Rabu, 11 April 2018

MAKALAH FILSAFAT POSITIVISME


KATA PENGANTAR

Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga Penulis dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Filsafat Ilmu Pasca Positivisme” Pada makalah ini Penulis banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak. oleh sebab itu, dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna, untuk itu Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…



Teluk Kuantan,  November  2017



Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... i
DAFTAR ISI......................................................................................................... ii
BAB I  PENDAHULUAN................................................................................... 1
          1.1  Latar Belakang...................................................................................... 1
          1.2  Tujuan.................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
          2.1  Pengertian Positivisme.....................................................................     3
          2.2  Sejarah Kemunculan Positivisme.......................................................... 3
2.3  Ajaran-ajaran di dalam filsafat Positivisme........................................... 5
2.4  Konsep Positivisme serta Kelemahan dalam Pengembangan Ilmu    
       Pengetahuan.......................................................................................... 5
2.5  Sejarah Kemunculan Positivisme Logis................................................ 7
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 10
          3.1  Kesimpulan............................................................................................ 10
          3.2  Saran...................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 11













BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842).
Menurut Emile Durkheim (1982:59) objek studi sosiologi adalah fakta sosial (social-fact): Fakta sosial yang dimaksud meliputi: bahasa, sistem hukum, sistem politik, pendidikan, dan lain-lain. Sekalipun fakta sosial berasal dari luar kesadaran individu, tetapi dalam penelitian positivisme, informasi kebenaran itu ditanyakan oleh penelitian kepada individu yang dijadikan responden penelitian. Untuk mencapai kebenaran ini, maka seorang pencari kebenaran (penelitian) harus menanyakan langsung kepada objek yang diteliti, dan objek dapat memberikan jawaban langsung kepada penelitian yang bersangkutan.
Hubungan epistemologi ini, harus menempatkan si peneliti di belakang layar untuk mengobservasi hakekat realitas apa adanya untuk menjaga objektifitas temuan. Karena itu secara metodologis, seorang penelitian menggunakan metodologi eksperimen-empirik untuk menjamin agar temuan yang diperoleh betul-betul objektif dalam menggambarkan keadaan yang sebenarnya. Mereka mencari ketepatan yang tinggi, pengukuran yang akurat dan penelitian objektif, juga mereka menguji hipotesis dengan jalan melakukan analisis terhadap bilangan-bilangan yang berasal dari pengukuran.
Di bawah naungan payung positivisme, ditetapkan bahwa objek ilmu pengetahuan maupun pernyataan-pernyataan ilmu pengetahuan (Scientific Proporsition) haruslah memenuhi syarat-syarat (Kerlinger, 1973) sebagai berikut: dapat di/ter-amati (observable), dapat di/ter-ulang (repeatable), dapat di/ter-ukur (measurable), dapat di/ter-uji (testable), dan dapat di/ter-ramalkan (predictable).
Paradigma positivisme telah menjadi pegangan para ilmuwan untuk mengungkapkan kebenaran realitas. Kebenaran yang dianut positivisme dalam mencari kebenaran adalah teori korespondensi. Teori korespondensi menyebutkan bahwa suatu pernyataan adalah benar jika terdapat fakta-fakta empiris yang mendukung pernyataan tersebut. Atau dengan kata lain, suatu pernyataan dianggap benar apabila materi yang terkandung dalam pernyataan tersebut bersesuaian (korespodensi) dengan obyek faktual yang ditunjuk oleh pernyataan tersebut.

1.2  Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memahami secara luas tentang filsafat ilmu pasca posotivisme.



















Positivisme merupakan  suatu aliran  filsafat  yang menyatakan  ilmu-ilmu  alam  (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak spekuliasi dari suatu  filosofis  atau metafisik. Dapat  pula dikatakan positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa  filsafat  itu hendaknya semata-mata  mengenai  dan  berpangkal pada  peristiwa-peristiwa  positif”[1]Jadi, dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah dalam artian segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif bukannya metafisika[2]yang merupakan ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan.[3] Aliran ini menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak menyetujui pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah.[4]
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Karena aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran..
 



Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Barulah pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik. Comte menggunakan istilah ini kemudian mematoknya sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid.
Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini.
Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’.
Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.[5]

Positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, digeneralisasi sehingga gejala ke depan bisa diramalkan. Yang mana positivisme menganggap ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal adalah valid. Jadi, ajaran di dalam filsafat positivisme dapat dipaparkan sebagai berikut:[6]
1.   Positivisme bertolak dari pandangan bahwa filsafat positivisme hanya mendasarkan pada kenyataan (realita, fakta) dan bukti terlebih dahulu.
2.   Positivisme tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi
3.   Positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-gejala alam diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari itu kemudian didapatkan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan waktu.
4.   Positivisme menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat digeneralisasi sehingga kedepan dapat diramalkan (diprediksi).
5.   Positivisme menyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.

Konsep positivisme adalah penelitian dengan metode kuantitatif yang bersifat obyektif, dan juga Hipotetik. Di dalam konsep tersebut terdapat beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut:
1.      Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik.
2.      Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat.
3.      Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikkan.
4.      Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid.
5.      Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian.
6.      Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincah – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic.[7]



Positivisme logis muncul dari hasil perombakan dari positivisme yang mana Positivisme logis merupakan aliran pemikiran dalam  filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisik dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep  dan  pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diversifikasi secara empiris.[8]
Positivisme  logis  adalah  filsafat  ilmu pengetahuan yang timbul pada abad  ke-20 di Wina, ibu kota kekaisaran Habsburg dan pusat dunia musik di Austria, Eropa Tengah. Pada abad ke-19 sudah  ada  beberapa  orang  yeng memperhatikan  pengembangan  ilmu pengetahuan  dan menulis  tentang  gejala ini. Namun usaha-usaha mempelajari ilmu pengetahuan itu belum bersifat sistematis dan juga belum menghasilkan teori. Positivisme logis adalah usaha pertama yang tertuju pada sasaran ini dan berkembang pada masa M.Schlick (1882-1936) menjadi maha ilmu pengetahuan induktif di Universitas Wina. Schlick membentuk kelompok bersama antara lain R. Carnap (1891-1970), ahli logika, Ph.Frank, ahli ilmu pasti, V. Kraft, ahli sejarah, H. Feigl dan F. Waismann, dua ahli  filsafat.  
Kelompok ini disebut Der Wiener Kreis (Kelompok Wina). Pada tahun 1929 R. Carnap, bersama H. Hahn, ahli ilmu pasti, dan O Neurath (1882-1945), ahli Sosiologi menerbitkan sebuah manifes yang berjudul, Wissenschaftliche Weltauf fassung “Der Wiener Kreis” (pandangan  Dunia  Ilmiah,  Kelompok Wina).  
Tulisan  ini  mendapat  sambutan hangat di beberapa negara  lain. Di Berlin, ibukota  Jerman,  dibentuk  satu  kelompok yang disebut Der Beriner Gruppe (Kelompok  Berlin)  yang  meliputi antara  lain H. Reichenbach (1891-1953), R. Von  Mises  dan C.G  Hempel  .  Di Inggris A.J Ayer juga tertarik  pada positivisme logis. Di Amerika Serikat C. Morris  dan  E. Nagel mengikuti aliran  filsafat  ilmu pengetahuan  ini.
Positivisme  Logis  merupakan  aliran pemikiran  yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis defnisi dan relasi antara istilah-istilah. Tugas pertamanya dipersiapkan untuk  ilmu dan yang kedua  khusus  untuk  filsafat. Karena menurut positivisme  Logis,  filsafat  ilmu  murni hanya sebagai suatu analisis logis tentang bahasa ilmu atau sebuah proposisi saja.
Fungsi  analisis  ini disatu  pihak, mengurangi  “metafisika”, dan di lain pihak, meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Penelitian ini  bertujuan menentukan isi konsep-konsep dan pernyatan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.[9] Mengenai tugas filsafat sebagai analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah, maka berkembanglah sebuah prinsip yang disebut verifikasi atau kriteria kebermaknaan. Menurut Anyer Ihwal hubungan antara proposisi sebagai simbol dengan  realitas yang disimbolkannya perlu ditempuh lewat prinsip verifikasi.

Berikut prinsip-prinsip verifikasi:
1.      Suatu proposisi (pernyataan) dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Arti suatu pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris.
2.      Yang mesti dilakukan itu adalah verifikasi bukan menghasilkan suatu pernyataan yang mesti benar. Proposisi “di rumah itu ada tiga orang pencuri” adalah bermakna walaupun setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “ John tidak akan mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk membuktikan ketidakbenarannya secara empiris. Sebaliknya ungkapan “hari ini cuaca lebih baik daripada di luar” tidak bermakna, sebab dalam ungkapan itu sendiri terdapat kontradiksi (pertentangan).
3.      Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan itu tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara empirik tidak dapat diverifikasi, atau tidak dapat di analisis secara empirik. Kalimat metafisik God Exists bukanlah kalimat yang secara faktual bermakna. Demikian pula halnya kalimat God does not exist.






























Tujuan utama yang  ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Karena ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran metafisis yang  merusak  obyektivitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran  metafisis dari  ilmu, para  ilmuan  hanya  akan menjadikan  fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat.
Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu  yang  ada  di  alam.  Tugas  filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh  karena  itu  filsafat bukanlah  teori. Filsafat  adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasilkan proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh  filsafat  adalah  penjelasan  terhadap proposisi-proposisi.
Di dalam perkembangan positivisme juga muncul aliran positivisme logis yang mana aliran ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah.



   










Alwasilah Chaedar, 2010, Filsafat Bahasa dan Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya).
Anshari Endang Saifuddin, 1987, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu).
Asmoro Achmadi, 2012, Filsafat Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada).
Praja Juhaya S, 2003, Aliran­Aliran Filsafat dan Etika Prenada (Jakarta: Media).
Samekto Adji, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012),
Soegiono dan Tamsil Muis, 2012, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya).
Somantri Emma Dysmala, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013),



[1] Endang Saifuddin Anshari,  Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu, 1987) , 99
[2] Achmadi Asmoro, Filsafat Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2012), 120.
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
[4] Soegiono dan Tamsil Muis, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2012), 39.
[5] Juhaya S. Praja, Aliran­Aliran Filsafat dan Etika Prenada (Jakarta: Media, 2003), 133.
[6] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012), 6-7.

[7] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1
[8] Adji Samekto, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012), 6-7.
[9] Emma Dysmala Somantri, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013), 3-4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar