BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Globalisasi
dan perdagangan bebas yang didukung dengan kemajuan teknologi komunikasi
telah memperluas ruang gerak arus transaksi barang dan/atau jasa. Kondisi
tersebut, di satu sisi mempunyai manfaat bagi konsumen karena segala kebutuhan
konsumen dapat terpenuhi, serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih
aneka jenis kualitas barang dan jasa sesuai keinginan dan kemampuan konsumen.
Namun disisi
lain, kondisi dan fenomena demikian dapat mengakibatkan kedudukan konsumen
berada pada posisi yang lemah. Khususnya di Indonesia, banyak terjadi
penyimpangan yang menjadikan konsumen sebagai objek aktivitas bisnis untuk
meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi,
cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen.
Bisa kita amati, sering terjadi pelanggaran hak-hak
konsumen. Misalnya pelanggaran pada penjualan produk dan penyelenggaraan jasa,
seperti misalnya pada produk mengenai obat nyamuk HIT yang harus ditarik dari
peredaran lantaran kandungan dua zat aktifnya yakni propoksur dan diklorvos
yang seharusnya dua zat tersebut dipakai pada pertanian dan perkebunan dan
pekerjanya diharuskan memakai pelindung. Selain itu pada minuman juga pernah
terjadi penarikan barang dari edaran seperti misalnya kasus minuman mizone,
pengoplosan daging sapi dengan daging babi hutan, penggunaan formalin pada
produk makanan sehari-hari.
Dengan adanya kejadian tersebut, konsumen jelas
dirugikan. Lalu, dapatkah konsumen membuktikan dirinya dirugikan oleh akibat
yang ditimbulkan dengan pemakaian merek barang yang palsu tersebut. Pembuktian
konsumen terkontaminasi, agaknya sulit, karena harus melalui pembuktian
laboratorium. Karenanya, posisi konsumen lemah jika dihadapkan dengan produsen
atau penjual. Sehingga, perlu ada tindakan tegas pemerintah dan usaha keras
dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dalam hal lebih serius
mengontrol produk barang yang beredar serta mempersoalkan produsen atau penjual
yang 'bermasalah' melalui jalur hukum, agar praktik yang merugikan tersebut
tidak tumbuh subur di pasaran.
Pelanggaran hak
konsumen tersebut diatas terjadi karena disebabkan beberapa hal, diantaranya ;
(1) kurangnya kesadaran masyarakat akan haknya sebagai konsumen, (2) masih
lemahnya perhatian konsumen terhadap penggunaan produk dengan tidak mencoba
untuk mengetahui informasi, prosedur pemakaian dan pemanfaatan suatu produk
demi keamanan dalam berkonsumsi, (3) kurangnya SDM masyarakat sebagai pelaku
konsumen, (4) adanya keinginan dari pelaku usaha untuk mendapat keuntungan yang
sebesar-besarnya tanpa memperdulikan kesehatan konsumen, (5) kurangnya
perhatian dari Pemerintah dalam hal pengawasan peredaran produk di masyarakat
dan pelayanan jasa oleh pelaku usaha.
BAB II
PEMBAHASAN
Berbicara mengenai perlindungan hukum terhadap konsumen di Indonesia tentunya
tidak terlepas dari instrument yuridis yaitu UUPK No. 8 Tahun 1999. Jika di
Negara maju seperti contohnya Amerika Serikat, alasan utama yang dipandang
sebagai penyebab lahirnya hukum perlindungan konsumen adalah karena
berkembangnya industri secara cepat dan menunjukkan kompleksitas yang tinggi
sehingga menimbulkan banyak korban karena memakai atau menkonsumsi
produk-produk industri. Sedangkan di Indonesia sebagai Negara berkembang yang
masyarakatnya semakin dituntut untuk memenuhi kebutuhan barang dan jasa akan
lebih banyak menerima/mendatangkan produk dari luar negeri yang belum tentu
aman jika dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Selain itu juga karena belum
adanya sumber daya manusia yang bagus, konsumen di Indonesia belum bisa mendiri
untuk memperjuangkan hak-haknya apabila dirugikan oleh produsen.
Perlindungan terhadap konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena
investasi asing telah menjadi bagian dari pembangunan ekonomi Indonesia, dimana
ekonomi Indonesia telah terkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan
internasional dapat membawa implikasi negatif bagi perlindungan konsumen.
Namun
demikian, upaya untuk memberi perlindungan hukum terhadap konsumen tidak
berarti telah ada anggapan dasar bahwa semua pihak yang bergerak di bidang
usaha dan perdagangan selalu terlibat dalam manipulasi yang merugikan para
konsumen dan tidak pula dimasukkan untuk menjadikan masyarakat tidak
konsumeristis. Akan tetapi, perlindungan terhadap konsumen didasarkan pada
adanya sejumlah hak konsumen yang perlu dilindungi dari tindakan-tindakan yang
merugikan yang dilakukan oleh pihak lain. Hak-hak ini merupakan hak-hak yang
sifatnya mendasar dan universal sehingga perlu mendapat jaminan dari negara
atas pemenuhannya, seperti yang sudah dijabarkan pada Bab II, yaitu terdapat
pada pasal 4 UUPK No. 8 Tahun 1999.
Hak atas
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan mengandung pengertian bahwa konsumen
berhak mendapatkan produk yang aman, nyaman, dan yang memberi keselamatan. Oleh
karena itu konsumen harus dilindungi dari segala bahaya yang mengancam
kesehatan, jiwa, dan harta bendanya karena memakai atau menkonsumsi produk
(misalnya makanan). Selain itu, Negara juga harus menjamin keamanan dana
keselamatan konsumen dalam penggunaan jasa yang diperolehnya (misalnya dalam
transportasi), sehingga konsuen dapat terhindar dari kerugian fisik maupun
psikis. Termasuk dalam hal ini juga adalah produsen harus memeriksa barang yang
sudah daluwarsa (expired) dan tidak layak untuk dikonsumsi. Dengan demikian
sangat penting sekali konsumen mendapat jaminan perlindungan yang berupa hak
untuk memperoleh informasi.
Hak atas
informasi ini sangat penting, karena tidak memadainya informasi yang
disampaikan kepada konsumen dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk
atau cacat pelayanan jasa. Dalam hal berproduksi produsen diharuskan bertindak
jujur, benar, dan jelas sehingga tidak mengelabui atau membodohi konsumen.
Karena itu pemafaatan media informasi oleh produsen, baik dengan iklan, billboard,
dan media lainnya hendaknya dilandasi kejujuran dan niat baik.
Apabila
setelah menkonsumsi, konsumen merasa dirugikan atau dikecewakan karena ternyata
produk yang dikonsumsinya tidak sesuai dengan informasi yang diterimanya,
produsen seharusnya mendengar keluhan tersebut dan memberikan penyelesaian yang
baik. Termasuk dalam hal ini adalah hak konsumen untuk mendapatkan penggantian
atas kerugian yang dideritanya setelah menkonsumsi produk atau jasa jika tidak
sesuai dengan perjanjian. Misalnya jika pada produk terdapat label informasi
mengenai manfaat produk, efek samping penggunaan produk, kadaluwarsa, serta
identitas produsen dari produk tersebut. Sedangkan pada penggunaan jasa,
konsumen mendapat pelayanan (sevice) jasa yang tidak sebagaimana
mestinya sesuai dengan perjanjian awal. Dalam hal pemenuhan hak-hak konsumen tersebut,
tentunya konsumen juga dihadapkan pada kewajiban yang harus dipenuhinya juga,
seperti misalnya membayar sesuai dengan dengan nilai tukar yang disepakati
sehingga ada timbal balik antara konsumen – produsen untuk saling memenuhi hak
dan kewajiban masing-masing pihak.
Mengingat
bahwa produsen berada dalam kedudukan yang lebih kuat, baik secara ekonomis
maupun dari segi kekuasaan (bargaining power) dibandingkan dengan
konsumen, maka konsumen perlu mendapat advokasi, perlindungan, serta upaya
penyelesaian sengketa.
Dengan
demikian, sesuai pasal 1 ayat UUPK No. 8 Tahun 1999 jika perlindungan
konsumen diartikan sebagai segala upaya yang menjamin adanya kepastian
pemenuhan hak-hak konsumen sebagai wujud perlindungan kepada konsumen, maka instrument
hukum tersebut dapat dijadikan sebagai payung bagi perundang-undangan lain yang
bertujuan untuk melindungi konsumen, baik yang sudah ada maupun yang akan
dibuat nanti.
Penerapan
dari ketentuan UUPK terhadap perlindungan konsumen diselenggarakan oleh
Pemerintah, masyarakat, dan lembaga-lembaga perlindungan konsumen swadaya
masyarakat. Sesungguhnya disinilah peranan dari masyarakat dapat secara
maksimal dibangkitkan, karena UUPK No. 8 Tahun 1999 memerintahkan agar
pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang
memenuhi syarat untuk berperan aktif dalam mewujudkan perlindungan konsumen,
sesuai dengan pasal 44 UUPK No. 8 Tahun 1999. Peranan lembaga swadaya
masyarakat dalam bidang konsumen masih bisa signifikan di daerah perkotaan,
tetapi upaya lembaga swadaya masyarakat di daerah pedesaan yang masih kurang
aktif.
Sedangkan
lembaga perlindungan konsumen yang di bawah naungan pemerintah adalah Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) yang berkedudukan di Ibu Kota Negara
Republik Indonesia, seperti yang telah diamanatkan oleh pasal 31 UUPK No. 8
Tahun 1999, bahwa dalam rangka mengembangkan upaya perlindungan konsumen
dibentuk Badan Perlindungan Konsumen.
Berangkat
dari ketentuan pasal tersebut, dapat diketahui bahwa BPKN diadakan untuk
mengembangkan upaya perlindungan konsumen di Indonesia sebagai lembaga yang
memberikan perlindungan konsumen yang sudah diatur dalam pasal yang lain,
khususnya tentang pengaturan hak dan kewajiban konsumen dan pelaku usaha,
tentang pertanggunngjawaban pelaku usaha mengenai pemberian ganti rugi, dan
pengaturan penyelesaian sengketa terhadap konsumen. adanya BPKN diharapkan akan
lebih melindungi konsumen dari kepentingan pelaku usaha, seperti misalnya
pelaku usaha yang memasarkan produk tidak layak dikonsumsi, tidak memuat
komposisi dalam label yang dikeluarkan, tidak memenuhi standar mutu, dan
sebainya. Sekarang dengan adanya UUPK, produk barang/jasa telah dilarang untuk
ditawarkan, dipromosikan, diiklankan, dan/atau diperdagangkan.
Saat ini
pemerintah harus lebih serius menangani perlindungan konsumen, karena menjelang
globalisasi perdagangan bebas, konsumen dituntut untuk bisa mandiri. Artinya,
konsumen harus mengetahui hak-haknya dan mampu memperjuangkan hak-haknya
sehingga tidak bersikap pasif apabila haknya dilanggar. Konsumen juga harus
mampu mengahadapi terjadinya Globalisasi perekonomian. Dimana akan terjadi
suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana
negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan
tanpa rintangan batas teritorial negara.
Kemandirian konsumen diupayakan dapat meningkatkan pengetahuan konsumen akan
hak-haknya yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan dan kewajibannya
dalam melakukan transaksi pembelian barang dan /atau jasa serta tidak mudah
tertipu dan selalu mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan
konsumen secara patut. Hak dari konsumen merupakan kewajiban dari pelaku usaha
dan kewajiban konsumen merupakan hak dari pelaku usaha sehingga antara pelaku
usaha dan konsumen mengenai hak dan kewajiban diharapkan saling mendukung dan
tidak melanggar.
Kemandirian
konsumen dapat mencegah terjadinya perilaku curang para pelaku usaha, serta
tidak tertibnya pelaksanaan arus perdagangan suatu barang maupun jasa.
Pada
dasarnya terdapat beberapa kriteria konsumen yang mandiri, antara lain:
a. Sadar akan harkat dan martabat
konsumen, mampu untuk melindungi diri sendiri dan keluarganya;
b. Mampu menentukan pilihan barang dan jasa
sesuai kepentingan, kebutuhan, kemampuan, dan keadaan yang menjamin keamanan,
keselamatan, kesehatan konsumen sendiri;
c. Jujur dan bertanggung jawab;
d. Berani dan mampu mengemukakan pendapat
serta berani memperjuangkan dan mempertahankan hak-haknya;
e. Berbudaya dan sadar hukum
perlindungan konsumen.[4]
Jika
unsur-unsur kriteria kemandirian konsumen telah terbentuk, maka akan tercipta
keseimbangan dalam arus perdagangan. Konsumen yang mandiri akan mengetahi
hak-haknya dan akan melaksanakan hak-hak yang dimiliki. Dalam hal ini pelaku
usaha akan mengurangi perilaku curang, sebab konsumen yang ada sudah lebih pintar
dan tidak mudah untuk dibodohi lagi.
Konsumen
dalam membeli atau memilih produk/jasa hendaknya lebih teliti terutama dalam
mempertimbangkan kualitas produk, manfaat, dan efek samping penggunaan. Apabila
konsumen sudah mengerti hak-haknya, maka konsumen akan mendapatkan keamanan,
kenyamanan, dan keselamatan dalam menkonsumsi produk atau pada saat menggunakan
jasa dari pelaku usaha. Sehingga yang terjadi adalah konsumen tidak mudah
terbujuk oleh iklan atau promosi barang atau jasa yang ditawarkan, konsumen
lebih teliti dalam memilih dan membeli/memakai produk/jasa, konsumen dapat
memilih barang yang bermutu dan mempunyai standar penjualan produk, dan yang
lebih penting konsumen dalam membeli produk atau jasa sesuai dengan kebutuhan
dan kemampuan. Dengan adanya kondisi tersebut, lembaga penyelesaian sengketa
konsumen juga akan berfungsi karena konsumen tidak lagi bersikap pasif ketika
pelaku usaha melakukan tindakan yang merugikan konsumen, juga tidak ada lagi
keraguan dari konsumen untuk melakukan gugatan ke pengadilan ketika terjadi
kasus pelanggaran konsumen.
Tetapi
kondisi konsumen di Indonesia sangat memprihatinkan. Hambatan utama dalam
perwujudan kemandirian konsumen yang sadar akan hak-haknya telah termaktub
dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 adalah permasalan sumber daya manusia yang
tidak merata sehingga konsumen sangat minim kesadaran akan melakukan
perlindungan terhadap hak-hynya serta permasalahan prosedur pertanggungjawaban
ketika terjadi sengketa konsumen, meskipun dalam UUPK No. 8 Tahun 1999 sudah diatur
mengenai penyelesaian di luar pengadilan tetapi konsumen masih enggan
memperkarakan kasus-kasus yang terjadi, misalnya kerugian yang dihadapi oleh
konsumen secara nominal relative kecil, konsumen beranggapan bahwa melakukan
gugatan pengadilan terhadap pelaku usaha hanya membuang waktu, tenaga,
dan uang.
Ketika
globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan
keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan
semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar
produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya
juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Dalam
globalisasi akan tercipta perdagangan bebas, yaitu sebuah konsep ekonomi yang
mengacu kepada penjualan produk antar negara tanpa pajak ekspor-impor atau
hambatan perdagangan lainnya. Perdagangan bebas dapat juga didefinisikan
sebagai tidak adanya hambatan buatan (hambatan yang diterapkan pemerintah)
dalam perdagangan antar individual-individual dan perusahaan-perusahaan yang
berada di negara yang berbeda.[5]
Kehadiran
perdagangan bebas menimbulkan prokontra dari beberapa ahli. Banyak ekonom yang
berpendapat bahwa perdagangan bebas meningkatkan standar hidup melalui teori keuntungan komparatif dan ekonomi skala besar. Sebagian lain berpendapat bahwa perdagangan bebas
memungkinkan negara maju untuk mengeksploitasi negara berkembang dan merusak
industri lokal, dan juga membatasi standar kerja dan standar sosial. Sebaliknya
pula, perdagangan bebas juga dianggap merugikan negara maju karena ia
menyebabkan pekerjaan dari negara maju berpindah ke negara lain dan juga
menimbulkan perlombaan serendah mungkin yang menyebabkan standar hidup dan
keamanan yang lebih rendah. Perdagangan bebas dianggap mendorong negara-negara
untuk bergantung satu sama lain.
Dalam hal
ini, terjadinya perdagangan bebas pada arus globalisasi jelas sangat berdampak
pada para konsumen. Konsumen sebagai objek lalu lintas perekonomian dalam dunia
perdagangan mengalami kesulitan dalam memberikan respon terhadap hadirnya
banyak produk di pasaran. Pemberlakuan pasar bebas yang memposisikan berbagai
Negara menjadi pangsa pasar bagi pelaku usaha secara bebas dapat membuat
kedudukan konsumen menjadi lemah, terutama di Negara-negara berkembang yang
menjadi sasaran utama bagi Negara maju untuk memasarkan produk barang maupun
jasa. Hal ini dikarenakan di Negara berkembang secara dominant mempunyai jumlah
penduduk yang tinggi serta tidak mempunyai tekhnogi yang dapat memenuhi
kebutuhan warga negaranya, berbeda dengan Negara maju. Terutama di Indonesia
banyak terjadi penyimpangan yang menjadikan konsumen sebagai objek pemasaran
dari pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebesar mungkin, baik dengan
cara promosi , cara penjualan/ pemasaran, kuailitas barang, penerapan klausula
baku yang merugikan konsumen, ini merupakan salah satu dampak penerapan pasar
bebas bagi konsumen.[6]
Pada era
perdagangan bebas dimana lalu lintas hubungan produsen dan konsumen menjadi semakin
terbuka, campur tangan negara, kerjasama internasional sangat dibutuhkan, yaitu
guna mengatur pola hubungan produsen, konsumen, dan system perlindungan
konsumen. sistem perlindungan konsumen sangat membutuhkan perangkat hukum
internasional disamping perangkat hukum nasional, karena mengingat konflik
hukum antar negara dan pihak yang berkepentingan dalam era perdagangan bebas
semakin luas dan terbuka untuk memperebutkan pasar. Selain itu, pada era
perdagangan bebas dikhawatirkan terdapat persaingan yang tidak jujur, sehingga
konsumen mendapatkan barang /jasa yang tidak mempunyai jaminan kualitas dengan
harga yang sangat tinggi. Oleh karena itu perlu adanya kerjasama antar negara
untuk membuat sistem perlindungan konsumen yang harmonis berdasarkan atas persaingan
jujur.
Maka
menyikapi hal tersebut sangat diperlukan pembinaan, pendidikan, dan latihan
menuju pada kemandirian pada tiap konsumen..Adapun pihak-pihak yang terkait
untuk melakukan pembinaan, pendidikan, dan latihan terhadap konsumen, antara
lain Pemerintah, Lembaga Perlindungan Konsumen, Konsumen, dan Pelaku Usaha.
Selama ini belum ada usaha, baik dari pihak pemerintah maupun lembaga-lembaga
konsumen yang melakukan pembinaan, pendidikan, dan pelatihan terhadap konsuamen
sehingga posisi konsumen di Indonesia bertambah terpuruk dalam kelemahannya.
Kasus Posisi
Di
Bandung, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan
Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh
seorang advokat bernama Hendy Sugandy, SH. Hendy, pengacara yang tercatat
beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan
setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat
paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 23 April lalu ia berencana terbang dari Makassar ke Bandung, pukul 09:00 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. Hendy mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
Hendy menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya Hendy mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Kasus ini terjadi pada 23 April lalu ia berencana terbang dari Makassar ke Bandung, pukul 09:00 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. Hendy mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
Hendy menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya Hendy mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Analisa Kasus
Untuk
menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka
harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana
ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana
Ekonomi dalam arti Luas.Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi
sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana
yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi. Hukum tersebut
diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan
kemakmuran rakyat.
Dalam
Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk
yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau
tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana
ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas
melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak
pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan
Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak
pidana ekonomi.
Dalam
kasus yang menimpa Hendy, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings
Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas
merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen,
sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam
arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Berdasarkan
Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999
disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan
adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui
terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal
tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan
lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya
pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga
diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif
dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Asas
yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5
asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya
bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan;
partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan
kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan
melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan
keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam
arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen;
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn
penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau
digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen,
serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan
konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan
untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab
dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan,
keamanan dan keselamatan konsumen.
Sedangkan
ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang
diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara
Ultimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga
mengenal adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum
Administrasi dan Hukum Perdata. Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku
pada tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini menimpa Hendy, secara
tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana
penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,-
,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.
Yang
dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak
dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang
lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
(1) Pelaku
usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang
membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila:
a.
menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
(2) Pelaku
usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit
terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit
dimengerti.
(3) Setiap
klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau
perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku
usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang
ini.
Selanjutnya
berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari
pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara
dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. Selain itu khusus
mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan
penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung
jawabnya. Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang
diperjualbelikan memuat klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas
kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan
pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau
kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas
merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket
tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan
pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada
penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan
konsumen. Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas
kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun
konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings
Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan
Konvensi Warsawa tentang penerbangan.
Terkait
dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan
pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapat
saya belum berjalan dengan efektif dan sesuai harapan. Disana-sini penggunaan
klausula tersebut masih marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas
perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini pun penggunaan sangsi pidana belum
pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantuman klausula baku. Hal tersebut
menurut pendapat saya merupakan indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999
belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru samapi pada
tahap pemahaman dan sosialisasi.
Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran
UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya
selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan
social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya
Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan
menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan,
akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar
kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.
Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia (YLKI) menduga sengketa perasuransian yang melibatkan PT
Asuransi Jiwa Manulife Indonesia mengandung modus umum perusahaan asuransi
untuk merugikan konsumen
Contoh Kasus Pelanggaran Perlindungan Konsumen
“Bedah Kasus Konsumen Fidusia”
Pengaduan konsumen tentang pembayaran angsuran motor melalui
jaminan fidusia masih marak terjadi hingga kini. Adanya kebutuhan konsumen dan
stimulus kemudahan dari sales perusahaan penjual motor menjadikan proses
jual-beli lebih mudah, bahkan bagi seorang tukang becak sekalipun yang
pendapatan hariannya relatif rendah. Permasalahan mulai timbul ketikakonsumen
tidak mampu membayar kredit motor, yang membuat perusahaan mencabut hak
penguasaan kendaraan secara langsung.
Pada umumnya praktek penjualan motor dilakukan sales dengan
iming-iming kemudahan memperoleh dana untuk pembayaran dengan jaminan
fidusia, dimana persyaratannya sederhana, cepat, dan mudah sehingga konsumen
kadang tidak pemperhitungkan kekuatan finansialnya. Sementara klausa baku yang
telah ditetapkan pelaku usaha diduga terdapat informasi terselubung yang dapat
merugikan konsumen. Untuk itu, mari kita cermati bedah kasus fidusia di bawah
ini:
Kasus Posisi
LAS yang berprofesi sebagai tukang becak, membeli kendaraan sepeda
motor Kawasaki hitam, selanjutnya NO meminjamkan identitasnya untuk kepentingan
LAS dalam mengajukan pinjaman pembayaran motor tersebut dengan jaminan fidusia
kepada PT. AF. Hal ini bisa terjadi karena fasilitasi yang diberikan oleh NA,
sales perusahaan motor tersebut. Kemudian konsumen telah membayar uang muka
sebesar Rp. 2.000.000,- kepada PT. AF dan telah mengangsur sebanyak 6 kali (per
angsuran sebesar Rp. 408.000,-). Namun ternyata pada cicilan ke tujuh, konsumen
terlambat melakukan angsuran, akibatnya terjadi upaya penarikan sepeda motor
dari PT. AF.
Merasa dirugikan, konsumen mengadukan masalahnya ke Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)Bojonegoro. Kemudian karena
tidak mampu melakukan Pembayaran, maka LAS menitipkan obyek sengketa kepada
LPKSM disertai berita acara penyerahan.Akibatnya LAS/NO dilaporkan oleh PT. AF
dengan dakwaan melakukan penggelapan dan Ketua LPKSM didakwa telah melakukan
penadahan.
Penanganan Kasus
Menyikapi kasus fidusia tersebut, BPKN bersama dengan Direktorat
Perlindungan Konsumen Departemen Perdagangan menurunkan Tim Kecil ke
Bojonegoro, untuk meneliti dan menggali 2 informasi kepada para pihak terkait.
Hasilnya dijadikan sebagai bahan kajian dan telaahan hukum pada Workshop Bedah
Kasus Pengaduan Konsumen melalui Lembaga Fidusia, sebagai berikut:
1. Ketentuan dalam klausula baku
Pada umumnya jual beli sepeda motor diikuti dengan
perjanjian pokok yang merupakan klausula baku. Saat
konsumen mencermatinya, terdapat beberapa ketentuan yang seringkali muncul,
namun tidak memenuhi ketentuan Ps. 18 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen (UUPK) diantaranya sebagai berikut:
a. menyatakan pemberian kuasa dari
konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung
untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan kendaraan
bermotor yang dibeli konsumen.
b. menyatakan bahwa konsumen memberi
kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai,
atau hak jaminan fidusia terhadap barang yang dibeli konsumen secara
angsuran.
c. Mencantumkan klausula baku yang
letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas,
atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Klausula baku tersebut sifatnya
batal demi hukum dan pelaku usaha wajib menyesuaikannya dengan ketentuan UUPK.
2. Pendaftaran Jaminan Fidusia
PT. AF ternyata tidak mendaftarkan jaminan fidusia ke Kantor
Pendaftaran Fidusia, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 42 Tahun
1999.Akibatnya perjanjian jaminan fidusia menjadi gugur dan kembali ke
perjanjian pokok yaitu perjanjian hutang piutang biasa (akta dibawah tangan).
Bila jaminan fidusia terdaftar, PT. AF memiliki hak eksekusi langsung (parate
eksekusi) untuk menarik kembali motor yang berada dalam penguasaan konsumen.
Namun bila tidak terdaftar, berarti PT. AF tidak memiliki hak eksekusi langsung
terhadap objek sengketa karena kedudukannya sebagai kreditor konkuren, yang
harus menunggu penyelesaian utang bersama kreditor yang lain.
3. Hak Konsumen atas Obyek Sengketa
Konsumen telah membayar 6 kali angsuran, namun terjadi
kemacetan pada angsuran ketujuh.Ini berarti konsumen telah menunaikan sebagian
kewajibannya sehingga dapat dikatakan bahwa di atas objek sengketa tersebut
telah ada sebagian hak milik debitor (konsumen) dan sebagian hak milik
kreditor.
Tips bagi Konsumen
Rendahnya daya tawar dan pengetahuan hukum konsumen
seringkali dimanfaatkan oleh lembaga pembiayaan yang menjalankan praktek
jaminan fidusia dengan akta di bawah tangan.
Untuk itu, perhatikanlah tips bagi konsumen sebagai
berikut:
1. Konsumen dihimbau beritikad baik untuk selalu membayar
angsuran secara tepat waktu.
2. konsumen dihimbau untuk lebih kritis dan teliti dalam
membaca klausula baku, terutama mengenai:
a. hak-hak dan kewajiban para pihak
b. kapan perjanjian itu jatuh tempo
c. akibat hukum bila konsumen tidak dapat
memenuhi kewajibannya (wanprestasi)
3. Bila ketentuan klausula baku ternyata tidak sesuai dengan
ketentuan UUPK dan UUF, serta merugikan konsumen, maka pelaku usaha harus diminta
untuk menyesuaikannya dengan ketentuan tersebut.
4. Bila terjadi sengketa, konsumen dapat memperjuangkan
hak-haknya dengan meminta pertimbangan dan penyelesaian melalui Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Secara umum
dan mendasar hubungan antara pelaku usaha dan konsumen merupakan hubungan yang
terus menerus dan berkesinambungan. Hubungan tersebut memang saling membutuhkan
dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi. Bertolak dari luas dan
kompleksnya hubungan antara produsen dan konsumen yang akhirnya posisi pelaku
usaha lebih mendominasi dari pada posisi konsumen sehingga konsumen lebih
sering dirugikan, maka negara menjamin perlindungan hukum terhadap konsumen di
dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999.
Memasuki era globalisasi perdagangan bebas, dimana akses transaksi melalui
sarana apapun sangat terbuka. Globalisasi yang diciptakan oleh negara-negara
maju melakukan gerakan perluasan pasar dan disemua pasar yang berdasarkan
persaingan selalu ada yang menang dan kalah.
Di Indonesia yang posisi konsumen masih sangat lemah, maka harus ada gerakan
kemandirian konsumen sehingga konsumen siap menghadapi era perdagangan bebas.
Jadi konsumen bisa lebih memahami hak-haknya dan bisa memperjuangkan apabila
haknya dilanggar. Adanya UUPK No. 8 Tahun 1999 sangat menekankan adanya
perlindungan terhadap konsumen oleh semua pihak, antara lain pemerintah,
masyarakat, dan lembaga-lembaga perlindungan konsumen. sehingga diharapkan
posisi konsumen di era globalisasi perdagangan bebas dapat sejajar dengan
pelaku usaha.
Saran
- Bagi pelaku usaha harus lebih hati-hati dalam
memasarkan produk/jasa, sehingga tidak membahayakan keamanan dan
keselamatan konsumen
- Bagi lembaga perlindungan konsumen sebaiknya
lebih aktif mensosialisasikan hak-hak konsumen dan membantu memperjuangkan
hak-hak konsumen pada saat konsumen dirugikan oleh pelaku usaha
- Bagi masyarakat, harus ikut aktif memperjuangkan
hak-hak konsumen karena pada dasarnya semua orang adalah konsumen yang
hak-haknya harus dilindungi
- Bagi konsumen sendiri harus memahami hak-haknya
dan berani memperjuangkan jika dilanggar
- Bagi pemerintah, sebaiknya meningkatkan
pengawasan terhadap produk/jasa yang beredar serta melakukan pembinaan dan
pelatihan terhadap konsumen agar bisa mandiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar