Rabu, 11 April 2018

MAKALAH PERLINDUNGAN KONSUMEN


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Globalisasi dan perdagangan bebas yang didukung dengan kemajuan teknologi komunikasi telah  memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa. Kondisi tersebut, di satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena segala kebutuhan konsumen dapat terpenuhi, serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai keinginan dan kemampuan konsumen.
Namun disisi lain, kondisi dan fenomena demikian dapat mengakibatkan kedudukan konsumen berada pada posisi yang lemah. Khususnya di Indonesia, banyak terjadi penyimpangan yang menjadikan konsumen sebagai objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Bisa kita amati, sering terjadi pelanggaran hak-hak konsumen. Misalnya pelanggaran pada penjualan produk dan penyelenggaraan jasa, seperti misalnya pada produk mengenai obat nyamuk HIT yang harus ditarik dari peredaran lantaran kandungan dua zat aktifnya yakni propoksur dan diklorvos yang seharusnya dua zat tersebut dipakai pada pertanian dan perkebunan dan pekerjanya diharuskan memakai pelindung. Selain itu pada minuman juga pernah terjadi penarikan barang dari edaran seperti misalnya kasus minuman mizone, pengoplosan daging sapi dengan daging babi hutan, penggunaan formalin pada produk makanan sehari-hari.
Dengan adanya kejadian tersebut, konsumen jelas dirugikan. Lalu, dapatkah konsumen membuktikan dirinya dirugikan oleh akibat yang ditimbulkan dengan pemakaian merek barang yang palsu tersebut. Pembuktian konsumen terkontaminasi, agaknya sulit, karena harus melalui pembuktian laboratorium. Karenanya, posisi konsumen lemah jika dihadapkan dengan produsen atau penjual. Sehingga, perlu ada tindakan tegas pemerintah dan usaha keras dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam hal lebih serius mengontrol produk barang yang beredar serta mempersoalkan produsen atau penjual yang 'bermasalah' melalui jalur hukum, agar praktik yang merugikan tersebut tidak tumbuh subur di pasaran.
      Pelanggaran hak konsumen tersebut diatas terjadi karena disebabkan beberapa hal, diantaranya ; (1) kurangnya kesadaran masyarakat akan haknya sebagai konsumen, (2) masih lemahnya perhatian konsumen terhadap penggunaan produk dengan tidak mencoba untuk mengetahui informasi, prosedur pemakaian dan pemanfaatan suatu produk demi keamanan dalam berkonsumsi, (3) kurangnya SDM masyarakat sebagai pelaku konsumen, (4) adanya keinginan dari pelaku usaha untuk mendapat keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memperdulikan kesehatan konsumen, (5) kurangnya perhatian dari Pemerintah dalam hal pengawasan peredaran produk di masyarakat dan pelayanan jasa oleh pelaku usaha.



















BAB II
PEMBAHASAN


            Berbicara mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia tentunya tidak terlepas dari instrument yuridis yaitu UUPK No. 8 Tahun 1999. Jika di Negara maju seperti contohnya Amerika Serikat, alasan utama yang dipandang sebagai penyebab lahirnya hukum perlindungan konsumen adalah karena berkembangnya industri secara cepat dan menunjukkan kompleksitas yang tinggi sehingga menimbulkan banyak korban karena memakai atau menkonsumsi produk-produk industri. Sedangkan di Indonesia sebagai Negara berkembang yang masyarakatnya semakin dituntut untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa akan lebih banyak menerima/mendatangkan produk dari luar negeri yang belum tentu aman jika dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Selain itu juga karena belum adanya sumber daya manusia yang bagus, konsumen di Indonesia belum bisa mendiri untuk memperjuangkan hak-haknya apabila dirugikan oleh produsen.
            Perlindungan terhadap konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah menjadi bagian dari pembangunan ekonomi Indonesia, dimana ekonomi Indonesia telah terkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat membawa implikasi negatif bagi perlindungan konsumen.
Namun demikian, upaya untuk memberi perlindungan hukum terhadap konsumen tidak berarti telah ada anggapan dasar bahwa semua pihak yang bergerak di bidang usaha dan perdagangan selalu terlibat dalam manipulasi yang merugikan para konsumen dan tidak pula dimasukkan untuk menjadikan masyarakat tidak konsumeristis. Akan tetapi, perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada adanya sejumlah hak konsumen yang perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang merugikan yang dilakukan oleh pihak lain. Hak-hak ini merupakan hak-hak yang sifatnya mendasar dan universal sehingga perlu mendapat jaminan dari negara atas pemenuhannya, seperti yang sudah dijabarkan pada Bab II, yaitu terdapat pada pasal 4 UUPK No. 8 Tahun 1999.
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung pengertian bahwa konsumen berhak mendapatkan produk yang aman, nyaman, dan yang memberi keselamatan. Oleh karena itu konsumen harus dilindungi  dari segala bahaya yang mengancam kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau menkonsumsi produk (misalnya makanan). Selain itu, Negara juga harus menjamin keamanan dana keselamatan konsumen dalam penggunaan jasa yang diperolehnya (misalnya dalam transportasi), sehingga konsuen dapat terhindar dari kerugian fisik maupun psikis. Termasuk dalam hal ini juga adalah produsen harus memeriksa barang yang sudah daluwarsa (expired) dan tidak layak untuk dikonsumsi. Dengan demikian sangat penting sekali konsumen mendapat jaminan perlindungan yang berupa hak untuk memperoleh informasi.
Hak atas informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang disampaikan kepada konsumen dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk atau cacat pelayanan jasa. Dalam hal berproduksi produsen diharuskan bertindak jujur, benar, dan jelas sehingga tidak mengelabui atau membodohi konsumen. Karena itu pemafaatan media informasi oleh produsen, baik dengan iklan, billboard, dan media lainnya hendaknya dilandasi kejujuran dan niat baik.
Apabila setelah menkonsumsi, konsumen merasa dirugikan atau dikecewakan karena ternyata produk yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan informasi yang diterimanya, produsen seharusnya mendengar keluhan tersebut dan memberikan penyelesaian yang baik. Termasuk dalam hal ini adalah hak konsumen untuk mendapatkan penggantian atas kerugian yang dideritanya setelah menkonsumsi produk atau jasa jika tidak sesuai dengan perjanjian. Misalnya jika pada produk terdapat label informasi mengenai manfaat produk, efek samping penggunaan produk, kadaluwarsa, serta identitas produsen dari produk tersebut. Sedangkan pada penggunaan jasa, konsumen mendapat pelayanan (sevice) jasa yang tidak sebagaimana mestinya sesuai dengan perjanjian awal. Dalam hal pemenuhan hak-hak konsumen tersebut, tentunya konsumen juga dihadapkan pada kewajiban yang harus dipenuhinya juga, seperti misalnya membayar sesuai dengan dengan nilai tukar yang disepakati sehingga ada timbal balik antara konsumen – produsen untuk saling memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.













Mengingat bahwa produsen berada dalam kedudukan yang lebih kuat, baik secara ekonomis maupun dari segi kekuasaan (bargaining power) dibandingkan dengan konsumen, maka konsumen perlu mendapat advokasi, perlindungan, serta upaya penyelesaian sengketa.
Dengan demikian, sesuai pasal 1 ayat  UUPK No. 8 Tahun 1999 jika perlindungan konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka instrument hukum tersebut dapat dijadikan sebagai payung bagi perundang-undangan lain yang bertujuan untuk melindungi konsumen, baik yang sudah ada maupun yang akan dibuat nanti.
Penerapan dari ketentuan UUPK terhadap perlindungan konsumen diselenggarakan oleh Pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat. Sesungguhnya disinilah peranan dari masyarakat dapat secara maksimal dibangkitkan, karena UUPK No. 8 Tahun 1999 memerintahkan agar pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen, sesuai dengan pasal 44 UUPK No. 8 Tahun 1999. Peranan lembaga swadaya masyarakat dalam bidang konsumen masih bisa signifikan di daerah perkotaan, tetapi upaya lembaga swadaya masyarakat di daerah pedesaan yang masih kurang aktif.
Sedangkan lembaga perlindungan konsumen yang di bawah naungan pemerintah adalah Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia, seperti yang telah diamanatkan oleh pasal 31 UUPK No. 8 Tahun 1999, bahwa dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen dibentuk Badan Perlindungan Konsumen.
Berangkat dari ketentuan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa BPKN diadakan untuk mengembangkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia sebagai lembaga yang memberikan perlindungan konsumen yang sudah diatur dalam pasal yang lain, khususnya tentang pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha, tentang pertanggunngjawaban pelaku usaha mengenai pemberian ganti rugi, dan pengaturan penyelesaian sengketa terhadap konsumen. adanya BPKN diharapkan akan lebih melindungi konsumen dari kepentingan pelaku usaha, seperti misalnya pelaku usaha yang memasarkan produk tidak layak dikonsumsi, tidak memuat komposisi dalam label yang dikeluarkan, tidak memenuhi standar mutu, dan sebainya. Sekarang dengan adanya UUPK, produk barang/jasa telah dilarang untuk ditawarkan, dipromosikan, diiklankan, dan/atau diperdagangkan.
Saat ini pemerintah harus lebih serius menangani perlindungan konsumen, karena menjelang globalisasi perdagangan bebas, konsumen dituntut untuk bisa mandiri. Artinya, konsumen harus mengetahui hak-haknya dan mampu memperjuangkan hak-haknya sehingga tidak bersikap pasif apabila haknya dilanggar. Konsumen juga harus mampu mengahadapi terjadinya Globalisasi perekonomian. Dimana akan terjadi suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Kemandirian konsumen diupayakan dapat meningkatkan pengetahuan konsumen akan hak-haknya yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan dan kewajibannya dalam melakukan transaksi pembelian barang dan /atau jasa serta tidak mudah tertipu dan selalu mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Hak dari konsumen merupakan kewajiban dari pelaku usaha dan kewajiban konsumen merupakan hak dari pelaku usaha sehingga antara pelaku usaha dan konsumen mengenai hak dan kewajiban diharapkan saling mendukung dan tidak melanggar.
Kemandirian konsumen dapat mencegah terjadinya perilaku curang para pelaku usaha, serta tidak tertibnya pelaksanaan arus perdagangan suatu barang maupun jasa.
Pada dasarnya terdapat beberapa kriteria konsumen yang mandiri, antara lain:
a.       Sadar akan harkat dan martabat konsumen, mampu untuk melindungi diri sendiri dan keluarganya;
b.      Mampu menentukan pilihan barang dan jasa sesuai kepentingan, kebutuhan, kemampuan, dan keadaan yang menjamin keamanan, keselamatan, kesehatan konsumen sendiri;
c.       Jujur dan bertanggung jawab;
d.      Berani dan mampu mengemukakan pendapat serta berani memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya;
e.       Berbudaya dan sadar hukum perlindungan konsumen.[4]
Jika unsur-unsur kriteria kemandirian konsumen telah terbentuk, maka akan tercipta keseimbangan dalam arus perdagangan. Konsumen yang mandiri akan mengetahi hak-haknya dan akan melaksanakan hak-hak yang dimiliki. Dalam hal ini pelaku usaha akan mengurangi perilaku curang, sebab konsumen yang ada sudah lebih pintar dan tidak mudah untuk dibodohi lagi.
Konsumen dalam membeli atau memilih produk/jasa hendaknya lebih teliti terutama dalam mempertimbangkan kualitas produk, manfaat, dan efek samping penggunaan. Apabila konsumen sudah mengerti hak-haknya, maka konsumen akan mendapatkan keamanan, kenyamanan, dan keselamatan dalam menkonsumsi produk atau pada saat menggunakan jasa dari pelaku usaha. Sehingga yang terjadi adalah konsumen tidak mudah terbujuk oleh iklan atau promosi barang atau jasa yang ditawarkan, konsumen lebih teliti dalam memilih dan membeli/memakai produk/jasa, konsumen dapat memilih barang yang bermutu dan mempunyai standar penjualan produk, dan yang lebih penting konsumen dalam membeli produk atau jasa sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan. Dengan adanya kondisi tersebut, lembaga penyelesaian sengketa konsumen juga akan berfungsi karena konsumen tidak lagi bersikap pasif ketika pelaku usaha melakukan tindakan yang merugikan konsumen, juga tidak ada lagi keraguan dari konsumen untuk melakukan gugatan ke pengadilan ketika terjadi kasus pelanggaran konsumen.
Tetapi kondisi konsumen di Indonesia sangat memprihatinkan. Hambatan utama dalam perwujudan kemandirian konsumen yang sadar akan hak-haknya telah termaktub dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah permasalan sumber daya manusia yang  tidak merata sehingga konsumen sangat minim kesadaran akan melakukan perlindungan terhadap hak-hynya serta permasalahan prosedur pertanggungjawaban ketika terjadi sengketa konsumen, meskipun dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 sudah diatur mengenai penyelesaian di luar pengadilan tetapi konsumen masih enggan memperkarakan kasus-kasus yang terjadi, misalnya kerugian yang dihadapi oleh konsumen secara nominal relative kecil, konsumen beranggapan bahwa melakukan gugatan pengadilan  terhadap pelaku usaha hanya membuang waktu, tenaga, dan uang.
 Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Dalam globalisasi akan tercipta perdagangan bebas, yaitu sebuah konsep ekonomi yang mengacu kepada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah) dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang berada di negara yang berbeda.[5]
Kehadiran perdagangan bebas menimbulkan prokontra dari beberapa ahli. Banyak ekonom yang berpendapat bahwa perdagangan bebas meningkatkan standar hidup melalui teori keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar. Sebagian lain berpendapat bahwa perdagangan bebas memungkinkan negara maju untuk mengeksploitasi negara berkembang dan merusak industri lokal, dan juga membatasi standar kerja dan standar sosial. Sebaliknya pula, perdagangan bebas juga dianggap merugikan negara maju karena ia menyebabkan pekerjaan dari negara maju berpindah ke negara lain dan juga menimbulkan perlombaan serendah mungkin yang menyebabkan standar hidup dan keamanan yang lebih rendah. Perdagangan bebas dianggap mendorong negara-negara untuk bergantung satu sama lain.
Dalam hal ini, terjadinya perdagangan bebas pada arus globalisasi jelas sangat berdampak pada para konsumen. Konsumen sebagai objek lalu lintas perekonomian dalam dunia perdagangan mengalami kesulitan dalam memberikan respon terhadap hadirnya banyak produk di pasaran. Pemberlakuan pasar bebas yang memposisikan berbagai Negara menjadi pangsa pasar bagi pelaku usaha secara bebas dapat membuat kedudukan konsumen menjadi lemah, terutama di Negara-negara berkembang yang menjadi sasaran utama bagi Negara maju untuk memasarkan produk barang maupun jasa. Hal ini dikarenakan di Negara berkembang secara dominant mempunyai jumlah penduduk yang tinggi serta tidak mempunyai tekhnogi yang dapat memenuhi kebutuhan warga negaranya, berbeda dengan Negara maju. Terutama di Indonesia banyak terjadi penyimpangan yang menjadikan konsumen sebagai objek pemasaran dari pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar mungkin, baik dengan cara promosi , cara penjualan/ pemasaran, kuailitas barang, penerapan klausula baku yang merugikan konsumen, ini merupakan salah satu dampak penerapan pasar bebas bagi konsumen.[6]
Pada era perdagangan bebas dimana lalu lintas hubungan produsen dan konsumen menjadi semakin terbuka, campur tangan negara, kerjasama internasional sangat dibutuhkan, yaitu guna mengatur pola hubungan produsen, konsumen, dan system perlindungan konsumen. sistem perlindungan konsumen sangat membutuhkan perangkat hukum internasional disamping perangkat hukum nasional, karena mengingat konflik hukum antar negara dan pihak yang berkepentingan dalam era perdagangan bebas semakin luas dan terbuka untuk memperebutkan pasar. Selain itu, pada era perdagangan bebas dikhawatirkan terdapat persaingan yang tidak jujur, sehingga konsumen mendapatkan barang /jasa yang tidak mempunyai jaminan kualitas dengan harga yang sangat tinggi. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama antar negara untuk membuat sistem perlindungan konsumen yang harmonis berdasarkan atas persaingan jujur.
Maka menyikapi hal tersebut sangat diperlukan pembinaan, pendidikan, dan latihan menuju pada kemandirian pada tiap konsumen..Adapun pihak-pihak yang terkait untuk melakukan pembinaan, pendidikan, dan latihan terhadap konsumen, antara lain Pemerintah, Lembaga Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha. Selama ini belum ada usaha, baik dari pihak pemerintah maupun lembaga-lembaga konsumen yang melakukan pembinaan, pendidikan, dan pelatihan terhadap konsuamen sehingga posisi konsumen di Indonesia bertambah terpuruk dalam kelemahannya.















Kasus Posisi
Di Bandung, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat bernama Hendy Sugandy, SH. Hendy, pengacara yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 23 April lalu ia berencana terbang dari Makassar ke Bandung, pukul 09:00 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. Hendy mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
Hendy menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya Hendy mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Analisa Kasus
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti Luas.Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi. Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat.
Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi.
Dalam kasus yang menimpa Hendy, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum Perdata. Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini menimpa Hendy, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.
Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
(1)     Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
(2)     Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3)     Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4)     Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya. Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen. Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.
Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapat saya belum berjalan dengan efektif dan sesuai harapan. Disana-sini penggunaan klausula tersebut masih marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini pun penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantuman klausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru samapi pada tahap pemahaman dan sosialisasi.
Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.
 Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menduga sengketa perasuransian yang melibatkan PT Asuransi Jiwa Manulife Indonesia mengandung modus umum perusahaan asuransi untuk merugikan konsumen

Contoh Kasus Pelanggaran Perlindungan Konsumen
“Bedah Kasus Konsumen Fidusia”

Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor melalui jaminan fidusia masih marak terjadi hingga kini. Adanya kebutuhan konsumen dan stimulus kemudahan dari sales perusahaan penjual motor menjadikan proses jual-beli lebih mudah, bahkan bagi seorang tukang becak sekalipun yang pendapatan hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai timbul ketikakonsumen tidak mampu membayar kredit motor, yang membuat perusahaan mencabut hak penguasaan kendaraan secara langsung. 


Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan sales dengan iming-iming kemudahan memperoleh dana untuk pembayaran dengan jaminan fidusia, dimana persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah sehingga konsumen kadang tidak pemperhitungkan kekuatan finansialnya. Sementara klausa baku yang telah ditetapkan pelaku usaha diduga terdapat informasi terselubung yang dapat merugikan konsumen. Untuk itu, mari kita cermati bedah kasus fidusia di bawah ini:

Kasus Posisi 

LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda motor Kawasaki hitam, selanjutnya NO meminjamkan identitasnya untuk kepentingan LAS dalam mengajukan pinjaman pembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia kepada PT. AF. Hal ini bisa terjadi karena fasilitasi yang diberikan oleh NA, sales perusahaan motor tersebut. Kemudian konsumen telah membayar uang muka sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan telah mengangsur sebanyak 6 kali (per angsuran sebesar Rp. 408.000,-). Namun ternyata pada cicilan ke tujuh, konsumen terlambat melakukan angsuran, akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda motor dari PT. AF.

Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya ke Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)Bojonegoro. Kemudian karena tidak mampu melakukan Pembayaran, maka LAS menitipkan obyek sengketa kepada LPKSM disertai berita acara penyerahan.Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh PT. AF dengan dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah melakukan penadahan.

Penanganan Kasus

Menyikapi kasus fidusia tersebut, BPKN bersama dengan Direktorat Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan menurunkan Tim Kecil ke Bojonegoro, untuk meneliti dan menggali 2 informasi kepada para pihak terkait. Hasilnya dijadikan sebagai bahan kajian dan telaahan hukum pada Workshop Bedah Kasus Pengaduan Konsumen melalui Lembaga Fidusia, sebagai berikut: 

1. Ketentuan dalam klausula baku

Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan perjanjian pokok yang merupakan klausula baku. Saat konsumen mencermatinya, terdapat beberapa ketentuan yang seringkali muncul, namun tidak memenuhi ketentuan Ps. 18 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) diantaranya sebagai berikut:
a.    menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan kendaraan bermotor yang dibeli konsumen.

b.    menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.

c.    Mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku tersebut sifatnya batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya dengan ketentuan UUPK.

2. Pendaftaran Jaminan Fidusia 

PT. AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor Pendaftaran Fidusia, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 42 Tahun 1999.Akibatnya perjanjian jaminan fidusia menjadi gugur dan kembali ke perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang biasa (akta dibawah tangan). Bila jaminan fidusia terdaftar, PT. AF memiliki hak eksekusi langsung (parate eksekusi) untuk menarik kembali motor yang berada dalam penguasaan konsumen. Namun bila tidak terdaftar, berarti PT. AF tidak memiliki hak eksekusi langsung terhadap objek sengketa karena kedudukannya sebagai kreditor konkuren, yang harus menunggu penyelesaian utang bersama kreditor yang lain.

3. Hak Konsumen atas Obyek Sengketa 

Konsumen telah membayar 6 kali angsuran, namun terjadi kemacetan pada angsuran ketujuh.Ini berarti konsumen telah menunaikan sebagian kewajibannya sehingga dapat dikatakan bahwa di atas objek sengketa tersebut telah ada sebagian hak milik debitor (konsumen) dan sebagian hak milik kreditor.

Tips bagi Konsumen 

Rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen seringkali dimanfaatkan oleh lembaga pembiayaan yang menjalankan praktek jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Untuk itu, perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai berikut: 
1. Konsumen dihimbau beritikad baik untuk selalu membayar angsuran secara tepat waktu.

2. konsumen dihimbau untuk lebih kritis dan teliti dalam membaca klausula baku, terutama mengenai:
    a. hak-hak dan kewajiban para pihak
    b. kapan perjanjian itu jatuh tempo
    c. akibat hukum bila konsumen tidak dapat memenuhi kewajibannya (wanprestasi)

3. Bila ketentuan klausula baku ternyata tidak sesuai dengan ketentuan UUPK dan UUF, serta merugikan konsumen, maka pelaku usaha harus diminta untuk menyesuaikannya dengan ketentuan tersebut.

4. Bila terjadi sengketa, konsumen dapat memperjuangkan hak-haknya dengan meminta pertimbangan dan penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.











KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
            Secara umum dan mendasar hubungan antara pelaku usaha dan konsumen merupakan hubungan yang terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut memang saling membutuhkan dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi. Bertolak dari luas dan kompleksnya hubungan antara produsen dan konsumen yang akhirnya posisi pelaku usaha lebih mendominasi dari pada posisi konsumen sehingga konsumen lebih sering dirugikan, maka negara menjamin perlindungan hukum terhadap konsumen di dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999.
            Memasuki era globalisasi perdagangan bebas, dimana akses transaksi melalui sarana apapun sangat terbuka. Globalisasi yang diciptakan oleh negara-negara maju melakukan gerakan perluasan pasar dan disemua pasar yang berdasarkan persaingan selalu ada yang menang dan kalah.
            Di Indonesia yang posisi konsumen masih sangat lemah, maka harus ada gerakan kemandirian konsumen sehingga konsumen siap menghadapi era perdagangan bebas. Jadi konsumen bisa lebih memahami hak-haknya dan bisa memperjuangkan apabila haknya dilanggar. Adanya UUPK No. 8 Tahun 1999 sangat menekankan adanya perlindungan terhadap konsumen oleh semua pihak, antara lain pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga perlindungan konsumen. sehingga diharapkan posisi konsumen di era globalisasi perdagangan bebas dapat sejajar dengan pelaku usaha.



Saran
  1. Bagi pelaku usaha harus lebih hati-hati dalam memasarkan produk/jasa, sehingga tidak membahayakan keamanan dan keselamatan konsumen
  2. Bagi lembaga perlindungan konsumen sebaiknya lebih aktif mensosialisasikan hak-hak konsumen dan membantu memperjuangkan hak-hak konsumen pada saat konsumen dirugikan oleh pelaku usaha
  3. Bagi masyarakat, harus ikut aktif memperjuangkan hak-hak konsumen karena pada dasarnya semua orang adalah konsumen yang hak-haknya harus dilindungi
  4. Bagi konsumen sendiri harus memahami hak-haknya dan berani memperjuangkan jika dilanggar
  5. Bagi pemerintah, sebaiknya meningkatkan pengawasan terhadap produk/jasa yang beredar serta melakukan pembinaan dan pelatihan terhadap konsumen agar bisa mandiri







Tidak ada komentar:

Posting Komentar