BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang
peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia
lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga
berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri.
Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber
pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar
berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa
terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan
nilai sebesar US $ 701 juta.
Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat
sejak awal tahun 1980-an dan pada tahun 2002, areal perkebunan kakao Indonesia
tercatat seluas 914.051 ha dimana sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat
dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta.
Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak
dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh
perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di
dunia hingga saat ini. Tahun 2009 produksi biji kakao mencapai 849.875 ton per
tahun. Produsen terbesar kakao di dunia ditempati Pantai Gading sebesar 1,3
juta ton sementara Ghana sebanyak 750.000 ton.
Produksi ini dihasilkan dari perkebunan rakyat, perkebunan
milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perkebunan swasta, serta perkebunan
rakyat. Luas perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen dari
luas total perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2009 yang mencapai
1.592.982 Ha.
Sebagian besar produksi kakao dari Indonesia diekspor.
Kondisi ini terjadi karena industri pengolahan kakao kurang berkembang di
Indonesia. Petani kakao yang sebagian besar merupakan petani rakyat juga lebih
memilih menjual kepada eksportir karena pembayarannya lebih cepat.
Biji kakao yang diekspor sebagian besar merupakan
kakao yang diolah tanpa difermentasikan. Harga biji kakao tanpa fermentasi di
pasar internasional jauh lebih rendah dari harga biji kakao yang
difermentasikan. Selisih harga diantara keduanya sekitar Rp.2000 – 2.900 per
kg.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan melihat uraian diatas maka dapat ditarik suatu
permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1.
Bagaimana
perkembangan perdagangan kakao di dunia.
2.
Bagaimana
prospek agribisnis kakao di Indonesia.
1.3 Tujuan
Penulisan
makalah ini bertujuan untuk :
- Mengetahui bagaimana
perkembangan perdagangan kakao di dunia.
- Mengetahui bagaimana prospek
agribisnis kakao di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tanaman Kakao
Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud pohon yang berasal dari Amerika Selatan. Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai cokelat.
Kakao sebagai komoditas perdagangan biasanya dibedakan
menjadi dua kelompok besar: kakao mulia (“edel cacao”) dan kakao
curah (“bulk cacao”). Di Indonesia, kakao mulia dihasilkan oleh beberapa
perkebunan tua di Jawa. Varietas penghasil kakao mulia berasal dari pemuliaan yang dilakukan pada masa kolonial
Belanda, dan dikenal dari namanya yang berawalan “DR” (misalnya DR-38).
Singkatan ini diambil dari singkatan nama perkebunan tempat dilakukannya
seleksi (Djati Roenggo, di daerah Ungaran, Jawa Tengah). Varietas kakao mulia
berpenyerbukan sendiri dan berasal dari tipe Criollo.
Sebagian besar daerah produsen kakao di Indonesia
menghasilkan kakao curah. Kakao curah berasal dari varietas-varietas yang self-incompatible. Kualitas kakao curah biasanya
rendah, meskipun produksinya lebih tinggi. Bukan rasa yang diutamakan tetapi biasanya
kandungan lemaknya.
2.2
Konsepsi
Agribisnis
Agribisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya,
baik di sektor hulu maupun di hilir. Penyebutan “hulu” dan “hilir” mengacu pada
pandangan pokok bahwa agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan (food
supply chain). Agribisnis, dengan perkataan lain, adalah cara pandang ekonomi bagi usaha penyediaan pangan.
Sebagai subjek akademik, agribisnis mempelajari strategi memperoleh keuntungan
dengan mengelola aspek budidaya, penyediaan bahan baku, pascapanen,
proses pengolahan, hingga tahap pemasaran.
Istilah “agribisnis” diserap dari bahasa Inggris: agribusiness, yang
merupakan portmanteau dari agriculture (pertanian)
dan business (bisnis). Dalam bahasa Indonesia dikenal pula varian anglisismenya, agrobisnis. Objek agribisnis dapat berupa tumbuhan, hewan, ataupun organisme lainnya. Kegiatan budidaya
merupakan inti (core) agribisnis, meskipun suatu perusahaan agribisnis
tidak harus melakukan sendiri kegiatan ini. Apabila produk budidaya (hasil
panen) dimanfaatkan oleh pengelola sendiri, kegiatan ini disebut pertanian
subsisten, dan merupakan kegiatan agribisnis paling primitif. Pemanfaatan
sendiri dapat berarti juga menjual atau menukar untuk memenuhi keperluan
sehari-hari.
Dalam perkembangan masa kini agribisnis tidak hanya mencakup
kepada industri makanan saja karena pemanfaatan produk pertanian telah
berkaitan erat dengan farmasi, teknologi bahan, dan penyediaan energi.
2.3 Konsepsi Perkebunan
Kebun dalam pengertian di Indonesia adalah sebidang lahan, biasanya di tempat terbuka, yang mendapat perlakuan
tertentu oleh manusia, khususnya sebagai tempat tumbuh tanaman. Pengertian kebun bersifat umum
karena lahan yang ditumbuhi tumbuhan secara liar juga dapat disebut kebun,
asalkan berada di wilayah permukiman. Dalam keadaan demikian, kebun
dibedakan dari hutan dilihat dari jenis dan kepadatan
tumbuhannya.
Dalam ungkapan sehari-hari, kebun sering kali digunakan
untuk menyebut perkebunan (seperti “kebun karet” atau “kebun
kelapa”) terutama bila ukurannya tidak terlalu luas dan tidak diusahakan secara
intensif komersial. Kata kebun juga dipakai untuk menyebut pekarangan dan taman. Kebun dapat merupakan suatu pekarangan, namun tidak selalu
demikian. Keseluruhan atau sebagian kebun dapat ditata menjadi taman.
Lahan perkebunan adalah lahan usaha pertanian yang luas, biasanya terletak di
daerah tropis atau subtropis, yang digunakan
untuk menghasilkan komoditi perdagangan (pertanian) dalam skala besar dan dipasarkan
ke tempat yang jauh, bukan untuk konsumsi lokal.
Perkebunan dapat ditanami oleh tanaman keras/industri seperti kakao, kelapa, dan teh, atau tanaman hortikultura seperti pisang, anggur, atau anggrek. Dalam pengertian bahasa Inggris, “perkebunan” dapat mencakup plantation
dan orchard.
2.4 Perkembangan Produksi Kakao Dunia
Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di
kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu
Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Pada tahun 2002/03, produksi kakao
dunia tercatat sebesar 3.102 ribu ton. Wilayah Afrika memproduksi biji kakao
sebesar 2.158 ribu ton atau 69,6% produksi dunia. Sementara Asia Oceania dan
Amerika Latin masing masing memproduksi 528 ribu ton dan 416 ribu ton atau
17,0% dan 13,4% produksi dunia.
Produsen utama kakao di wilayah Afrika adalah Pantai Gading
dengan total produksi 1.320 ribu ton. Negara produsen lainnya adalah Ghana ,
Nigeria dan Kameron dengan produksi masing-masing 497 ribu ton, 165 ribu ton
dan 140 ribu ton. Di wilayah Asia Oceania, Indonesia merupakan produsen utama
dengan total produksi 425 ribu ton, diikuti oleh Papua New Guinea dan Malaysia
. Sementara produsen utama kakao di wilayah Amerika Latin adalah Brazil dengan
total produksi 165 ribu ton, diikuti oleh Ekuador, Dominika , Colombia dan
Mexiko.
Secara regional, pangsa produksi selama lima tahun terakhir
(1996/97-2001/02) mengalami sedikit perubahan. Wilayah Afrika sebagai produsen
utama kakao dunia mengalami peningkatan pangsa produksi sebesar 3,5% dari 64,6%
menjadi 68,1%. Sementara itu, di wilayah Asia Oceania juga mengalami
peningkatan pangsa produksi sebesar 1,5% dari 17,4% menjadi 18,9%. Sedangkan
wilayah Amerika Latin mengalami penyusutan pangsa produksi dari 18,0% menjadi
13,0%.
Pangsa produksi masing-masing wilayah kembali bergeser pada
tahun 2002/03, karena terjadi peningkatan produksi yang cukup tajam di Pantai
gading dan Ghana dan penurunan produksi di Indonesia. Produksi kakao Pantai Gading kembali meningkat
menjadi 1320 ribu ton, sedikit dibawah rekor produksi tahun 1999/00. Sementara
itu, Ghana mampu meningkatkan produksi kakaonya menjadi 497 ribu ton, sehingga
melampaui produksi kakao Indonesia yang turun menjadi 425 ribu ton (Tabel 1).
Tabel
1. Perkembangan Produksi Kakao Dunia (ribu ton)
Tahun
|
P.
Gading
|
Indonesia
|
Ghana
|
Negeria
|
Brazil
|
Lainnya
|
Total
|
1998/99
|
1.163
|
390
|
397
|
198
|
138
|
522
|
2.808
|
1999/00
|
1.404
|
422
|
437
|
165
|
124
|
526
|
3.078
|
2000/01
|
1.212
|
392
|
395
|
177
|
163
|
514
|
2.853
|
2001/02
|
1.265
|
455
|
341
|
185
|
124
|
491
|
2.861
|
2002/03
|
1.320
|
425
|
497
|
165
|
163
|
532
|
3.102
|
Peningkatan produksi kakao di Pantai Gading terjadi
karena kondisi politik di negara tersebut makin telah membaik. Sementara
peningkatan produksi kakao yang cukup tajam di Ghana merupakan buah
keberhasilan para pekebun mengatasi serangan penyakit dan keberhasilan
pemerintahnya mengatasi penyeludupan biji kakao. Sedangkan penurunan produksi
kakao Indonesia terutama disebabkan oleh makin meningkatnya serangan hama
penggerek buah kakao (PBK)di hampir seluruh sentra produksi kakao Indonesia .
2.5 Perdagangan Kakao
Dunia
Perdagangan kakao dunia didominasi oleh biji kakao dan
produk akhir (cokelat), sedangkan produk antara (cacao butter, cocoa powder dan
cocoa paste) volumenya relatif kecil. Pada tahun 2001/02, volume ekspor biji
kakao mencapai 2,12 juta ton, dan re-ekspor 235 ribu ton (International Cocoa
Organization, 2003 ).
Pada periode yang sama, volume ekspor produk akhir (cokelat)
mencapai 2,9 juta ton. Sementara volume ekspor kakao butter, kakao powder dan
kakao paste masing-masing sebesar 528 ribu ton, 594 ribu ton dan 341 ribu ton.
Eksportir utama biji kakao dunia tahun 2001/02 ditempati
oleh Pantai Gading dengan total ekspor 1 juta ton. Eksportir terbesar
berikutnya adalah Indonesia, Ghana dan Nigeria dengan volume masing-masing 365
ribu ton, 285 ribu ton dan 160 ribu ton.
Di sisi lain, importir terbesar biji kakao dunia adalah
Belanda dengan volume 493 ribu ton, diikuti Amerika Serikat, Jerman, Prancis,
Malaysia dan Inggris dengan volume impor masing-masing 397 ribu ton, 212 ribu
ton, 143 ribu ton, 114 ribu ton, dan 107 ribu ton. Belanda sebagai importir
terbesar biji kakao sekaligus berperan sebagai re-ekspor terbesar biji kakao
dunia dengan volume 78,2 ribu ton.
Pada periode yang sama, volume ekspor produk akhir kakao
(cokelat) terbesar ditempati oleh Jerman dengan total ekspor 405 ribu ton,
disusul Belgia, Kanada, Prancis dan Belanda dengan volume ekspor masing-masing
332 ribu ton, 266 ribu ton, 228 ribu ton dan 215 ribu ton. Sementara itu,
importir terbesar produk akhir kakao adalah Amerika Serikat dengan volume 382
ribu ton, diikuti Prancis dan Jerman masing-masing 308 ribu ton dan 270 ribu
ton.
2.6 Prospek Kakao
Indonesia
Indonesia berhasil menjadi produsen kakao kedua terbesar
dunia berkat keberhasilan dalam program perluasan dan peningkatan produksi yang
mulai dilaksanakan sejak awal tahun 1980-an. Pada saat ini areal perkebunan
kakao tercatat seluas 914 ribu hektar, tersebar di 29 propinsi dengan sentra
produksi Sulsel, Sulteng, Sultra, Sumut, Kaltim, NTT dan Jatim. Sebagian besar
(>90%) areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat (Direktort
Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).
Perbaikan harga kakao dunia akhir-akhir ini tidak bisa
dimanfaatkan secara optimal oleh para pekebun karena ada beberapa permasalahan
yang dihadapi antara lain: makin mengganasnya serangan hama penggerek buah
kakao (PBK), mutu produk yang relatif rendah dan fluktuasi harga yang cukup
tajam.
Serangan hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi
kelangsungan usaha perkebunan kakao karena belum ditemukan pengendalian hama
yang efektif. Sejarah telah mencatat bahwa hama PBK telah tiga kali
menghancurkan perkebunan kakao di Indonesia yaitu tahun 1845 di daerah
Minahasa, tahun 1886 di sepanjang pantai Utara Jawa Tengah hingga Malang,
Kediri dan Banyuwangi serta tahun 1958 di beberapa perkebunan kakao di Jawa
(Roesmanto, 1991).
Keseriusan ancaman serangan hama PBK sudah terbukti di
negara tetangga kita Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya berada
diambang kepunahan. Akibat mengganasnya serangan hama PBK, produksi kakao
Malaysia menurun dari 247 ribu ton tahun 1990 menjadi 200 ribu ton tahun 1993.
Penurunan produksi kakao terus berlanjut hingga tinggal 25 ribu ton pada tahun
2002 atau 10% dari produksi tahun 1990 (Sulistyowati, Prawoto, Wardani, dan
Winarno, 1995 dan ICCO, 2003).
Belajar dari pengalaman kita dimasa lalu dan pengalaman
Malaysia beberapa tahun terakhir, maka diperlukan upaya untuk meyelamatkan
perkebunan kakao dari ancaman hama PBK, sehingga keberlanjutan agribisnis kakao
dapat dipertahankan dan peranan perkebunan kakao bagi perekonomian dapat
ditingkatkan. Upaya penanggulangan yang paling mungkin dilakukan adalah dengan
melakukan gerakan pengendalian hama terpadu secara luas dan menyeluruh.
Lebih lanjut, produksi kakao rakyat dikenal bermutu rendah
dan hingga kini masih dikenakan diskon harga ( automatic detention )
yang besarnya antara US $ 90-150/ton khususnya untuk pasar Amerika Serikat.
Diskon harga tersebut cukup memberatkan pekebun kakao. Karena itu perbaikan
mutu menjadi suatu keharusan disamping lobi untuk mengurangi atau menghapuskan
diskon harga tersebut.
Harga kakao berfluktuasi cukup tajam dan sangat tergantung
pasar internasional. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku pekebun, khususnya
terkait dengan pengelolaan kebun dan perbaikan mutu produk. Pada saat harga
berfluktuasi tajam, pekebun pada umumnya ingin cepat menjual hasil kebunnya
tanpa melakukan pengolahan yang memadai, sehingga mutunya rendah. Untuk
mengatasi hal ini, percepatan pengembangan industri pengolahan biji kakao
menjadi sangat strategis untuk meraih nilai tambah dan meredam fluktuasi harga,
sekaligus mengurangi ketergantungan biji kakao terhadap pasar internasional.
Tanpa upaya yang memadai, terarah dan terprogram, maka
perkebunan kakao Indonesia menghadapi masa suram dan tidak mustahil sejarah
kehancuran perkebunan kakao Indonesia akan terulang kembali.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari pembahasan makalah di atas dapat ditarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut : Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang
berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah
yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Produsen utama kakao di wilayah
Afrika adalah Pantai Gading dengan total produksi 1.320 ribu ton. Perdagangan
kakao dunia didominasi oleh biji kakao dan produk akhir (cokelat), sedangkan
produk antara (cacao butter, cocoa powder dan cocoa paste) volumenya relatif
kecil. Pada tahun 2001/02, volume ekspor biji kakao mencapai 2,12 juta ton, dan
re-ekspor 235 ribu ton (International Cocoa Organization, 2003 ).
- Indonesia berhasil menjadi
produsen kakao kedua terbesar dunia berkat keberhasilan dalam program
perluasan dan peningkatan produksi yang mulai dilaksanakan sejak awal
tahun 1980-an. Pada saat ini areal perkebunan kakao tercatat seluas 914
ribu hektar, tersebar di 29 propinsi dengan sentra produksi Sulsel,
Sulteng, Sultra, Sumut, Kaltim, NTT dan Jatim. Sebagian besar (>90%)
areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat (Direktort Jenderal
Bina Produksi Perkebunan, 2004).
DAFTAR PUSTAKA
Direktorat
Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004. Statistik Perkebunan Indonesia
2001-2003, Kakao. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta.
International
Cocoa Organization (ICCO), 2003. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol:
XXIX (2)
International
Cocoa Organization (ICCO), 2003a. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol:
XXIX (4)
Roesmanto,
J., 1991. Kakao: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta , 165p.
Sulistyowati,
E. A.A. Prawoto, S. Wardani , dan H. Winarno. 1995. Laporan Kunjungan Kaji
Banding Pengendalian Hama Penggerek Buah kakao di Malaysia . Warta Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol. 11, No. 1: 45-51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar