Rabu, 11 April 2018

MAKALAH VALUE CHAIN KOMODITI KAKAO


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara. Disamping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayah dan pengembangan agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI) serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan kelapa sawit dengan nilai sebesar US $ 701 juta.
Perkebunan kakao Indonesia mengalami perkembangan pesat sejak awal tahun 1980-an dan pada tahun 2002, areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha dimana sebagian besar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7% perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Disamping itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Indonesia merupakan salah satu produsen kakao terbesar di dunia hingga saat ini. Tahun 2009 produksi biji kakao mencapai 849.875 ton per tahun. Produsen terbesar kakao di dunia ditempati Pantai Gading sebesar 1,3 juta ton sementara Ghana sebanyak 750.000 ton.
Produksi ini dihasilkan dari perkebunan rakyat, perkebunan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perkebunan swasta, serta perkebunan rakyat. Luas perkebunan kakao yang dimiliki masyarakat sekitar 92,7 persen dari luas total perkebunan kakao di Indonesia pada tahun 2009 yang mencapai 1.592.982 Ha.
Sebagian besar produksi kakao dari Indonesia diekspor. Kondisi ini terjadi karena industri pengolahan kakao kurang berkembang di Indonesia. Petani kakao yang sebagian besar merupakan petani rakyat juga lebih memilih menjual kepada eksportir karena pembayarannya lebih cepat.
 Biji kakao yang diekspor sebagian besar merupakan kakao yang diolah tanpa difermentasikan. Harga biji kakao tanpa fermentasi di pasar internasional jauh lebih rendah dari harga biji kakao yang difermentasikan. Selisih harga diantara keduanya sekitar Rp.2000 – 2.900 per kg.

1.2  Rumusan Masalah
Dengan melihat uraian diatas maka dapat ditarik suatu permasalahan dalam penelitian ini, yaitu :
1.      Bagaimana perkembangan perdagangan kakao di dunia.
2.      Bagaimana prospek agribisnis kakao di Indonesia.

1.3    Tujuan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
  1. Mengetahui bagaimana perkembangan perdagangan kakao di dunia.
  2. Mengetahui bagaimana prospek agribisnis kakao di Indonesia.













BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Tanaman Kakao
Kakao (Theobroma cacao) merupakan tumbuhan berwujud pohon yang berasal dari Amerika Selatan. Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai cokelat.
Kakao sebagai komoditas perdagangan biasanya dibedakan menjadi dua kelompok besar: kakao mulia (“edel cacao”) dan kakao curah (“bulk cacao”). Di Indonesia, kakao mulia dihasilkan oleh beberapa perkebunan tua di Jawa. Varietas penghasil kakao mulia berasal dari pemuliaan yang dilakukan pada masa kolonial Belanda, dan dikenal dari namanya yang berawalan “DR” (misalnya DR-38). Singkatan ini diambil dari singkatan nama perkebunan tempat dilakukannya seleksi (Djati Roenggo, di daerah Ungaran, Jawa Tengah). Varietas kakao mulia berpenyerbukan sendiri dan berasal dari tipe Criollo.
Sebagian besar daerah produsen kakao di Indonesia menghasilkan kakao curah. Kakao curah berasal dari varietas-varietas yang self-incompatible. Kualitas kakao curah biasanya rendah, meskipun produksinya lebih tinggi. Bukan rasa yang diutamakan tetapi biasanya kandungan lemaknya.

2.2    Konsepsi Agribisnis
Agribisnis adalah bisnis berbasis usaha pertanian atau bidang lain yang mendukungnya, baik di sektor hulu maupun di hilir. Penyebutan “hulu” dan “hilir” mengacu pada pandangan pokok bahwa agribisnis bekerja pada rantai sektor pangan (food supply chain). Agribisnis, dengan perkataan lain, adalah cara pandang ekonomi bagi usaha penyediaan pangan. Sebagai subjek akademik, agribisnis mempelajari strategi memperoleh keuntungan dengan mengelola aspek budidaya, penyediaan bahan baku, pascapanen, proses pengolahan, hingga tahap pemasaran.
Istilah “agribisnis” diserap dari bahasa Inggris: agribusiness, yang merupakan portmanteau dari agriculture (pertanian) dan business (bisnis). Dalam bahasa Indonesia dikenal pula varian anglisismenya, agrobisnis. Objek agribisnis dapat berupa tumbuhan, hewan, ataupun organisme lainnya. Kegiatan budidaya merupakan inti (core) agribisnis, meskipun suatu perusahaan agribisnis tidak harus melakukan sendiri kegiatan ini. Apabila produk budidaya (hasil panen) dimanfaatkan oleh pengelola sendiri, kegiatan ini disebut pertanian subsisten, dan merupakan kegiatan agribisnis paling primitif. Pemanfaatan sendiri dapat berarti juga menjual atau menukar untuk memenuhi keperluan sehari-hari.
Dalam perkembangan masa kini agribisnis tidak hanya mencakup kepada industri makanan saja karena pemanfaatan produk pertanian telah berkaitan erat dengan farmasi, teknologi bahan, dan penyediaan energi.

2.3    Konsepsi Perkebunan
Kebun dalam pengertian di Indonesia adalah sebidang lahan, biasanya di tempat terbuka, yang mendapat perlakuan tertentu oleh manusia, khususnya sebagai tempat tumbuh tanaman. Pengertian kebun bersifat umum karena lahan yang ditumbuhi tumbuhan secara liar juga dapat disebut kebun, asalkan berada di wilayah permukiman. Dalam keadaan demikian, kebun dibedakan dari hutan dilihat dari jenis dan kepadatan tumbuhannya.
Dalam ungkapan sehari-hari, kebun sering kali digunakan untuk menyebut perkebunan (seperti “kebun karet” atau “kebun kelapa”) terutama bila ukurannya tidak terlalu luas dan tidak diusahakan secara intensif komersial. Kata kebun juga dipakai untuk menyebut pekarangan dan taman. Kebun dapat merupakan suatu pekarangan, namun tidak selalu demikian. Keseluruhan atau sebagian kebun dapat ditata menjadi taman.
Lahan perkebunan adalah lahan usaha pertanian yang luas, biasanya terletak di daerah tropis atau subtropis, yang digunakan untuk menghasilkan komoditi perdagangan (pertanian) dalam skala besar dan dipasarkan ke tempat yang jauh, bukan untuk konsumsi lokal.
Perkebunan dapat ditanami oleh tanaman keras/industri seperti kakao, kelapa, dan teh, atau tanaman hortikultura seperti pisang, anggur, atau anggrek. Dalam pengertian bahasa Inggris, “perkebunan” dapat mencakup plantation dan orchard.

2.4  Perkembangan Produksi Kakao Dunia
Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Pada tahun 2002/03, produksi kakao dunia tercatat sebesar 3.102 ribu ton. Wilayah Afrika memproduksi biji kakao sebesar 2.158 ribu ton atau 69,6% produksi dunia. Sementara Asia Oceania dan Amerika Latin masing masing memproduksi 528 ribu ton dan 416 ribu ton atau 17,0% dan 13,4% produksi dunia.
Produsen utama kakao di wilayah Afrika adalah Pantai Gading dengan total produksi 1.320 ribu ton. Negara produsen lainnya adalah Ghana , Nigeria dan Kameron dengan produksi masing-masing 497 ribu ton, 165 ribu ton dan 140 ribu ton. Di wilayah Asia Oceania, Indonesia merupakan produsen utama dengan total produksi 425 ribu ton, diikuti oleh Papua New Guinea dan Malaysia . Sementara produsen utama kakao di wilayah Amerika Latin adalah Brazil dengan total produksi 165 ribu ton, diikuti oleh Ekuador, Dominika , Colombia dan Mexiko.
Secara regional, pangsa produksi selama lima tahun terakhir (1996/97-2001/02) mengalami sedikit perubahan. Wilayah Afrika sebagai produsen utama kakao dunia mengalami peningkatan pangsa produksi sebesar 3,5% dari 64,6% menjadi 68,1%. Sementara itu, di wilayah Asia Oceania juga mengalami peningkatan pangsa produksi sebesar 1,5% dari 17,4% menjadi 18,9%. Sedangkan wilayah Amerika Latin mengalami penyusutan pangsa produksi dari 18,0% menjadi 13,0%.
Pangsa produksi masing-masing wilayah kembali bergeser pada tahun 2002/03, karena terjadi peningkatan produksi yang cukup tajam di Pantai gading dan Ghana dan penurunan produksi di Indonesia.  Produksi kakao Pantai Gading kembali meningkat menjadi 1320 ribu ton, sedikit dibawah rekor produksi tahun 1999/00. Sementara itu, Ghana mampu meningkatkan produksi kakaonya menjadi 497 ribu ton, sehingga melampaui produksi kakao Indonesia yang turun menjadi 425 ribu ton (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan Produksi Kakao Dunia (ribu ton)
Tahun
P. Gading
Indonesia
Ghana
Negeria
Brazil
Lainnya
Total
1998/99
1.163
390
397
198
138
522
2.808
1999/00
1.404
422
437
165
124
526
3.078
2000/01
1.212
392
395
177
163
514
2.853
2001/02
1.265
455
341
185
124
491
2.861
2002/03
1.320
425
497
165
163
532
3.102
 Peningkatan produksi kakao di Pantai Gading terjadi karena kondisi politik di negara tersebut makin telah membaik. Sementara peningkatan produksi kakao yang cukup tajam di Ghana merupakan buah keberhasilan para pekebun mengatasi serangan penyakit dan keberhasilan pemerintahnya mengatasi penyeludupan biji kakao. Sedangkan penurunan produksi kakao Indonesia terutama disebabkan oleh makin meningkatnya serangan hama penggerek buah kakao (PBK)di hampir seluruh sentra produksi kakao Indonesia .

2.5  Perdagangan Kakao Dunia
Perdagangan kakao dunia didominasi oleh biji kakao dan produk akhir (cokelat), sedangkan produk antara (cacao butter, cocoa powder dan cocoa paste) volumenya relatif kecil. Pada tahun 2001/02, volume ekspor biji kakao mencapai 2,12 juta ton, dan re-ekspor 235 ribu ton (International Cocoa Organization, 2003 ).
Pada periode yang sama, volume ekspor produk akhir (cokelat) mencapai 2,9 juta ton. Sementara volume ekspor kakao butter, kakao powder dan kakao paste masing-masing sebesar 528 ribu ton, 594 ribu ton dan 341 ribu ton.
Eksportir utama biji kakao dunia tahun 2001/02 ditempati oleh Pantai Gading dengan total ekspor 1 juta ton. Eksportir terbesar berikutnya adalah Indonesia, Ghana dan Nigeria dengan volume masing-masing 365 ribu ton, 285 ribu ton dan 160 ribu ton.
Di sisi lain, importir terbesar biji kakao dunia adalah Belanda dengan volume 493 ribu ton, diikuti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Malaysia dan Inggris dengan volume impor masing-masing 397 ribu ton, 212 ribu ton, 143 ribu ton, 114 ribu ton, dan 107 ribu ton. Belanda sebagai importir terbesar biji kakao sekaligus berperan sebagai re-ekspor terbesar biji kakao dunia dengan volume 78,2 ribu ton.
Pada periode yang sama, volume ekspor produk akhir kakao (cokelat) terbesar ditempati oleh Jerman dengan total ekspor 405 ribu ton, disusul Belgia, Kanada, Prancis dan Belanda dengan volume ekspor masing-masing 332 ribu ton, 266 ribu ton, 228 ribu ton dan 215 ribu ton. Sementara itu, importir terbesar produk akhir kakao adalah Amerika Serikat dengan volume 382 ribu ton, diikuti Prancis dan Jerman masing-masing 308 ribu ton dan 270 ribu ton.

2.6  Prospek Kakao Indonesia
Indonesia berhasil menjadi produsen kakao kedua terbesar dunia berkat keberhasilan dalam program perluasan dan peningkatan produksi yang mulai dilaksanakan sejak awal tahun 1980-an. Pada saat ini areal perkebunan kakao tercatat seluas 914 ribu hektar, tersebar di 29 propinsi dengan sentra produksi Sulsel, Sulteng, Sultra, Sumut, Kaltim, NTT dan Jatim. Sebagian besar (>90%) areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat (Direktort Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).
Perbaikan harga kakao dunia akhir-akhir ini tidak bisa dimanfaatkan secara optimal oleh para pekebun karena ada beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain: makin mengganasnya serangan hama penggerek buah kakao (PBK), mutu produk yang relatif rendah dan fluktuasi harga yang cukup tajam.
Serangan hama PBK merupakan ancaman yang serius bagi kelangsungan usaha perkebunan kakao karena belum ditemukan pengendalian hama yang efektif. Sejarah telah mencatat bahwa hama PBK telah tiga kali menghancurkan perkebunan kakao di Indonesia yaitu tahun 1845 di daerah Minahasa, tahun 1886 di sepanjang pantai Utara Jawa Tengah hingga Malang, Kediri dan Banyuwangi serta tahun 1958 di beberapa perkebunan kakao di Jawa (Roesmanto, 1991).
Keseriusan ancaman serangan hama PBK sudah terbukti di negara tetangga kita Malaysia yang pada saat ini perkebunan kakaonya berada diambang kepunahan. Akibat mengganasnya serangan hama PBK, produksi kakao Malaysia menurun dari 247 ribu ton tahun 1990 menjadi 200 ribu ton tahun 1993. Penurunan produksi kakao terus berlanjut hingga tinggal 25 ribu ton pada tahun 2002 atau 10% dari produksi tahun 1990 (Sulistyowati, Prawoto, Wardani, dan Winarno, 1995 dan ICCO, 2003).
Belajar dari pengalaman kita dimasa lalu dan pengalaman Malaysia beberapa tahun terakhir, maka diperlukan upaya untuk meyelamatkan perkebunan kakao dari ancaman hama PBK, sehingga keberlanjutan agribisnis kakao dapat dipertahankan dan peranan perkebunan kakao bagi perekonomian dapat ditingkatkan. Upaya penanggulangan yang paling mungkin dilakukan adalah dengan melakukan gerakan pengendalian hama terpadu secara luas dan menyeluruh.
Lebih lanjut, produksi kakao rakyat dikenal bermutu rendah dan hingga kini masih dikenakan diskon harga ( automatic detention ) yang besarnya antara US $ 90-150/ton khususnya untuk pasar Amerika Serikat. Diskon harga tersebut cukup memberatkan pekebun kakao. Karena itu perbaikan mutu menjadi suatu keharusan disamping lobi untuk mengurangi atau menghapuskan diskon harga tersebut.
Harga kakao berfluktuasi cukup tajam dan sangat tergantung pasar internasional. Hal ini sangat mempengaruhi perilaku pekebun, khususnya terkait dengan pengelolaan kebun dan perbaikan mutu produk. Pada saat harga berfluktuasi tajam, pekebun pada umumnya ingin cepat menjual hasil kebunnya tanpa melakukan pengolahan yang memadai, sehingga mutunya rendah. Untuk mengatasi hal ini, percepatan pengembangan industri pengolahan biji kakao menjadi sangat strategis untuk meraih nilai tambah dan meredam fluktuasi harga, sekaligus mengurangi ketergantungan biji kakao terhadap pasar internasional.
Tanpa upaya yang memadai, terarah dan terprogram, maka perkebunan kakao Indonesia menghadapi masa suram dan tidak mustahil sejarah kehancuran perkebunan kakao Indonesia akan terulang kembali.


BAB III
PENUTUP

3.1  Kesimpulan
Dari pembahasan makalah di atas dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : Kakao diproduksi oleh lebih dari 50 negara yang berada di kawasan tropis yang secara geografis dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu Afrika, Asia Oceania dan Amerika Latin. Produsen utama kakao di wilayah Afrika adalah Pantai Gading dengan total produksi 1.320 ribu ton. Perdagangan kakao dunia didominasi oleh biji kakao dan produk akhir (cokelat), sedangkan produk antara (cacao butter, cocoa powder dan cocoa paste) volumenya relatif kecil. Pada tahun 2001/02, volume ekspor biji kakao mencapai 2,12 juta ton, dan re-ekspor 235 ribu ton (International Cocoa Organization, 2003 ).
  1. Indonesia berhasil menjadi produsen kakao kedua terbesar dunia berkat keberhasilan dalam program perluasan dan peningkatan produksi yang mulai dilaksanakan sejak awal tahun 1980-an. Pada saat ini areal perkebunan kakao tercatat seluas 914 ribu hektar, tersebar di 29 propinsi dengan sentra produksi Sulsel, Sulteng, Sultra, Sumut, Kaltim, NTT dan Jatim. Sebagian besar (>90%) areal perkebunan kakao tersebut dikelola oleh rakyat (Direktort Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).










DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004. Statistik Perkebunan Indonesia 2001-2003, Kakao. Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, Jakarta.
International Cocoa Organization (ICCO), 2003. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol: XXIX (2)
International Cocoa Organization (ICCO), 2003a. Quarterly Bulletin of Cocoa Statistics. Vol: XXIX (4)
Roesmanto, J., 1991. Kakao: Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta , 165p.
Sulistyowati, E. A.A. Prawoto, S. Wardani , dan H. Winarno. 1995. Laporan Kunjungan Kaji Banding Pengendalian Hama Penggerek Buah kakao di Malaysia . Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia Vol. 11, No. 1: 45-51.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar