
diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari mereka, atau vonis yang
ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak diketahui lagi keberadaannya.
Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya tidak diketahui lagi secara
pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang yang telah meninggal.
Syarat
Kedua: Masih hidupnya para ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak kepemilikan dari pewaris harus
kepada ahli waris yang secara syariat benar-benar masih hidup, sebab orang yang
sudah mati tidak memiliki hak untuk mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau lebih dari golongan yang
berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa --atau dalam keadaan yang
berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih dahulu meninggal-- maka di
antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang mereka miliki ketika masih
hidup.
Syarat
Ketiga: Diketahuinya posisi para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris hendaklah diketahui
secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan sebagainya, sehingga pembagi
mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus diberikan kepada masing-masing
ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan jauh-dekatnya kekerabatan akan
membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita tidak cukup hanya mengatakan
bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan tetapi harus dinyatakan
apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau saudara seibu. Mereka
masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak menerima warisan karena
sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada yang terhalang hingga tidak
mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak terhalang.
E. Faktor-faktor yang menyebabkan mendapat
Warisan
Faktor-faktor
yang menyebabkan seseorang mendapatkan warisan ada tiga:
1. Nasab
Allah
swt berfirman:
“Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah, satu sama
lain lebih berhak (waris-mewaris).” (QS al-Ahzaab: 6)
2.
Wala’
(Loyalitas budak yang telah dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya):
Dari
Ibnu Umar dari Nabi saw, ia bersabda, “al-Walaa’ itu adalah kekerabatan
seperti kekerabatan senasab.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7157,
Mustadrak Hakim IV: 341, Baihaqi X: 292).
3. Nikah
Allah
swt menegaskan:
“Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS an-Nisaa’: 12)
F. Para ahli waris
dari Pihak Laki-laki
Yang
berhak menjadi ahli waris dari kalangan lelaki ada sepuluh orang:
1 dan 2. Anak laki-laki dan puteranya dan seterusnya
ke bawah.
Allah
swt berfirman:
“Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu:
bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak
perempuan."
(QS An Nisaa’: 11). 3 dan 4. Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke
atas.
Allah
swt berfirman:
"Dan
untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan."
(QS An Nisaa’: 11).
Dan
datuk termasuk ayah, oleh karena itu Nabi saw bersabda:
"Saya
adalah anak Abdul Muthallib." (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari VIII: 27 no: 4315, Muslim
III: 1400 no: 1776, dan Tirmidzi III: 117 no: 1778).
5 dan 6. Saudara dan puteranya dan seterusnya ke
bawah.
Allah
swt berfirman:
"Dan
saudara yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia
tidak mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 176).
7 dan 8. Paman dan anaknya serta seterusnya.
Nabi
saw bersabda:
"Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang lebih
berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (dekat kepada
mayyit)."
(Muttafaqun’alaih: Fatul Bari XII: 11 no: 6732, Muslim III: 1233 no: 1615,
Tirmidzi III: 283 no: 2179 dan yang semakna dengannya diriwayatkan Abu Dawud,
‘Aunul Ma’bud VIII: 104 no: 2881, Sunan Ibnu Majah II: 915 no. 2740).
9. Suami.
Allah
swt berfirman:
"Dan
bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh
isteri-isterimu."
(QS An Nisaa’: 12).
10. Laki-laki yang memerdekakan budak.
Sabda
Nabi saw:
"Hak
ketuanan itu milik orang yang telah memerdekakannya."
G.
Perempuan-perempuan
yang Mendapat Warisan
Perempuan-perempuan
yang berhak menjadi ahli waris ada tujuh:
1 dan 2. Anak perempuan dan puteri dari anak
laki-laki dan seterusnya.
Firman-Nya:
"Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu." (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4. Ibu dan nenek.
Firman-Nya:
"Dan
untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masing seperenam." (QS An
Nisaa’: 11).
5. Saudara perempuan.
Allah
swt berfirman:
"Jika
seorang meninggal dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara
perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang
ditinggalkan itu." (QS
An Nisaa’: 176).
6. Istri.
Allah
swt berfirman:
"Para
isteri memperoleh seperempat dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
7. Perempuan yang memerdekakan budak.
Sabda
Nabi saw:
"Hak
ketuanan itu menjadi hak milik orang yang memerdekakannya." (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari I:
550 no: 456, Muslim II: 1141 no: 1504, ’Aunul Ma’bud X: 438 no: 3910, Ibnu
Majah II: 842 no: 2521).
O. Hak
Waris Janin dalam Kandungan
Janin
dalam kandungan berhak menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
1.
Janin
tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya ketika
pewaris wafat.
2.
Bayi
dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat dipastikan
sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat
pertama dapat terwujud dengan kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya
bayi dari dalam kandungan maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi
yang ada dalam kandungan itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan
Aisyah r.a.:
"Tidaklah
janin akan menetap dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam
falkah mighzal."
Pernyataan
Aisyah r.a. tersebut dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah
saw.. Pernyataan ini merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu
pendapat Imam Ahmad.
Adapun
mazhab Syafi'i dan Maliki berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal
empat tahun. Pendapat inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad,
seperti yang disinyalir para ulama mazhab Hambali.
Sedangkan
persyaratan kedua dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan
nyata-nyata hidup. Dan tanda kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru
lahir adalah jika bayi tersebut menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau
yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa ditandai dengan gerakan
apa saja dari bayi tersebut.
Adapun
menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim
ibunya dinyatakan hidup bila melakukan gerakan yang lama hingga cukup
menunjukkan adanya kehidupan. Bila gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan
hewan yang dipotong-- maka tidak dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan
demikian, ia tidak berhak mewarisi. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
"Apabila
bayi yang baru keluar dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka
hendaklah dishalati dan berhak mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan
Tirmidzi)
Namun,
apabila bayi yang keluar dari rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika
keluar separo badannya hidup tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam
keadaan hidup tetapi tidak stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia
dianggap tidak ada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta warisan adalah harta yang dalam
istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan) merupakan sesuatu atau harta
kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang atau materi lainya yang
dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada ahli warisnya.dan dalam
pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh yang meninggal harus
diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang ada pada bagianya.
Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan. hak-hak kebendaan
dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang bersangkutan dengan hak
orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk orang-orang yang
ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam, mencegah
terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah
persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian tersebut
sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa ketentuan yang di
sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, M. 1978. Ilmu
fiqih islam lengkap. Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html
http://mtmiftahulkhoir.wordpress.com/2008/06/17/pembagian-warisan-menurut-islam/
Assalamu'alaikum, kak, bang, saya Daniel... Boleh tidak pakai dan ambil informasi yang berjudul " Makalah hukum waris" Tujuannya buat tugas kuliah? Terimakasih..
BalasHapus