KATA PENGANTAR
Puji
syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Filsafat Ilmu Pasca Positivisme” Pada makalah
ini Penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan
dari berbagai pihak. oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan
terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini.
Penulis
menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…
Teluk Kuantan, November
2017
Penulis
DAFTAR
ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I
PENDAHULUAN................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Tujuan.................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
2.1 Pengertian
Positivisme.....................................................................
3
2.2 Sejarah
Kemunculan Positivisme.......................................................... 3
2.3 Ajaran-ajaran di dalam
filsafat Positivisme........................................... 5
2.4 Konsep Positivisme serta Kelemahan dalam
Pengembangan Ilmu
Pengetahuan.......................................................................................... 5
2.5 Sejarah Kemunculan
Positivisme Logis................................................ 7
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 10
3.1 Kesimpulan............................................................................................ 10
3.2 Saran...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 11
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Positivisme merupakan paradigma ilmu
pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan
dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa
realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam
(natural laws). Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan
kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya
berjalan.Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste
Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course
of Positive Philosophy (1830-1842).
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi
sosiologi adalah fakta sosial (social-fact): Fakta sosial yang dimaksud
meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan, dan lain-lain.
Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam
penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian
kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran
ini, maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung
kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada
penelitian yang bersangkutan.
Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan
si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya
untuk menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang
penelitian menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan
yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang
sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan
penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan
analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme,
ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu
pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat
(Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat
di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji
(testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan
para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut
positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi
menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta
empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu
pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan
tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh
pernyataan tersebut.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami secara luas
tentang filsafat ilmu pasca posotivisme.
Positivisme merupakan suatu
aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris)
sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak spekuliasi dari
suatu filosofis atau metafisik. Dapat pula
dikatakan positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal
pada peristiwa-peristiwa positif”[1]Jadi,
dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang
faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah
dalam artian segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman objektif bukannya metafisika[2]yang merupakan ilmu pengetahuan yg
berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan.[3] Aliran
ini menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak
menyetujui pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam
mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah
benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah.[4]
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran
filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang
benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak
mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Karena
aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran
empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha
menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan
perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran..
Istilah Positivisme pertama kali digunakan
oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme
dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang
bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa
tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak
boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan
observasi atas hukum alam.
Barulah pada paruh kedua abad ke-19
muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan
Perancis, yang dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik. Comte menggunakan istilah ini
kemudian mematoknya sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama
dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie
Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam
enam jilid.
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte
bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang
terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase
teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis
(tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang
mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini.
Zaman ini dibagi menjadi tiga periode:
animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan
fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau
Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa
adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’
dan ‘penyebab’.
Pada fase ini manusia menjelaskan
fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas,
substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif
(tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan
menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan
rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan
filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.[5]
Positivisme memuat nilai-nilai dasar yang
diambil dari tradisi ilmu alam, yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai
objek yang dapat dikontrol, digeneralisasi sehingga gejala ke depan bisa
diramalkan. Yang mana positivisme menganggap ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya
ilmu pengetahuan yang secara universal adalah valid. Jadi, ajaran di dalam
filsafat positivisme dapat dipaparkan sebagai berikut:[6]
1.
Positivisme bertolak dari pandangan bahwa filsafat positivisme hanya
mendasarkan pada kenyataan (realita, fakta) dan bukti terlebih dahulu.
2.
Positivisme tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang
esensi
3.
Positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide
abstrak. Gejala-gejala alam diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari
itu kemudian didapatkan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung dari
ruang dan waktu.
4.
Positivisme menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat
digeneralisasi sehingga kedepan dapat diramalkan (diprediksi).
5.
Positivisme menyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi
menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.
Konsep
positivisme adalah penelitian dengan metode kuantitatif yang bersifat obyektif,
dan juga Hipotetik. Di dalam konsep tersebut terdapat beberapa kelemahan yaitu
sebagai berikut:
1.
Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial
dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2.
Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji
kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya
tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang
demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya.
Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19,
jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3.
Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia
tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam
positivistic semua hal itu dinafikkan.
4.
Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat
menemukan pengetahuan yang valid.
5.
Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak
yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung
kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah
terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang
nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6.
Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai
teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincah – seakan setiap tahapan
sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk
kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic.[7]
Positivisme logis muncul dari hasil
perombakan dari positivisme yang mana Positivisme logis merupakan aliran pemikiran
dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisik dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah.
Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah
yang dapat diversifikasi secara empiris.[8]
Positivisme logis adalah filsafat ilmu
pengetahuan yang timbul pada abad ke-20 di Wina, ibu kota kekaisaran Habsburg dan pusat dunia musik di Austria, Eropa Tengah. Pada abad ke-19
sudah ada beberapa orang yeng
memperhatikan pengembangan ilmu
pengetahuan dan menulis tentang gejala ini.
Namun usaha-usaha mempelajari ilmu pengetahuan itu belum bersifat sistematis
dan juga belum menghasilkan teori. Positivisme logis adalah usaha pertama yang tertuju pada sasaran ini
dan berkembang pada masa M.Schlick (1882-1936) menjadi maha ilmu pengetahuan induktif di Universitas Wina. Schlick membentuk kelompok bersama antara lain R. Carnap (1891-1970), ahli logika, Ph.Frank, ahli ilmu pasti, V. Kraft, ahli sejarah, H. Feigl dan F. Waismann, dua
ahli filsafat.
Kelompok ini disebut Der Wiener Kreis (Kelompok Wina). Pada tahun 1929 R. Carnap, bersama H. Hahn, ahli ilmu pasti, dan O Neurath (1882-1945), ahli Sosiologi menerbitkan sebuah manifes yang berjudul, Wissenschaftliche Weltauf fassung “Der Wiener Kreis” (pandangan Dunia Ilmiah, Kelompok
Wina).
Tulisan ini mendapat sambutan
hangat di beberapa negara lain. Di Berlin,
ibukota Jerman, dibentuk satu kelompok
yang disebut Der Beriner Gruppe (Kelompok Berlin) yang meliputi
antara lain H. Reichenbach (1891-1953), R.
Von Mises dan
C.G Hempel . Di Inggris A.J Ayer juga
tertarik pada positivisme logis. Di Amerika Serikat C.
Morris dan E. Nagel mengikuti aliran filsafat ilmu
pengetahuan ini.
Positivisme Logis merupakan aliran
pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis defnisi dan relasi antara istilah-istilah. Tugas pertamanya dipersiapkan
untuk ilmu dan yang
kedua khusus untuk filsafat. Karena menurut
positivisme Logis, filsafat ilmu murni
hanya sebagai suatu analisis logis tentang bahasa ilmu atau sebuah proposisi
saja.
Fungsi analisis ini
disatu pihak, mengurangi “metafisika”, dan di lain pihak,
meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Penelitian ini bertujuan
menentukan isi konsep-konsep dan pernyatan-pernyataan ilmiah yang dapat
diverifikasi secara empiris.[9] Mengenai tugas filsafat sebagai analisis
logis terhadap pengetahuan ilmiah, maka berkembanglah sebuah prinsip yang
disebut verifikasi atau kriteria kebermaknaan. Menurut Anyer Ihwal hubungan
antara proposisi sebagai simbol dengan realitas yang disimbolkannya
perlu ditempuh lewat prinsip verifikasi.
Berikut prinsip-prinsip verifikasi:
1.
Suatu proposisi (pernyataan) dianggap bermakna manakala secara prinsip
dapat diverifikasi. Arti suatu pernyataan adalah sama dengan metode
verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris.
2.
Yang mesti dilakukan itu adalah verifikasi bukan menghasilkan suatu
pernyataan yang mesti benar. Proposisi “di rumah itu ada tiga orang pencuri”
adalah bermakna walaupun setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada.
Ungkapan “ John tidak akan mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi
untuk membuktikan ketidakbenarannya secara empiris. Sebaliknya ungkapan “hari
ini cuaca lebih baik daripada di luar” tidak bermakna, sebab dalam ungkapan itu
sendiri terdapat kontradiksi (pertentangan).
3.
Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada
hakikatnya pernyataan itu tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan metafisik
tidaklah bermakna karena secara empirik tidak dapat diverifikasi, atau tidak
dapat di analisis secara empirik. Kalimat metafisik God Exists bukanlah
kalimat yang secara faktual bermakna. Demikian pula halnya kalimat God
does not exist.
Tujuan utama yang ingin dicapai
oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Karena ilmu hendaknya dijauhkan
dari tafsiran-tafsiran metafisis yang merusak obyektivitas.
Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran metafisis dari ilmu,
para ilmuan hanya akan
menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat.
Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah
menafsirkan segala
sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat
adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran.
Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasilkan proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan
oleh filsafat adalah penjelasan terhadap
proposisi-proposisi.
Di dalam perkembangan positivisme juga muncul
aliran positivisme logis yang mana aliran ini lebih menaruh perhatian pada
upaya menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam
filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah.
Alwasilah Chaedar, 2010, Filsafat Bahasa dan
Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya).
Anshari Endang Saifuddin, 1987, Ilmu Filsafat dan
Agama (Surabaya: Bina Ilmu).
Asmoro Achmadi, 2012, Filsafat Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada).
Praja Juhaya S, 2003, AliranAliran Filsafat dan Etika
Prenada (Jakarta: Media).
Samekto Adji, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum
Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012),
Soegiono dan Tamsil Muis, 2012, Filsafat Pendidikan (Bandung:
PT. Remaja Rosdakarya).
Somantri Emma Dysmala, Kritik Terhadap Paradigma
Positivisme (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013),
[6] Adji Samekto, Menggugat Relasi
Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika
Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012), 6-7.
[7] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat
Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12
No. 1
[8] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme
dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1
Januari 2012), 6-7.
[9] Emma Dysmala Somantri, Kritik Terhadap
Paradigma Positivisme (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari
2013), 3-4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar