BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pengalaman
selama ini menunjukkan bahwa transformasi organisasi senantiasa diawali oleh
suatu kebutuhan yang berkaitan dengan tuntutan bisnis. Tujuan bisnis menjadi
pedoman dalam pengelolaan organisasi, termasuk dalam transformasi. Tujuan
bisnis yang selalu berkembang (namun tetap dalam koridor visi dan misi) memberi
pengaruh dalam manjemen perusahaan. Satu diantara yaitu penyesuaian dalam
struktur organisasi, yang menyesuaikan terhadap strategi yang telah ditetapkan
untuk mencapai tujuan.
Perubahan
struktur organisasi dari bentuk lama ke bentuk baru memberikan dampak yang
tidak hanya menyangkut pola struktur itu sendiri, tetapi juga keberbagai aspek
lain seperti sistem, prosedur, budaya, manusia dan sebagainya. Hal ini
terkadang luput dari perhatian pengelola organisasi yang terkadang hanya
terpaku pada struktur dan sistem namun mengabaikan masalah kultur dan manusia.
Berbicara
tentang kultur dan manusia dalam konteks transformasi, maka dua aspek penting
yang harus menjadi pertimbangan, yaitu kepemimpinan dan komunikasi. Lazim
diketahui bahwa suatu perubahan senantiasa disikapi oleh pro dan kontra. Kontra
dalam hal ini termasuk sikap resisten untuk menerima perubahan, sehingga hal
ini dapat menjadi faktor penghambat dalam mencapai tujuan perubahan organisasi.
Faktor resisten ini memerlukan kepemimpinan yang tepat dan komunikasi yang
sesuai untuk mengubah perilaku non-kooperatif menjadi perilaku kooperatif.
Aspek lain yang perlu dipertimbangkan adalah karakteristik organisasi,
budaya/kultur, core business dan homogenitas versus heterogenitas.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apa itu transformasi organisasi ?
b.
Apa itu kultur organisasi ?
c.
Bagaimanakah matriks strategi kultur ?
d.
Bagaimana pengelolaan perubahan strategis ?
1.3 Tujuan
Adapun
tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
a.
Untuk melengkapi tugas kuliah
b.
Sebagai tambahan ilmu terkait transformasi
organisasi dan strategi intervensi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Transformasi Organisasi
Beberapa ahli menyebutkan TO adalah
perluasan dari Organization Development (OD). OD sendiri diartikan oleh
sebagian ahli sebagai sebuah tindakan untuk melakukan perubahan, suatu strategi
untuk merubah keyakinan, sikap, nilai-nilai dan struktur organisasi agar dapat
menyesuaikan diri secara lebih baik terhadap teknologi baru, perkembangan pasar
dan tantangan baru.
Dengan demikian transformasi
organisasi dapat disimpulkan sebagai suatu strategi dan implementasi untuk
membawa organisasi dari bentuk dan sistem yang lama ke bentuk dan sistem yang
baru dengan menyesuaikan seluruh elemen ikutannya (sistem, struktur, people,
culture) dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan selaras dengan visi dan misi organisasi/perusahaan.
Dalam pengembangan organisasi (PO)
adapula saat organisasi tersebut melakukan perubahan untuk masa depan
organisasi atau biasa disebut dengan transformasi organisasi (TO). Kiranya
relevan untuk menegaskan kembali bahwa terdapat perbedaan konsep dan teknik antara
pengembangan organisasi dan transformasi organisasi. Seperti diketahui
pengembangan organisasi menggunakan pendekatan gradual (bertahap) dalam
mewujudkan perubahan, termasuk perubahan yang bersifat strategis dengan sorotan
perhatiandan upaya pada proses pengembangan yang pelaksanaannya bersifat
partisipatif. Sebaliknya, transformasi organisasi mengandung makna bahwa upaya
perubahan yang dilakukan bersifat drastic dan mendadak yang diarahkan pada tiga
faktor organisasional, yaitu :
a)
struktur organisasi sebagai keseluruhan,
b)
proses manajemen, dan
c)
kultur organisasi.
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa perubahan yang besifat transformasional berarti tiga hal, yaitu :
1.
Transisi
berskala besar yang secara fundamental mengubah cara yang digunakan oleh suatu
organisasi berinteraksi dengan lingkungannya, caranya menjalankan bisnis,
caranya berproduksi dan berbagai faktor strategis lainnya.
2.
Bila
perubahan yang terjadi bersumber dari berbagai faktor ketidakpastian dalam
lingkungan eksternal seperti deregulasi, debirokratisasi, pengambil alihan,
persaingan baru dan sejenisnya memaksa para manajer bertindak reaktif padahal
yang diperlukan adalah sikap yang proaktif, perubahan yang berlangsung dengan
kecepatan tinggi.
3.
Dalam
kondisi krisis demikian, tidak ada pilihan bagi manajemen kecuali melaksanakan
transformasi organisasi, sebab apabila tidak dipertaruhkan adalah kelangsungan
keberadaan organisasi yang bersangkutan.
Dari pembahasan di atas kiranya menjadi jelas bahwa strategi
pelaksanaan transformasi organisasi berlaku pada saat organisasi menghadapi
krisis sebagai akibat perubahan yang terjadi dengan cepat pada lingkungan
eksternal organisasi. Berangkat dari kondisi demikian, ciri-ciri transformasi
yang perlu dikenali adalah sebagai berikut :
1.
Diskontinuitas Lingkungan, transformasi diperlukan apabila
perubahan yang terjadi pada lingkungan telah sedemikian rupa sehingga cara
mengemudikan dan menjalankan roda organisasi berdasarkan strategi dan
praktek-praktek manajerial yang lama tidak dapat digunakan lagi.
2.
Perubahan yang Bersifat Revolusioner, pelaksanaan transformasi
organisasi dapat dikatakan bersifat revolusioner karena yang terjadi ialah
berlangsungnya pergeseran yang cepat dan mendadak dalam cara organisasi
berfungsi, misalnya mengambil tindakan memperkecil besaran organisasi atau
melakukan restrukrisasi yang sifatnya mendasar.
3.
Perubahan Pendekatan Mewujudkan
Perubahan,
menyelenggarakan transformasi organisasi biasanya menggunakan pendekatan
direktif. Pendekatan transformasi organisasi adalah pendekatan “dari atas ke
bawah” karena :
·
Manajemen
yang memprakarsai perubahan
·
Manajemen
yang memutuskan kapan prakarsa itu akan diambil
·
Manajemen
yang memutuskan bentuk, sifat dan jenis perubahan yang akan dibuat
·
Manajemen
yang menetapkan waktu pelaksanaan perubahan
·
Manajemen
pulalah yang menunjuk siapa yang akan diserahi tanggung jawab untuk
melaksanakan keputusan yang menyangkut perubahan dimaksud
Ada
tiga dimensi yang harus diperhatikan dalam hal ini, yaitu ;
1. kerangka waktu perubahan, apakah
jangka panjang atau pendek,
2. tingkat dukungan dari kultur
organisasi, dan
3. bentuk, jenis dan tingkat
ketidakpastian lingkungan.
Dengan memperhatikan tiga dimensi tersebut, akan dikenali
empat tipologi strategi perubahan yang dapat digunakan.
1.
Strategi berdasarkan pendekatan
evolusi partisipatif.
Strategi ini digunakan apabila yang menjadi sasaran adalah memelihara kondisi
yang sudah ada tentang kesesuaian organisasi dengan lingkungannya sambal
mengantisipasi terjadinya perubahan.
2.
Transformasi yang bersifat
kharimatik. Strategi
ini digunakan apabila sasarannya ialah melakukan perubahan yang sifatnya
radikal dalam waktu yang singkat dan kultur organisasi mendukungnya.
3.
Evolusi yang dipaksakan. Strategi ini digunakan dalam hal
perubahan yang diperlukan tidak bersifat mendasar dan berlaku untuk jangka
panjang, akan tetapi kultur organisasi tidak mendukungnya.
4.
Transformasi dictatorial. Strategi ini tepat digunakan
mewujudkan perubahan dalam hal organisasi menghadapi krisis, restrukturisasi
diperlukan meskipun diketahui bahwa restrukturisasi bertentangan dengan
kepentingan kultur organisasi yang sudah mapan.
2.2
Kultur Organisasi
Kultur organisasi merupakan penggabungan antara gaya
kepemimpinan manajemen puncak dan norma-norma, system nilai serta keyakinan
para anggota organisasi. Kultur organisasi sangat penting karena hubungannya
yang sangat erat dengan efektivitas organisasi. Telah banyak bukti yang
menunjukkan bahwa organisasi yang memiliki kultur yang kuat mampu:
·
Meningkatkan
produktivitasnya
·
Menumbuhsuburkan
semangat kebersamaan di kalangan para anggotanya
·
Meningkatkan
“rasa memiliki organisasi”
·
Memperbesar
perolehan keuntungan
Karena
pentingnya peranan kultur dalam meningkatkan efektivitas organisasi, ciri-ciri
kultur organisasi perlu dikenali dengan baik. Ciri-ciri tersebut meliputi :
1.
Otonomi
individual yang memungkinkan para anggota organisasi untuk memikul tanggung
jawab yang lebih besar, kebebasan menentukan cara yang dianggap paling cepat
untuk menunaikan kewajiban dan peluang untuk berprakarsa.
2.
Struktur
organisasi yang mencerminkan berbagai ketentuan formal dan normative serta
bentuk penyeliaan yang digunakan oleh manajemen untuk mengarahkan dan mengendalikan
perilaku para anggota.
3.
Perolehan
dukungan, bantuan dan “kehangatan hubungan” dari manajemen kepada para
bawahannya.
4.
Pemberian
perangsang dalam berbagai bentuk, seperti kenaikan upah dan gaji secara berkala
serta promosi, yang didasarkan pada kinerja seseorang, bukan semata-mata karena
senioritasnya.
5.
Pengembalian
risiko dalam arti dorongan yang diberikan oleh manajemen kepada para bawahannya
untuk bersikap agresif, inovatif, dan memiliki keberanian mengambil risiko.
2.3 Matriks Strategi Kultur
Berbagai perubahan yang sifat strategisnya hanya dapat
dilaksanakan dengan memperhitungkan kultur organisasi. Agar resiko yang mungkin
timbul dalam melakukan perubahan dapat dikendalikan, perlunya perubahan dan
tingkat keterkaitan perubahan tersebutdengan kultur harus dipertimbangkan
sekaligus karena satu faktor berdampak pada faktor – faktor yang lain. Empat
alternative dasar dalam menentukan perubahan – perubahan yang strategis ialah:
1.
Mengelola Perubahan dengan Risiko
yang Dapat Dikendalikan.
Alternatif ini ditempuh apabila organisasi melakukan perubahan yang bersifat
strategis yang kompatibel dengan kultur yang terdapat dalam organisasi yang
bersangkutan. Karena risiko yang mungkin timbul dapat dikendalikan oleh
organisasi, organisasi dapat melanjutkan upayanya melakukan perubahan –
perubahan yang bersifat strategis dengan bermodalkan penerimaan para anggota –
sebab kultur tidak diubah – dengan:
a.
Menekankan
pentingnya berbagi visi dalam arti bahwa perubahan yang akan dilakukan
berkaitan dengan tujuan dan misi organisasi serta membangun masa depan
organisasi berdasarkan kekuatan yang dimilikinya disertai oleh langkah –
langkah yang sah menurut pandangan para anggota
b.
Melakukan
pergeseran kekuasaan dengan menempatkan tenaga – tenaga unci pada kedudukan
penting dalam melaksanakan perubahan yang akan dilakukan
c.
Memperkuat
system nilai yang baru akibat perubahan dalam berbagai bidang dan fungsi
organisasi dengan struktur dan system imbalan yang baru.
2.
Perkuat Kultur karena Risiko tidak
Besar.
Alternatif ini tepat untuk ditempuh apabila organisasi dihadapkan pada perlunya
perubahan strategis berskala kecil dan perubahan tersebut kompatibel dengan
kultur yang berlaku. Jika alternatif ini yang akan ditempuh, konsultan harus
menekankan berbagai hal, seperti: memperkokoh visi tentang strategi baru yag
menekankan rasa memiliki sistem nilai yang kuat, memperkokoh dan lebih
memantapkan kultur yang ada.
3.
Mengelola Perubahan Sekitar Kultur
karena Risiko dapat Dikendalikan. Jika alternatif ini hendak ditempuh, manajemen harus
menyadari bahwa kondisi yang dihadapi oleh organisasi ialah bahwa perubahan
strategis perlu dilakukan, akan tetapi berbagai perubahan tersebut tidak
kompatibel dengan kultur organisasi. Pertanyaan yang harus terjawab sebelum
perubahan dilakukan ialah: Jika alternatif ini ditempuh, bagaimana kemungkinan
keberhasilannya? Mengelola perubahan sekitar kultur berarti berupaya tidak
menghadapi resistensi terhadap perubahan secara frontal. Caranya ialah dengan menggunakan berbagai pendekatan
tertentu, seperti: penguatan sistem nilai, lakukan pergeseran kekuasaan agar
orang – orang kunci mampu memainkan peranan yang dominan dan menggunakan
“senjata perubahan” seerti proses anggaran reorganisasi.
4.
Mengubah
Strategi karena Risiko yang Mungkin Timbul Besar. Langkah ini ditempuh apabila
manajemen merasa bahwa berbagai perubahan yang bersifat strategis harus
dilakukan, akan tetapi perubahan yang bersifat strategis harus dilakukan, akan
tetapi perubahan tersebut tidak kompatibel dengan kultur yang sudah mapan dalam
lingkungan organisasi. Apabila suatu organisasi menghadapi situasi demikian,
tingkat resistensi akan tinggi dan risiko ketidakberhasilan pun akan besar.
Situasi seperti itu menuntut konsultan dan kliennya memutuskan apakah upaya
melakukan perubahan yang dirasakan mendasar dan strategis tersebut akan
dilanjutkan atau tidak. Dengan perkataan lain, harus ada jaminan bahwa
perubahan strategis itu akan berhasil. Apabila tidak, organisasi harus mengubah
strateginya sedemikian rupa sehingga “lebih seirama” dengan kultur yang terdapat
di dalamnya.
2.4 Pengelolaan Perubahan Strategis
Pengelolaan
perubahan strategis pada dasarnya berarti pengintegrasian berbagai bentuk
intervensi strategi yang telah dibahas di muka. Artinya, menyerasikan dan
menyelaraskan berbagai faktor, seperti strategi organisasi, struktur, sumber
daya manusia dan lingkungan organisasi. Perubahan strategis merupakan “produk”
upaya integrasi tersebut.
Dalam
hubungan ini perlu disadari bahwa suatu organisasi pada hakikatnya terdiri dari
tiga sistem, yaiitu sistem yang bersifat teknikal, sistem yang bersifat
politik, dan sistem yang bersifat kultural. Yang dimaksud dengan sistem
teknikal ialah sistem yang berkaitan dengan pemecahan berbagai masalah yang
dapat mencakup misi organisasi, strategi dan struktur. Kesemuanya dimaksudkan
untuk peningkatan produktivitas organisasi. Sistem politik dalam suatu
organisasi digunakan untuk memecahkan berbagai masalah yang ada kaitannya
dengan alokasi berbagai sumber seperti alokasi kekuasaaan, wewenang, sarana,
prasarana, dana, daya dan sumber daya manusia. Khusus dalam bidang sumber daya
manusia, sistem politik juga mencakup sistem imbalan, pola pengembangan karir,
promosi, alih tugas, alih wilayah, dan pemutusan hubungan kerja. Sistem
kultural menyangkut pemecahan berbagai masalah nilai yang pada gilirannya
berkaitan dengan jawaban terhadap pertanyaan tentang sifat dan jenis berbagai
tujuan dan sasaran yang hendak dicapai, cara yang akan digunakan dan
pemanfaatan serta pembagian hasil.
Sudah tentu
langkah – langkah yang sepantasnya diambil untuk melakukan perubahan tergantung
pada banyak faktor. Akan tetapi betapa banyak pun fakktor yang harus
diperhitungkan, tiga langkah ini layak untuk dipertimbangkan.
1.
Kembangkan
citra organisasi yang diinginkan dengan menyelaraskan ketiga sistem tersebut di
atas. Artinya, perubahan dimulai dengan suatu visi strategis tentang bntuk dan
kondisi organisasi yang diharapkan terwujud. Dengan kata lain, visi yang
dikembangkan harus mencakup ketiga sistem yang sudah diselaraskan itu dan
memberikan gambaran tentang profil organisasi d masa depan setela ketiga sistem
tersebut diselaraskan.
2.
Memisahkan
ketiga sistem dan melakukan intervensi pada masing – masing. Biasanya ketiga
sistem itu saling menguatkan. Oleh karena itu perlu dijamin bahwa ntervensi
yang dilakukan tepat dan barulah perubahan strategis yang diinginkan terwujud.
3.
Buat
rencana untuk menghubungkan kembali ketiga sistem. Setelah intervensi strategi
dilakukan secara terpisah untuk masing – masing sistem, perlu menentukan cara
apa yang akan ditempuh untuk
menghubungkannya kembali. Rencana untuk menghubungkan kembali ketiga sistem itu
akan menentukan apakah ketiga sistem akan mwujudkan kondisi organisasi yang
diinginkan atau visi yang didambakan itu berhasil dilakukan.
Dari pembahasan diattas kiranya menjadi jelas bahwa adanya
kultur organisasi yang kuat dapat berakibat positif pada kineerja unggul dalam
suatu organisasi. Pengalaman juga menunjukkan bahwa organisasi yang menghadapi
diskontinuitas – dalam arti tidak selaras dengan lingkungannya – mungkin
memerlukan perubahan kultur berskala besar. Akan tetapi harus disadari bahwa
mengubah kultur suatu organisassi bukanlah ppekerjaan yang mudah atau
sederhana. Salah satu alas an utamanya adalah bahwa para anggota organisasi
meraih keberhasilan di masa lalu.
Dari sudut
inilah pentingnya perubahan kultur yang bersifat khas bagi suatu organisasi
harus dilihat karena suatu kultur yang tepat dapat merupakan sumber keunggulan
kompetitif yang berkelanjutan bagi organisasi apabila kultur yang bersifat khas
itu tidak dapat atau sulit ditiru organisasi lain. Dengan kata lain, apabila
suatu organisasi tidak mampu atau tidak berhasil mengubah kulturnya, yang
dipertaruhkan adalah kemunduran,
organisasi bahkan mungkin kehancuran organisasi.
Sebagai
kesimpulan dapat dikatakan bahwa terdapat lima alas an yang merupakan
pembenaran terjadinya perubahan kultur berskala besar, yaitu:
1.
Apabila
suatu organisasi memiliki kultur yang kuat tetapi tidak sesuai dengan
lingkungan yang berubah
2.
Apabila
industri dalam lingkungan mana organisasi bergerak sangat kometitif dan berubah
dengan kecepatan tinggi
3.
Apabila
organisasi menampilkan kinerja yang tidak memuaskan
4.
Apabila
suatu organisassi akan bergabung dengan organisasi besar lainnya
5.
Apabila
suatu organisasi masih kecil, akan tetapi bertumbuh dengan pesat
Jika menghadapi salah satu kondisi diatas, kelompok pimpinan
dalam suatu organisasi harus mampu mengembangkan kultur organisasi yang
inovatif, yang secara filsafati dan operasional mengandung berbagai unsur seperti:
mengakui dan berupaya memuaskan berbagai kebutuhan para anggotanya, mendalami
sejarah organisasi, mengenali pasar secara tepat, menghasilkan barang dan atau
jasa yang diperlukan dan diminati oleh para pelanggan atau pengguna dalam
kondisi lingkungan yang bergerak sangat dinamis dan sangat cepat. Untuk
menghadapi tantangan seperti itu, diperlukan transformasi organisasi, bukan
sekedar pengembangan organisasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dengan demikian transformasi
organisasi dapat disimpulkan sebagai suatu strategi dan implementasi untuk
membawa organisasi dari bentuk dan sistem yang lama ke bentuk dan sistem yang
baru dengan menyesuaikan seluruh elemen ikutannya (sistem, struktur, people,
culture) dalam rangka meningkatkan efektivitas organisasi untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan selaras dengan visi dan misi organisasi/perusahaan.
Empat tipologi strategi perubahan
yang dapat digunakan :
1.
Strategi berdasarkan pendekatan
evolusi partisipatif.
Strategi ini digunakan apabila yang menjadi sasaran adalah memelihara kondisi
yang sudah ada tentang kesesuaian organisasi dengan lingkungannya sambal
mengantisipasi terjadinya perubahan.
2.
Transformasi yang bersifat
kharimatik. Strategi
ini digunakan apabila sasarannya ialah melakukan perubahan yang sifatnya
radikal dalam waktu yang singkat dan kultur organisasi mendukungnya.
3.
Evolusi yang dipaksakan. Strategi ini digunakan dalam hal
perubahan yang diperlukan tidak bersifat mendasar dan berlaku untuk jangka
panjang, akan tetapi kultur organisasi tidak mendukungnya.
4.
Transformasi dictatorial. Strategi ini tepat digunakan
mewujudkan perubahan dalam hal organisasi menghadapi krisis, restrukturisasi
diperlukan meskipun diketahui bahwa restrukturisasi bertentangan dengan
kepentingan kultur organisasi yang sudah mapan.
Pentingnya perubahan kultur yang bersifat khas bagi suatu
organisasi harus dilihat karena suatu kultur yang tepat dapat merupakan sumber
keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bagi organisasi apabila kultur yang
bersifat khas itu tidak dapat atau sulit ditiru organisasi lain. Dengan kata
lain, apabila suatu organisasi tidak mampu atau tidak berhasil mengubah
kulturnya, yang dipertaruhkan adalah
kemunduran, organisasi bahkan mungkin kehancuran organisasi.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar